9

448 96 40
                                    


Aku benci olahraga.

Aku tidak suka melakukan aktifitas berat yang membuatku berkeringat. Kalian tahu, kan, keringat itu bau, keringat itu lengket dan menjijikkan, dan yang paling menyebalkan, keringat membuat noda-noda kuning pada seragam putihku. Memang, aku bukan maniak kebersihan yang suka bersih-bersih, tapi aku juga bukan perempuan jorok yang betah kotor.

Walaupun aku tidak suka olahraga, tapi sebagai murid SMA yang sehat, aku tentu saja tidak bisa menolak pelajaran olahraga di sekolah.

Seperti saat ini, aku bisa saja membolos ke suatu tempat, atau berpura-pura sakit agar tidak perlu mengikuti pelajaran olahraga. Tidak, tentu saja aku tidak melakukan itu. Mama pasti akan marah kalau aku ketahuan membolos pelajaran.

“Ayo cepat, Fenella. Nanti kita terlambat.”

Amanda memanggilku ketika aku memasukkan seragam putihku ke dalam tas. Kami sekarang berada di ruang ganti, dan sama seperti yang dibilang Amanda, kami akan dihukum squat-jump kalau kami tidak segera berbaris di lapangan dalam lima menit.

Aku mengibaskan kaus olahraga yang sudah terpasang di tubuhku, memastikan tidak ada kotoran atau sesuatu yang menempel. Setelah selesai menguncir rambut, aku kembali ke kelas untuk menaruh seragam putih ke meja. Amanda mengikutiku seperti seekor anak ayam.

Kelas tampak kosong, mungkin yang lain sudah berbaris di lapangan. Tersisa aku dan Amanda, juga Putri dan kroco-kroconya---mungkin istilah kroco-kroco sudah basi untuk saat ini---yang masih berada di kelas.

Tasya terus melirikku ketika aku meletakkan tas berisi seragam di atas meja. Insiden meja bak tempat sampah itu sudah terjadi beberapa minggu yang lalu, tapi entah kenapa kurasa Tasya masih mencurigaiku. Bodoh. Padahal Putri si pemilik meja itu saja tidak terlalu mempermasalahkannya.

Aku dan Amanda segera pergi ke lapangan. Mereka berempat---Putri, Julia, Tasya, dan Vero---masih di kelas, tapi aku tidak ingin ambil pusing.

***

Materi pelajaran olahraga hari ini adalah kasti.

Aku tidak tahu apa bedanya kasti dengan bisbol, tapi dari penjelasan Pak Bima yang tidak terlalu kudengarkan, aku tahu mereka berdua berbeda. Kasti menggunakan bola tenis, bisbol menggunakan bola bisbol yang berwarna putih dan lebih berat. Tongkat pemukulnya kelihatannya sama saja, dan aturan bermainnya juga tidak terlalu berbeda.

Dari tiga kali percobaan, aku tidak berhasil memukul bola. Tongkat pemukulnya lebih berat dari dugaanku, dan aku tidak bisa membidik bola yang terbang ke arahku dengan cepat. Aku tahu aku tidak berbakat dalam olahraga, tapi menurutku ini tetap menyebalkan.

Vero, salah satu kroco Putri, berhasil memukul bola dalam percobaan pertama. Bolanya melambung jauh, meninggalkan bunyi cetas yang cukup untuk membuatku mengangkat alis saking kagetnya. “Home run!” Aku dengar beberapa murid laki-laki berteriak, membuat senyum di wajah Vero semakin mengembang.

Amanda sendiri sama seperti aku. Dia payah. Jemarinya yang lentik gemetaran ketika memegang pemukul. Walaupun tatapan matanya tampak meyakinkan, tapi teriakan “Hyaaa!” ketika dia mengayunkan pemukul membuat semuanya tertawa.

“Sayang sekali, ya,” kata Amanda.

Aku tertawa kecil. “Mungkin ratu jahat tidak ditakdirkan untuk bermain kasti.”

“Ayolah, jangan memanggilku dengan julukan itu.” Amanda cemberut, pipinya menggembung. “Apa kau mau kupanggil dengan julukan kurcaci?”

“Tidak masalah. Kurcaci itu lucu, kan?”

Amanda berdiri dengan menghentakkan kakinya. “Ah, Fenella tidak asyik.” Lalu dia melangkah pergi.

“Mau ke mana?”

CATATAN PEMBUNUHAN (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang