18

272 62 1
                                    

Merah.

Bukan putih. Merah. Snow-ku yang seputih salju, sekarang penuh dengan warna merah. Darah. Tidak. Tidak boleh.
 
Jangan merah. Putih. Harusnya putih. Putih, putih, putih, putih. Bukan merah. Aku tidak mau.  Sial. MerahMerahMerahMerah. Bukan. Putih. HarusnyaPutihHarusnyaPutihBukanMerah. Bukan!

Siapa?

Siapa yang melakukan ini?

Aku menatap sekitar. Mencari. Tidak ada orang. Tidak ada. Tidak ketemu. Siapa?

Darah Snow yang menempel di telapak tanganku terasa dingin. Sejak kapan? Jam berapa? Di mana? Tusukan. Ada berapa tusukan? Satu. Dua Tiga. Tidak. Lebih dari itu. Berkali-kali. Pisau. Pasti pisau. Di mana pisaunya? Punya siapa?

Snow. Seharusnya, kalau kamu hidup dengan warna putih, kamu juga harus mati dengan warna putih juga. Seperti White dulu.

Bukan merah seperti ini. Bukan!

Tidak bisa.

Tidak bisa kumaafkan.

***

“Jahat sekali,” komentar Amanda ketika aku bercerita padanya. “Benar-benar tidak berperasaan.”

Aku mengangguk pelan, memainkan pulpen di atas meja tanpa semangat.

“Menurutmu itu sengaja?” tanya Amanda. “Maksudku, kau punya musuh? Ada orang yang benci padamu?”

Aku mengangkat bahu. “Di kalung Snow, ada plat besi kecil yang berisi nama dan alamatku sebagai identitas pemilik kucing itu. Kemarin, namaku yang ada di sana tergores.”

“Tunggu dulu, maksudmu....”

“Namaku seperti digores pakai pisau. Dua goresan yang disengaja.”

“Eeeh, menyeramkan, ya.” Amanda menatapku serius. Bulu matanya yang lentik tidak cocok dengan dahinya yang mengkerut. “Kau harus hati-hati, Fenella. Bisa-bisa kau yang... ah, maaf, bukannya berniat ingin menakutimu, tapi....”

Amanda menatapku dengan ragu-ragu, jemarinya tidak berhenti mengetuk meja.

“Lebih baik,” kata Amanda. “Lebih baik kau lapor masalah ini ke polisi, Fenella.”

Aku menunduk, menatap satu titik di atas meja. Tidak. Aku tidak ingin lapor polisi. Biar aku sendiri. Aku sendiri yang akan menghukum orang itu. Dengan caraku.

Cetas! Suara pemukul kasti yang mengenai bola terdengar dari luar jendela. Ini pagi yang dingin, dan aku tidak menyangka gerombolan laki-laki dengan seragam olahraga di lapangan itu sudah semangat memukul bola. Melirik mereka yang bersenang-senang seperti itu, membuat kepalaku penuh.
 
Aku membayangkan diriku memegang tongkat kasti, berjalan melewati lorong sekolah yang panjang. Gelap, juga dingin. Lorong itu ada di lantai dua sekolah, cahaya bulan menyinari dari ballik jendela kaca. Menyebalkan. Bulan itu menyebalkan. Lalu perlahan, salju turun.

Aku tidak bisa bernapas. Panas. Rasanya seperti terbakar. Salju yang turun itu, berubah menjadi bulu. Bulu putih, menempel di jendela. Semakin banyak bulu di sana, semakin aku tidak bisa bernapas. Seolah semua oksigen sudah disedot oleh bulu itu, dan aku terjatuh.

Ada suara mengeong. Suara itu menggema melewati lorong. Suara yang sangat kukenal. Suara Snow. Tiba-tiba aku sudah dalam posisi berdiri. Lagi. Lorong itu berubah, menjadi penuh dengan warna merah. Merah. Langitnya juga. Bulan yang semula jauh, terihat mendekat. Semakin dekat, bulan itu berkedip, lalu menjadi mata kucing. Bulat, menatapku tajam. Seperti Snow yang menatapku saat dia sedang kelaparan.

Suara mengeong itu terdengar lagi, kali ini lebih keras, dan terdengar seperti kesakitan. Bulu putih yang menempel di jendela itu meleleh, menjadi warna merah. Turun, dan jatuh ke bawah. Lagi. Lagi. LagiLagiLagi. Terus menerus. Tubuhku terasa seperti ditarik dari segala arah. Organ dalamku memberontak, seolah ingin keluar dari mulut. Meledak. Awas, meledak.

Pyar! Jendela itu pecah, aku memukulnya dengan tongkat kasti. Bernapas. Aku bisa bernapas! Lagi. Semua jendela ini, aku ingin memecahkannya. Lagi. Lagi. Semakin banyak yang kupecahkan, semakin aku bisa bernafas. Pecah. Pecah. Pecahkan semua jendela yang ada di sekolah ini!

“Kau kenapa, Fenella?”

Pertanyaan Amanda membangunkanku dari lamunan. Dia menatapku aneh,  seolah aku ini makhluk aneh yang datang dari dunia lain.

“Tidak. Tidak apa-apa.” Aku menggeleng.

“Kau melamun ke luar jendela, lho.” Amanda memajukan kepalanya, meneliti dengan fokus sekolompok murid laki-laki yang bermain kasti di lapangan sana. “Ah, jangan bilang kalau kau....”

Sebelum Amanda menyelesaikan kalimatnya, suara langkah kaki terdengar dari pintu kelas. Suasana kelas yang semula ramai tiba-tiba berubah ketika mereka bertiga muncul.

Putri, Tasya, dan Vero masuk ke dalam kelas secara bersamaan. Putri yang berjalan paling depan membawa sebuket bunga lili putih, lalu menaruhnya di atas meja Julia yang sudah kosong sejak tiga hari lalu. Seolah menahan air mata, Putri menggigit bibirnya sendiri.

Vero yang berdiri di belakang memejamkan mata, satu tangannya mengelus pundak Putri, mencoba menenangkan. Tasya.... Tasya menatapku, melotot ketika mata kami bertemu. Gadis itu menyeringai.

Kenapa? Kenapa dia tersenyum seperti itu padaku?

Aneh.

“Kurasa Tasya masih menyangka kalau kau....” Amanda berbisik dari tempat duduknya.

Begitu, ya. Jadi dia. Tasya. Tasya yang sudah membunuh Snow. Dia orangnya.
 
Bodoh. Bodoh, bodoh, bodoh, bodoh. Seharusnya aku tahu itu. Seharusnya aku bisa menebaknya. Seharusnya aku membunuhnya dari dulu.

Balas dendam ini, tidak pernah berakhir.

***

CATATAN PEMBUNUHAN (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang