True Friend 3

229 56 0
                                    

Setelah kemmatian Luna, Putri menjadi sosok yang tidak kukenal.

Putri menjadi lebih murung, sering melamun, tidak merespon ketika kami mengobrol. Seolah dia berada di tempat yang jauh, dunia dalam pikirannya sendiri. Seperti aku waktu SD dulu.

Awalnya kupikir itu hanyalah trauma sesaat. Putri membenci Luna, dan Luna berakhir bunuh diri. Wajar kalau Putri merasa bersalah, karena aku pun juga merasa seperti itu walaupun secara tidak langsung. 

Luna bunuh diri dengan kemauannya sendiri. Itu bukan salahku. Juga bukan salah Putri. Ketika aku memikirkan itu berkali-kali, mengucapkannya dalam hati dan meyakininya, perlahan rasa bersalahku itu menghilang. Benar, kami tidak bersalah.

Tapi, Putri seolah menepis kebenaran itu. Dia terperosok terlalu jauh ke dalam jurang penyesalan. Bahkan setelah lebih dari satu tahun berlalu, dan kami akhirnya masuk SMA, Putri masih berada di jurang itu. Sendirian dalam gelap.

Kenapa? Apa yang salah dengan hubungan Putri dan Luna? Sedalam apa hubungan mereka?

Ketika kepalaku penuh dengan pertanyaan tak terjawab itu, pagi itu tiba.

Di dalam kelas yang terang, udara pagi menyelinap melewati celah jendela, meja tempat Putri biasa melamun itu tersebar bangkai kecoa, laci meja tempat dia biasa menyimpan alat tulis itu sekarang penuh dengan sampah sisa makanan. Seperti coretan hitam di tengah-tengah kertas putih, kelas ini bersih, cuma meja Putri yang terlihat seperti tempat sampah. Seperti meja Luna dulu.

Siapa? Siapa yang melakukan ini? Beraninya dia.

Waktu itu Fenella---yang kebetulan sekelas lagi dengan kami---muncul dari lorong.

Kalau kau memang sebenci itu... bunuh saja dia.

Suara itu tiba-tiba muncul di kepalaku. Suara Fenella yang tanpa intimidasi, tapi bisa membuat nafasku tertahan. Itu pasti ulahnya. Pasti ulah Fenella.

“Kau yang melakukan ini, kan?!” Tanpa kusadari nada suaraku menjadi kasar. Pikiranku, atau hatiku yang menyuruhku berteriak? Aku tidak tahu yang mana. Rasanya seperti terbakar.

“Apa maksudmu?” Teman sebangku Fenella yang bernama Amanda tiba-tiba menengahi. Sudah jelas dia membela Fenella. Selama aku menyudutkannya dengan pertanyaan, Amanda selalu membelanya, membantahku.

Padahal aku yakin benar-benar Fenella yang melakukannya. Kalau bukan dia, terus siapa lagi? Mungkin, aku tidak melihatnya secara langsung, tapi aku bisa membayangkan Fenella yang mencari kecoa di sekitar selokan, lalu bertemu dengan Amanda yang membantunya. Ah, jangan-jangan Amanda yang memasukkan sampah ke laci mejanya, sama seperti yang aku lakukan dulu ke meja Luna. Benar, pasti begitu. Fenella pasti menghasutnya.

Iya, ini salah Fenella. Salah Fenella. Sudah pasti begitu.

“DIAM!!” Setelah sekian lama, aku akhirnya bisa mendengar suara teriakan Putri. Putri menatap Fenella dengan tatapan... bukan. Bukan tatapan intimidasi. Sorot matanya pudar... terlihat lelah.

Putri menyuruhku untuk tenang. Bukan seperti dia yang biasanya.

Tidak bisa begitu dong! Dia harus minta maaf! Suara Putri waktu SMP itu muncul. Suara yang penuh semangat dan keyakinan itu, kenapa sekarang rasanya menyedihkan?

***

Akhirnya, masalah itu terlupakan seiring berjalannya waktu. Walaupun begitu, aku masih tidak bisa memaafkan Fenella. Gadis itu sudah berani macam-macam dengan Putri. Membuka luka masa lalu, mengintimidasi Putri dengan memanfaatkan rasa bersalahnya. Menyebalkan. Benar-benar menyebalkan. Aku ingin membalasnya.

“Kita harus membalasnya!”

“Itu tidak perlu,” kata Putri dengan mata sendunya. “Aku pantas mendapatkan itu.”

Putri selalu menjawab seperti itu.

Pantas apanya? Putri sama sekali tidak pantas mendapat perlakuan seperti itu. Memang apa salahnya? Apa karena dia sudah membully Luna? Kalau begitu, semua anak di kelas juga harus mendapatkannya. Seharusnya Fenella juga pantas mendapatkannya. Putri sudah menghukum dirinya sendiri dengan rasa bersalah. Itu cukup. Seharusnya itu cukup.

Lagipula, kenapa Fenella melakukan itu? Kupikir Fenella juga tidak terlalu peduli pada Luna. Dia selalu diam saja kalau ada apa-apa dengan Luna. Kenapa sekarang dia ingin membalas?

Aku tak habis pikir.

Terutama ketika siang itu, ketika tas Julia disembunyikan, dan akhirnya ditemukan oleh Vero di toilet.

Ini pasti ulah Fenella lagi. Pasti. Itu pasti. Aku yakin.

“Sebelum menuduh orang lain, pikir dulu pakai otakmu.” Lagi-lagi, Amanda membantahku. Gadis itu, beraninya dia. Sialan. “Kalau tas itu ketemu di toilet cowok, pelakunya pasti cowok, dong! Mana mungkin Fenella mau masuk toilet cowok cuma buat menyembunyikan tas tidak penting ini.”

Terus saja. Terus saja dia membela Fenella. Amanda itu, dia kan tidak tahu akar permasalahan ini.

Untungnya, alasan Amanda cukup logis, dan aku tidak punya apa-apa untuk menuduh Fenella. Kalau saja aku punya bukti. Benar, bukti. Aku cuma harus mencari bukti. Bukti yang bisa memberatkan Fenella.

Aku harus memata-matainya.

***

Hari pertama penyelidikan.

Aku menemukan Fenella duduk di perpustakaan pengap di lantai dua. Dia mengobrol dengan seorang laki-laki. Dari postur tubuh dan dasi bergaris merah, kelihatannya laki-laki itu adalah kakak kelas. Aku tidak tahu siapa laki-laki itu, aku juga tidak terlalu mendengar apa yang mereka obrolkan dari balik rak buku tua ini..

“Asam fosfat... permen... bintang....” Kata-kata tidak jelas seperti itu yang terdengar ketika aku menajamkan telinga, itu pun juga tidak terdengar pasti. Mereka seperti membicarakan tentang rahasia.

Hari kedua penyelidikan.

Mereka bertemu lagi di perpustakaan. Si laki-laki memberikan sesuatu, sebuah botol kecil. Bukan, itu bukan botol minuman, malah terlihat berbahaya. Botol kecil seukuran kelingking dengan tutup berwarna kuning itu... terlalu mencurigakan.

Hari kelima penyelidikan.

Entah kenapa, aku mulai mengira kalau mereka rutin datang ke sini. Mungkin hampir setiap hari di jam makan siang. Bukan cuma itu, aku juga merasakan sesuatu yang familiar ketika diam-diam menatap wajah laki-laki itu. Sangat familiar, aku seperti pernah melihatnya di suatu tempat. Bola mata bulat yang cenderung ceria, tulang pipi tirus, susunan wajah itu, aku seperti mengenalnya.

Luna? Tidak. Itu tidak mungkin. Itu pasti cuma kebetulan. 

Hari keenam penyelidikan.

Elio. Nama laki-laki itu Elio. Aku tahu karena aku membuntutinya, pura-pura menabraknya ketika berjalan, dan aku bisa melihat name tag bertuliskan nama “Elio” yang terjahit di seragamnya sewaktu dia menolongku untuk berdiri. Bodohnya aku, aku tidak sempat melihat nama belakangnya karena fokusku teralihkan kepada bola mata Elio yang menatapku. Jujur saja, bola matanya benar-benar indah, seperti bulan purnama yang bersinar.

Besoknya, hari kompetisi U-Star.

Aku sebenarnya ingin menikmati hari ini tanpa perlu memata-matai seseorang. Namun, hari ini mereka juga ada di sini. Aku melihat Fenella dan Elio berada di dekat pintu masuk Hall, seperti pasangan yang serasi.

Aku sedang duduk di bangku taman, bersama Putri, Vero, dan Julia yang sedang menenangkan diri sebelum penampilan. Mereka sepertinya tidak menyadari keberadaan Fenella. Ketika aku ingin memberitahu mereka, Fenella dan Elio sudah menghilang.

Kurasa, aku tidak perlu khawatir. Memangnya, apa yang bisa dilakukan Fenella di sini? Menaruh kecoa dan sampah bungkus makanan ke atas panggung? Tentu saja tidak mungkin. Konyol sekali kalau begitu.

Namun hari itu... Julia pergi untuk selamanya.

***

CATATAN PEMBUNUHAN (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang