2

1.3K 169 142
                                    

Waktu aku kelas lima SD, kelasku akan mengadakan drama untuk acara pentas seni akhir tahun.

Sejak kecil, Mama sering membacakan dongeng sebelum aku tidur. Kebanyakan dongeng luar negeri seperti Cinderella, Hanzel and Gratel, atau Pied Pipper. Tapi, tak jarang juga Mama membacakan dongeng lokal seperti Timun Mas, atau dongeng tentang kancil.

Dongeng kesukaanku. Snow White. Aku suka dongeng itu karena nama putri di dalamnya sama seperti nama kucingku.

Diceritakan, ada Ratu Jahat yang iri dengan kecantikan Snow White. Sang Ratu berkali-kali mencoba untuk membunuh Snow White, tapi selalu berakhir dengan kegagalan yang menyedihkan. Akhirnya, sebagai hukuman, di hari pernikahan Snow White dan Pangeran, Sang Ratu dipaksa memakai sepatu berbahan besi panas, dan menari sampai mati.

Aku suka cerita itu. Bayangkan, menari dengan sepatu besi panas yang membara. Itu mungkin akan menjadi tarian terbaik yang pernah kau lihat.

Jadi ketika Bu Irina, guru kami memutuskan untuk mengadakan drama, aku mengusulkan untuk membuat drama Snow White.

Teman-teman sekelasku mulai bersorak, beberapa mengusulkan judul-judul lain; Romeo dan Juliet, Rapunzel, bahkan ada yang cowok yang mengusulkan drama tentang kerajaan Majapahit. Voting dilakukan, dan akhirnya drama Snow White disetujui semua.

Amanda, teman sekelasku yang punya suara tegas mendapatkan peran sebagai ratu jahat. Aku sebenarnya ingin jadi Snow White, tapi karena tubuhku yang pendek, aku berperan sebagai salah satu kurcaci. Emi yang mendapatkan peran Snow White, wajah polos dan rambutnya yang sebahu memang harus kuakui memang mirip dengan Snow White yang ada di buku.

Keesokan harinya, Bu irina datang membawa naskah yang sudah di-print. Ketua kelas membagikan lembaran kertas itu dari bangku depan sampai bangku belakang. Amanda yang duduk di sebelahku mengeluh karena dia punya banyak dialog.

"Setidaknya kau menjadi Ratu dengan gaun yang bagus, tidak sepertiku yang cuma pakai kostum kain dan jenggot palsu," kataku, mencoba menghibur Amanda yang sedang menghitung berapa banyak dialog yang harus dia hafalkan.

Amanda tersenyum simpul. "Kau tau, mungkin aku harus menghapus ingatanku yang berisi rumus matematika, lalu menggantinya dengan ingatan berisi dialog-dialog ini." Lalu gadis berkacamata itu tertawa.

Aku tidak terlalu mengerti, jadi aku merespon seadanya, lalu kembali membolak-balik kertas naskah. Aku tidak terlalu peduli dengan dialog-ku sebagai kurcaci, tapi aku penasaran dengan adegan terakhir. Adegan yang berisi Ratu jahat yang menari menggunakan sepatu besi panas.

Bisa kau bayangkan, Amanda yang menari di atas panggung dengan sepatu besi yang merah membara, sama seperti Ratu jahat dalam dongeng aslinya. Menari sampai mati.

Tapi adegan itu tidak ada dalam naskah.

Cerita berakhir ketika Snow White bangun dari tidurnya, bertemu dengan Pangeran, dan berakhir begitu saja. Tanpa ada pesta pernikahan. Tanpa ada hukuman untuk Ratu jahat yang sudah berkali-kali ingin membunuh Snow White.

Aku kecewa. Senyumku pudar.dalam keriuhan kelas. Kenapa adegan itu harus dihilangkan?

Sepulang sekolah, aku pergi ke ruang guru untuk protes. Bu Irina memasang senyum ketika menjawab panjang lebar. Intinya, "Adegan itu tidak pantas untuk dipentaskan. Terlalu mengerikan."

Tapi bukannya itu inti cerita ini? Ratu jahat harus dihukum karena kejahatannya.

Siapa yang peduli dengan Snow White. Siapa yang peduli kalau dia bangun dari tidurnya karena dicium Pangeran. Siapa yang peduli dengan kata-kata 'happily ever after'. Ketika aku menceritakan kekesalanku itu ke Snow, kucing itu mengeong.

Ah, aku benar-benar ingin melihat Amanda menari di atas panggung, dengan sepatu besi panas, walaupun cuma akting, dan dia pura-pura mati. Seharusnya drama Snow White berakhir seperti itu.

***

Hari-hari berikutnya berjalan cukup menyenangkan. Latihan untuk drama dilakukan ketika pulang sekolah, properti panggung seperti pohon dan semak-semak berbahan kardus bekas mulai terlihat wujudnya. Untuk kostum, Bu Irina menyewakan dari teman dekatnya, jadi kami tidak terlalu ambil pusing.

Semuanya memang sudah disiapkan matang-matang, tapi tetap saja, waktu hari H tiba, semua jadi panik.

"Apa kau melihat jenggot palsuku?"

"Bukankah gaun ini terlihat kebesaran?"

"Jangan bermain dengan apel beracunnya!"

Kelas hari itu sangat berisik, banyak murid yang grogi, bahkan sampai ada yang menangis. Mungkin, cuma Amanda dan aku yang duduk diam di bangku. Si Ratu Jahat dan Kurcaci antah berantah.

"Kau belum hafal dialogmu?" tanyaku ke Amanda, dia fokus membaca naskah di sebelahku.

Amanda menggeleng, sambil membetulkan kacamatanya yang agak miring. "Sudah. Aku cuma memastikan kalau aku benar-benar hafal." Amanda menderita rabun dekat, dia biasanya cuma memakai kacamata kalau sedang membaca buku.

"Kalau kau lupa, kau cuma harus melakukan improvisasi," senyumku, menyemangati. "Satu improvisasi kecil tidak akan berpengaruh apa-apa."

"Terima kasih." Amanda membalas senyum.

Tepat jam sebelas siang, kami turun ke aula, tempat panggung dan ratusan kursi penonton menunggu. Kami turun dari tangga kecil di sebelah timur koridor, jalan tercepat untuk menuju aula. Ruang kelasku ada di lantai dua. Lantai satu untuk murid kelas satu, dua dan tiga, juga ruang guru. Lantai dua untuk kelas empat, lima, dan enam. Kepala sekolah yang perfeksionis.

Ketika penampilan paduan suara dari kelas empat sudah selesai, sekarang giliran kami.

Penonton yang kebanyakan orang tua siswa mulai bertepuk tangan ketika Amanda si Ratu Jahat muncul dari sisi panggung.

***

Bisa dibilang, drama itu sukses. Walaupun aku masih kesal karena adegan terakhir favoritku tidak dipertunjukkan. Apa yang salah? Kenapa adegan Ratu jahat menari dengan sepatu besi panas itu dianggap mengerikan? Aku selalu memikirkan itu sampai sekarang, tapi aku tidak dapat menemukan jawabannya.

Toh, drama Snow White itu sudah berakhir.

Berakhir dengan tidak sempurna.

"Aduh, kacamataku ketinggalan di kelas." Amanda berkata sambil menggeledah isi tasnya. Aku sedang menunggu angkutan umum ketika mendengar hal itu.

"Mau aku temani ke kelas?" tawarku dengan senyuman.

Amanda mengangguk, senyumnya seolah berkata terima kasih, lalu menarik tanganku kembali masuk ke area sekolah.

Tidak seperti lantai satu yang masih lumayan ramai, lantai dua terlihat sepi. Sangat sepi hingga aku berpikir kalau tidak ada siapa-siapa lagi selain kami berdua di sini.

"Ah, ketemu." Amanda mengeluarkan kacamatanya dari laci meja. "Yuk, balik."

Aku mengangguk sebagai jawaban.

Sampai di tangga, aku merasakan tanganku bergerak sendiri. Yang kulihat selanjutnya adalah Amanda yang kehilangan keseimbangan di depanku. Sama seperti waktu aku mendorong pintu Alfamart yang berat, aku mendorong Amanda. Tubuhnya terguling dua, tiga kali, lalu kepalanya membentur lantai keramik di bawah tangga.

Ah, seharusnya seperti ini ending drama Snow White yang kuharapkan.

Ratu jahat terkapar di atas lantai yang dingin. Tidak bergerak. Mati.

Sayangnya, Amanda cuma mengalami pendarahan ringan di kepala, tulang keringnya retak tapi Amanda bisa bersekolah lagi beberapa minggu kemudian.

Ya, kurasa Ratu Jahat memang tidak ditakdirkan untuk mati dengan cara jatuh dari tangga.

CATATAN PEMBUNUHAN (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang