Lovers

261 52 0
                                    

Bisa dibilang, itu bukan cinta pada pandangan pertama.

Perasaan itu tumbuh dengan waktu, seperti pohon.

Awalnya, aku menyukai Julia. Dia cantik, nilainya selalu di atas rata-rata, dan suaranya yang kecil terdengar merdu ketika dia berbicara. Seolah ada benang merah yang keluar dari suaranya, masuk dan mengikat jantungku, membuatnya berdetak lebih kencang. Aku jatuh cinta pada suaranya.

Aku selalu mencari kesempatan untuk bisa berhubungan padanya, tapi itu semua tidak lebih dari rencana bodoh: mengambilkannya buku yang tidak bisa dia raih di perpus, menolong dan menemaninya di UKS waktu dia pingsan sehabis upacara, mengajaknya pulang bareng saat hujan dan kebetulan dia tidak bawa payung. Bodoh. Kesempatan seperti itu cuma ada di cerita-cerita. Nyatanya tidak ada, dan memang tidak akan pernah ada.

Aku cuma bisa menatapnya dari jauh.

Suatu hari, aku tidak sengaja menabrak Tasya waktu di kantin. Makanan yang gadis itu bawa tumpah ke lantai, berceceran. Karena saat itu aku sedang terburu-buru, aku pun cuma meneriakkan maaf seadanya, lalu segera pergi dari sana.

Sampai di depan kelas, Putri menghadangku, menyuruhku minta maaf pada Tasya dengan pelototannya yang membuatku ingin tertawa.

Setelah beberapa candaan singkat, akhirnya Tasya memaafkanku dengan satu syarat: Aku harus mentraktirnya untuk mengganti makanannya yang jatuh tadi.

Aku sebenarnya tidak terlalu peduli mau dimaafkan atau tidak, tapi berhubung Putri dan Tasya itu teman dekatnya Julia, aku melihat ini sebagai kesempatan. Satu kesempatan besar agar aku bisa selangkah lebih dekat pada Julia.

Seperti yang sudah kuduga, kesepakatan itu menghasilkan efek domino. Awalnya aku Cuma mengganti makanan Tasya, lalu hubungan kami mulai membaik, kami sering mengobrol. Aku juga sering mengobrol dengan Putri, menanyakan pr, atau sekadar memberikan ucapan selamat pagi. Lalu tanpa sadar, mereka membawaku pada Julia. Juliet-ku.

Mereka bahkan mengajakku ikut pergi ke karaoke bersama. Rasanya, aku sudah jadi bagian dari mereka.

Ya, aku tahu ini sedikit aneh. Satu laki-laki bergaul dengan tiga perempuan? Aneh, atau malah beruntung?

Setelah pergi ke karaoke, berbulan-bulan setelah itu, aku merasa semakin mengenal Julia. Aku tahu makan kesukaannya, minuman yang selalu dia pesan di kantin, lagu-lagu yang sering dia putar di playlist, penyanyi favoritnya, impiannya untuk tampil di Sydney Opera House. Semakin lama aku dengannya, semakin banyak yang aku tahu.

Semakin aku menyadari kalau yang ada di pikiran Julia cuma musik. Musik ini, musik itu, musik begini, musik begitu. Julia cinta dengan musik.

Tidak denganku.

Aku tidak ada di hatinya.

***

Bertepatan dengan aku yang mulai menyadari itu, teman sekelasku, Luna, mulai dijadikan sasaran bullying oleh teman-teman sekelas. Mereka mengatai Luna dengan sebutan: Anak seorang pembunuh.

Tentu saja itu tidak dimulai dengan sendirinya. Hari itu mungkin hari yang sial bagi Luna; potongan-potongan kertas koran yang berisi foto ayahnya, dan disangkutpautkan dengan berita pembunuhan itu benar-benar bukti nyata. Tulisan besar yang tertulis di papan semakin menekankan semuanya.

Aku sebenarnya tidak punya masalah apa-apa dengan Luna, tapi mengingat semua murid di kelas membencinya, aku jadi tidak ingin ikut campur. Bagaimanapun, membela Luna juga tidak akan menghasilkan apa-apa untukku.

Beberapa insiden terjadi dalam beberapa bulan, tapi itu bukan sesuatu yang penting.

Bahkan kasus bunuh diri Luna, harusnya juga tidak berpengaruh apa-apa untukku.

***

Di SMA, aku sekelas lagi dengan Putri, Julia, dan Tasya. Sebuah kebetulan yang aneh? Atau mungkin keberuntungan?

Julia masih sama. Dia masih terobsesi dengan musik. Aku ingin mengungkapkan perasaanku padanya, tapi melihat kemungkinan yang kecil, aku pun selalu mengurungkan niatku.

Di SMA, beberapa kejadian konyol terjadi. Mulai dari meja Putri yang dipenuhi sampah dan kecoa, sampai yang paling membuatku kesal, tas Julia disembunyikan di toilet. Orang bodoh mana yang tega menyembunyikan tas perempuan di dalam toilet laki-laki?

Setelah aku menemukan tas Julia yang bagian bawahnya sedikit basah, Julia yang menahan tangis, menyunggingkan senyum padaku. Senyum seterang cahaya, kata terima kasih paling merdu keluar bagaikan mantra ajaib yang memberikan harapan.

Masih ada kesempatan. Masih ada kesempatan. Julia suka padaku.

Aku harus bilang padanya. Tentang perasaanku. Kapan?

Tentu, waktu yang paling tepat untuk mengungkapkannya adalah saat itu. Waktu paling romantis. Momen paling mendebarkan. Sudah pasti tepat di hari itu. Hari kompetisi U-Star yang akan diikuti Julia.

Setelah Julia turun dari panggung, aku akan menyampaikan perasaanku yang sudah terpendam lama ini.

Hari itu.

Waktu itu.

Momen yang tidak akan terlupakan untukku.

Momen ketika cinta pertamaku pergi dan aku tidak akan pernah melihatnya lagi.

***

CATATAN PEMBUNUHAN (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang