Moon Princess

294 52 0
                                    

Aku bersahabat dengan Luna sejak kecil.

Putri dan Luna yang tidak terpisahkan.

Bunda Luna adalah teman mamaku waktu SMA. Mereka sering mengobrol di rumah, pergi belanja bersama, mencoba menu masakan baru berdua. Bisa dibilang, aku dekat dengan Luna karena orang tua kami berdua juga dekat.

Waktu kecil, aku dan Luna paling suka main petak umpet. Kami akan bergantian mencari dan bersembunyi di dalam rumah. Aku biasanya akan bersembunyi di lemari pakaian Mama, gudang kecil dekat tangga, atau di bawah tempat tidurku yang kunobatkan sebagai tempat sembunyi favoritku.

Selain itu, kami juga suka menjelajah. Aku sering mengajak Luna ke taman belakang, tempat Mama merawat tanaman hiasnya, lalu kami akan menyelinap melewati pagar, menyusuri jalanan kompleks sebelum akhirnya berhenti di rumah kosong yang kata kebanyakan orang tempat itu berhantu.

Pernah suatu hari, karena kenakalanku dan keingintahuan Luna, kami masuk ke rumah kosong itu. Rumah itu gelap, debu tebal menumpuk di mana-mana, dan sarang laba-laba yang tersebar terlihat menyeramkan, seolah ingin menjerat siapa pun yang masuk dan tidak akan pernah membiarkan mereka keluar.

Aku sedikit takut dengan laba-laba, tapi Luna sepertinya tidak. Luna yang aku tahu malah suka dengan serangga. Dia sering mengajakku berburu capung dan kupu-kupu, antusias mengamati kumbang yang hinggap di bunga Mama. Bahkan dia kadang penasaran dengan semut-semut yang muncul entah dari mana.

“Serangga itu makhluk yang menggemaskan, ya.” Dia pernah berkata seperti itu. “Peri kecil dan elf suka berteman dengan serangga.”

Di rumah kosong itu, kami menemukan seekor kecoa kecil. Kecoa itu terbang ke bajuku, dan aku refleks mengkibasnya dengan tangan, lalu berniat untuk menginjakknya. Tapi, sebelum sandal yang kupakai meremukkan tubuhnya, Luna lebih dulu mencegahku.

“Jangan,” katanya. “Kecoa itu serangga yang hebat.”

Lalu Luna menceritakan padaku sebuah dongeng aneh yang tidak pernah kudengar.

Dikisahkan, di bulan, ada seorang putri yang terbuang. Keluarga kerajaan meninggalkannya di bulan dan turun ke bumi tanpanya. Seribu hari. Raja berjanji, dalam seribu hari mereka akan pulang dan menjemput sang Putri. Lalu, Raja memerintahkan para serangga untuk menemani sang Putri. Karena ukuran bulan jauh lebih kecil daripada bumi, maka serangga itu juga dibuat mengecil menyesuaikan tempatnya.

Sesuai janji, Putri Bulan menunggu. Dia tidak pernah lelah menghitung hari. Seratus, dua ratus, lalu tiga ratus hari, Putri Bulan melewati hari-hari itu dengan bermain dengan para serangga; kupu-kupu, kepik merah, juga belalang dan capung yang suka bertengkar. Mereka selalu menghiburnya.

Suatu hari, seekor kecoa kecil berkata kepada Putri Bulan. “Aku bosan berada di sini. Aku ingin pulang ke bumi.”

Kupu-kupu dan serangga lain mulai mencibir, mengejek kecoa. Mengatakan dia serangga yang tidak tahu diri. Tapi, Putri Bulan memaklumi itu. Bagaimanapun juga, Putri Bulan sebenarnya juga bosan berada di sana. Ia memahami perasaan kecoa itu.

Mereka berdua akhirnya turun ke bumi secara diam-diam. Namun sialnya, Raja langsung memergoki mereka, lalu menyuruh semua serangga yang ada di bulan untuk turun ke bumi, mengutuk mereka semua menjadi makhluk menjijikkan bertubuh kecil selamanya.

“Padahal kecoa hanya ingin membuat Putri Bulan bahagia,” Luna berkomentar di akhir cerita. Benar-benar gadis pecinta serangga.

***

Seiring berjalannya waktu, Luna tumbuh menjadi gadis yang pintar. Walaupun Bundanya meninggal dalam kecelakaan, dia tetap bisa mempertahankan prestasinya di sekolah dan membanggakan nilai-nilainya.

Luna pernah bilang, Papanyalah yang terus-terusan memaksa Luna untuk belajar. Dia terus bilang kalau dia selalu belajar tiap malam, sampai jam tidurnya berkurang. Dengan bangganya dia terus memamerkan nilai-nilainya yang selalu di atas sembilan puluh kepadaku, juga kepada Mama yang menjemputku.

Luna mulai menyebalkan. Dia terus mengeluhkan Ayahnya ini, ayahnya itu, tapi dia juga terus memamerkan nilainya. Tentu saja aku lama-lama muak mendengarnya, apalagi setelah aku mendapat omelan Mama yang sudah capek dengan nilaiku yang jauh lebih rendah daripada Luna.

Semakin lama, aku semakin membenci Luna. Aku mulai menjauhinya dan diam-diam berharap tidak akan bertemu lagi dengannya lagi di SMP.

Tentu saja, itu tidak terjadi. Tuhan terlalu malas untuk mengabulkan harapan kecilku itu.

Aku sekelas lagi dengan Luna di SMP. Dengan kepintarannya dia dengan cepat menjadi idola kelas. Tidak ada murid yang tidak mau berteman dengannya. Dunianya sempurna. Lalu, pernah satu hari, aku melihat Luna memandang rendah kepadaku, seolah dia tahu nilaiku yang rendah dan meremehkanku dengan nilainya.

Apa? Kau mau bilang kalau nilaimu itu paksaan dari Ayahmu? Kau mau bilang kau menderita karena terus belajar? Begitu?

Aku juga sudah melakukannya. Aku belajar sampai tengah malam, membaca banyak buku, membuat banyak catatan. Percuma. Semuanya percuma. Aku tahu sejak dulu aku memang tidak bisa bersaing dengan Luna. Tidak dalam pelajaran, atau dalam permainan petak umpet yang dulu selalu dia menangkan dengan cepat.

Benci, benci, benci. Aku benci dia.

***

Suatu hari, aku pergi ke karaoke dengan teman-temanku untuk menenangkan diri. Nilai ujianku buruk lagi, dan aku tidak ingin pulang ke rumah cuma untuk mendapat omelan Mama. Aku bahkan mematikan ponselku karena tidak mau diganggu oleh telepon darinya.

Aku sampai di rumah sewaktu jam menunjukkan pukul sembilan malam. Mama---anehnya--- memelukku sambil terisak. Apa Mama meremehkan aku? Apa Mama mengira aku ini terlalu bodoh sampai tidak tahu jalan pulang?

“Kau... Dari mana saja, kau?”

Aku tidak menjawab. Pelukannya semakin erat dan kata-kata yang keluar dari mulutnya tidak terdengar jelas.

“Mama mencarimu, tahu!”

Isakannya semakin keras, napas membuatnya susah untuk bicara.

“Kau tahu. Ayahnya... Ayahnya Luna. Dia... ditangkap polisi. Mama....”

Tunggutunggutunggutunggu. Apa? Apa yang Mama bilang?

Tidak ada kata-kata lagi yang keluar. Isakannya mulai berhenti, tapi napasnya masih tidak beraturan. Sepertinya, Mama menyembunyikan sesuatu. Apa mungkin?... Tidak, itu tidak mungkin. Bagaimana? Kenapa?

Ada hubungan apa Mama dengan Ayahnya Luna. Kenapa Mama menangis begitu? Apa mungkin... Mama selingkuh dengan Ayahnya Luna? Tunggutunggutunggu. Apa benar seperti itu?

Mama tidak memberi jawaban, tapi ekspresi wajahnya jelas menunjukkan kesedihan yang mendalam.

Dan lagi, apa kata Mama tadi? Ayah Luna ditahan polisi? Apa aku tidak salah dengar? Kalau benar seperti itu....

Ini adalah akhir dari kehidupan sempurna Luna.

***

CATATAN PEMBUNUHAN (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang