Once Upon a July 3

313 67 0
                                    

Setelah kematian Luna, tidak banyak yang berubah dalam hidupku.

Aku tetap melanjutkan sekolah seperti tidak terjadi apa-apa, menghadiri les vokal, naik ke kelas sembilan. Banyak orang syok mendengar berita bunuh diri Luna, akan tetapi hal itu menurutku tampak seperti berita biasa yang sering muncul di TV. Mereka hanya penasaran, tapi tidak peduli sama sekali.

Seharusnya seperti itu.

Namun, perlahan sikap Putri berubah. Sejak kematian Luna, dia menjadi pemurung. Sosok yang dulunya bersinar itu, perlahan meredup. Aku sempat beberapa kali menawarinya untuk pergi karaoke lagi, tapi dia selalu menolak.

“Maaf,” katanya.

Maaf, maaf, maaf, maaf. Sebenarnya, dia minta maaf untuk siapa? Bukan untuk Luna, kan?

Semakin lama, Putri yang kukenal sudah menjadi orang lain. Kami masih berteman, tapi dia seperti membentuk tembok, dia berada dalam dunianya sendiri. Dunia hitam putih seperti tuts piano, yang tidak bisa aku masuki. Aku ingin mengeluarkannya dari dunia membosankan itu, tapi aku punya masalahku sendiri.

Setelah aku naik ke kelas sembilan, Mama menyuruhku untuk lebih fokus ke pelajaran dan memintaku untuk berhenti les vokal. “Sebentar lagi ujian,” katanya. “berhenti main-main.”

Aku tahu nilai akademisku pas-pasan, aku lambat dalam berhitung, tapi menyebut aktivitas les vokalku itu main-main terasa lebih menyesakkan. Aku selalu serius dalam musik. Itu impianku. Diriku. Dunia yang aku tuju, dunia musik yang sama dengan Grand-père dan Papa. Menyebut itu main-main, aku merasa seperti dikhianati. Oleh Mama.

“Mama tidak akan membiayai les vokalmu itu lagi,” katanya, sambil mengelus rambutku seolah dia yang paling mengerti tentang aku. “Kamu harus lebih memikirkan masa depan, Julia”

Tidak. Aku tidak mau itu. Masa depan? Masa depanku akan bersinar, kalau aku menjadi bintang. Mama harusnya tahu itu. Ah, aku tahu. “Mama takut kalau aku gagal, kan? Seperti Mama yang gagal jadi desainer, Mama takut kalau aku tidak bisa jadi penyanyi seperti yang aku harapkan.”

Kata-kata itu keluar dengan sendirinya, keluar dengan nada yang dipenuhi emosi. Aku tidak mau Mama sedih, tapi kenyataan yang kukatakan mungkin terdengar seperti tamparan bagi Mama. Wajahnya memerah, dan sorot matanya menggambarkan masa lalu.

“Seharusnya, sejak awal Mama tidak menyetujuinya.” Kata Mama. “Dulu Mama membiarkanmu ikut les vokal, agar kamu bisa lebih ceria lagi setelah kematian Papa. Kalau tahu akhirnya seperti ini, Mama tidak akan membolehkanmu. Musik cuma buang-buang waktu.”

Buang-buang waktu? Padahal sebelum Papa meninggal, Mama juga membuang-buang waktunya dengan menjahit, merajut, atau apalah itu crochet, knitting. Padahal Mama juga tahu kalau gaun hasil buatannya itu tidak pernah laku. Padahal Mama boleh buang-buang waktu seperti itu, kenapa aku tidak boleh?

Kenapa?

Kenapa aku tidak boleh jadi diriku sendiri?

Tanpa sadar, langkah kakiku membawaku berlari. Aku tidak mau ada di sana. Aku tidak mau bertemu Mama, melihat wajahnya, mendengar suaranya. Aku membanting pintu kamar. Suara bantingannya lebih keras dan menyakitkan daripada yang kuduga, tapi siapa peduli. Aku ingin sendirian. Di dalam duniaku.

Mama serius ingin aku berhenti menyanyi, dia serius tidak membiayai les vokalku lagi. Rasanya seperti naik pesawat, lalu jatuh ke laut, lalu aku tenggelam, cuma bisa menyaksikan cahaya matahari yang makin pudar tertutupi air yang gelap. Sesak. Aku ingin mati. Tapi tidak bisa.

Masih ada cara.

Aku mulai ikut dalam ekskul paduan suara yang anggotanya tidak pernah serius, aktif dalam KOR gereja walaupun aku sebenarnya tidak terlalu religius. Aku juga menabung untung daftar les vokal yang lebih murah. Ini menyebalkan. Aku capek, tapi ini pertama kalinya aku merasa sehidup ini.

CATATAN PEMBUNUHAN (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang