23

257 52 0
                                    

Rumah itu terbakar habis.

Aku melihatnya di acara berita di TV keesokan paginya. Kebakaran itu ternyata lebih hebat dari yang aku duga. Pemadaman kebakaran yang datang butuh waktu berjam-jam untuk  memadamkan api. Empat orang yang diduga penghuni rumah itu dilaporkan mati, kehabisan oksigen.

Berhasil. Aku berhasil. Snow, apa kau senang mendengar itu? Si bodoh Tasya yang sudah membunuhmu itu benar-benar sudah mati, lho!

Aku bisa mendengar Snow mengeong dalam pikiranku. Suaranya yang lembut dan mata kuucingnya yang bulat mengawasiku dari tempat yang jauh. Iya, iya, aku tahu. Aku juga senang mendengarnya.

Hingga berita itu muncul.

Seorang pemuda nekat masuk ke dalam rumah yang terbakar, menorobos kobaran api seolah tidak peduli dengan keselamatan dirinya sendiri. Pemuda itu ditemukan pingsan di samping seorang gadis yang sudah tidak bernyawa, sepertinya dia ingin menyelamatkan gadis itu, tapi sayangnya gagal. Dehidarasi, terkena luka bakar, dan gangguan pernapasan, pemuda itu segera dilarikan di rumah sakit. Kritis, tapi masih bisa selamat.

Pemuda. Laki-laki itu siapa?

Dia sekarang sedang dirawat intensif di rumah sakit dekat taman kota. Berita di TV tidak mengumumkan identitas orang itu. “Pahlawan yang malang.” Cuma julukan itu yang tertulis di layar.

Apanya yang pahlawan? Dia hampir merusak rencanaku, lho. Beraninya dia!

Siapa sih dia ini?!

***

Pertanyaan itu terus menggangguku bahkan ketika aku berada di sekolah.

Amanda hari ini datang lebih siang daripada biasanya. Awalnya aku mengira dia akan datang dengan penampilan baru, aksesoris baru atau parfum baru, tapi ternyata tidak. Penampilan Amanda masih sama seperti kemarin, dengan make up tipis, kutek pink transparan, rambutnya yang sudah dipotong sebahu diikat ekor kuda.

Dia melemparkan tasnya ke atas meja, menoleh menatapku seolah punya banyak hal untuk dibicarakan.

“Kau, kau sudah dengar berita itu, kan?” Amanda mencondongkan tubuhnya lebih maju, matanya berbinar seolah ikut berbicara. “Itu lho,” Dia sedikit berbisik “Berita tentang kebakaran.”

Aku mengernyit, ikut membuka mulut dengan volume yang kecil. “Maksudmu, tentang Tasya?”

Dia mengangguk. “Iya, dia. Menyeramkan, ya? Beritanya ada di mana-mana. Aku sampai lupa waktu gara-gara menonton menonton TV.”

“Jadi karena itu ya, kau hampir terlambat hari ini.”

“Aku kan penasaran, tahu!” Amanda memajukan bibirnya, pura-pura cemberut seperti anak kecil, lalu kembali ke ekspresinya yang semula. “Oh, iya. Kau tahu tidak, tentang Pahlawan yang malang?”

“Orang yang nekat masuk ke rumah untuk menyelamatkan Tasya itu, kan? Memangnya kenapa?”

Amanda membuka matanya lebar-lebar, tersenyum lebar-lebar seolah sedang menakut-nakutiku. “Menurutmu, dia siapa?”

Pahlawan yang malang itu? Entahlah, mungkin tetangga dekat. Atau mungkin, orang yang sudah bosan hidup dan ingin mati terbakar juga?”

“Aduh, Fenella, cara bercandamu itu memang tidak pernah berubah, ya.” Amanda menghela nafas, pundaknya turun, lalu dengan cepat beringsut mendekatiku lagi. “Dengar, ya.” Dia menjeda kalimatnya sampai aku mengangguk. “Menurutku, Pahlawan itu Vero.”

Vero?

“Lihat saja.” Amanda menggeser kepalanya, melirik, menyuruhku melihat sekitar. “Itu, bangkunya Vero masih kosong, kan? Dia belum datang, kan?”

CATATAN PEMBUNUHAN (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang