22

272 60 3
                                    

Tepung sudah siap, korek api juga. Plester, tali, dan sebotol kecil kloroform walaupun kurasa aku tidak membutuhkannya. Tas ranselku sudah penuh, semua sudah siap. Waktunya berangkat.

Bel rumah Tasya berdentang ketika aku pencet. Satu kali. Dua kali. Aku tahu kedua orang tua Tasya biasanya tidak ada di rumah pada Minggu pagi---mereka biasanya berolahraga di taman---tapi setidaknya aku tahu masih ada satu orang lagi di rumah.

Bel rumah berbunyi lagi untuk yang ketiga kali, saat itu pintu terbuka. Sosok nenek yang sedikit membungkuk perlahan terlihat di baliknya.

Nenek yang kuyakini sebagai nenek Tasya itu menatapku dengan senyum hangat. Keriput di wajahnya tampak serasi dengan rambutnya yang sudah memutih. Bibir yang pucat, sorot mata yang sayu, aku hampir tidak menyangka orang yang kelihatan ramah ini adalah nenek dari orang yang sudah membunuh Snow.

“Permisi, saya teman sekelasnya Tasya.”

“Ah, iya, iya. Temannya Tasya, ya.” Senyum Nenek semakin melebar, lalu berkedip cepat. “Tapi Tasya-nya sedang olahraga di taman, ah sebentar lagi juga pulang. Sini, masuk dulu.”

Aku membalas senyum, mengangguk. Nenek menuntunku ke ruang tamu.

Ruang tamu itu minimalis, tidak terlalu luas, tapi masih tetap nyaman dengan sedikit aroma lavender dari pengharum ruangan. Lemari kaca berdiri tegak di salah satu sisi, di rak paling atas ada banyak bingkai foto kecil; foto pernikahan, foto bayi, foto Tasya kecil berdiri di depn taman kanak-kanak. Di rak bawahnya, ada miniatur-miniatur kayu, boneka kecil, benda-benda koleksi dan pajangan. Sofa yang kududuki sudah tidak terasa empuk, tapi terasa bersih. Nenek duduk di sofa sebelah setelah memberiku segelas air putih.

“Jarang-jarang Tasya mengajak teman sekolahnya ke rumah,” kata Nenek yang sudah jelas itu salah paham. Tasya tidak mungkin mengundangku ke rumahnya, bahkan mungkin, dia juga tidak berharap aku akan datang hari ini.

Kalau dilihat-lihat. Nenek terlihat mirip dengan karakter Nenek yang ada di film Anastasia versi Disney. Sosok penyayang yang suka memanjakan cucunya. Bisa kubayangkan Tasya kecil seperti dalam foto sedang merengek di pangkuan sang Nenek.

“Mau kerja kelompok, ya?” tanya Nenek, meneliti penampilanku. “Tasmu kelihatan berat."
 
“Ah, iya.” Aku mengangguk ramah. “Isinya tepung dan beberapa bahan lainnya.”

“Tepung? Kalian mau praktek membuat kue, ya? Ada tugas membuat kue?” Walaupun kelihatan sudah berumur, tapi cara bicara Nenek masih lancar. Beliau bahkan bisa menyerbuku dengan pertanyaan tanpa kehabisan nafas atau terbatuk. “Kalau membuat kue, mungkin Nenek bisa bantu,” kata Nenek. “Begini-begini, Nenek juga jago membuat kue, lho.”

Aku memaksakan tawa, lalu menyesap air putih yang sudah disediakan.

“Kalau bahannya kurang, nanti ambil saja di lemari. Ada banyak tepung juga di sana.”

Baguslah, aku sempat takut. Kalau tepung yang kubawa kurang, mungkin apinya tidak akan menyebar dengan cepat. Kalau begitu, mungkin saja akan ada tetangga yang sadar sebelum rumah ini terbakar sepenuhnya.

“Jangan sungkan-sungkan,” Nenek tersenyum padaku. “Anggap saja seperti rumah sendiri.”

Kalau begitu..., “Maaf, apa boleh lihat dapurnya? Takutnya nanti....”

“Iya, iya. Boleh, boleh.” Nenek mengangguk antusias, lalu beranjak dari sofa. “Sini, Nenek tunjukkan dapurnya.”

Aku meninggalkan tasku di sofa, mengikuti Nenek masuk lebih jauh ke dalam rumah.

Dapur rumah Tasya tampak minimalis seperti tuang tamunya. Piring hias berjejer di dalam lemari kaca. Celemek tergantung di sebelah pintu. Peralatan masak walaupun sudah tidak mengkilap tapi tersusun rapi. Di atas bak cuci piring, ada piring dan cangkir keramik ynag setengah basah, aroma sabun cuci masih tercium waktu aku mengendusnya.

Dengan cangkir keramik itu, aku memukul Nenek. Tepat di belakang leher. Sosok wanita berusia lanjut itu terjatuh tanpa suara.

***

Tasya dan kedua orang tuanya tiba tidak lama kemudian.

Kueratkan genggaman tanganku pada tongkat kasti, bersiap memukul. Ketika mereka bertiga menemukan Nenek yang sudah terbaring lemas di dapur, itulah kesempatanku.

Yang menjadi target pertamaku adalah sang Ayah. Aku berlari dari tempat persembunyianku sambil mengayunkan tongkat. Kecepatan, kelenturan tubuh, ayunan tangan. Momentum. Tongkat kasti itu berayun tepat di kepala Ayah Tasya. Pria bertubuh subur itu bergerak sempoyongan, tangannya mencengkeram kepala yang kesakitan.

Tasya dan Ibunya menjerit dengan nafas yang tercekat. Sang Ibu berlari mendekati suaminya, tapi tentu saja tidak segampang itu. Tongkat kastiku berayun lagi, menuju suara derap kaki yang berlari. Satu pukulan penuh refleks, tepat mengenai wajah. Suara krak terdengar, mungkin dari tulang hidung yang terkena serangan.

Tasya yang ada di ambang dapur menatapku ngeri. Iya, seperti itu. Tataplah aku seperti itu. Memang begitulah seharusnya.

Hal yang tidak kusadari, sang Ayah mendorongku dari belakang. Tubuh bulatnya menimpaku, menahan tubuhku. “Pergi!” serunya terdengar lirih, tapi tentu saja Tasya tidak akan pergi meninggalkan semua ini.

Dengan dua tangan yang gemetaran, Tasya mengambil pisau yang ada di laci, menodongkannya padaku.

“Apa kau juga menodongkan pisau seperti itu juga waktu membunuh Snow?” Aku tersenyum kecut, tanganku masih memberontak, menyikut tubuh sang Ayah yang menghentikan pergerakanku. “Kenapa? Kau ragu? Kau berani menusuk seekor kucing tapi tidak berani menusukku?”

“Apa... apa maksudmu?” Tasya tampak semakin pucat, bibirnya ikut gemetar. “Fenella, Fenella, apa yang...?”

“Jangan bercanda. Kau tidak mungkin melupakannya, kan?” Tidak, tidak, tidak, tidak. Kau tidak mungkin lupa begitu saja. Apa yang kau lakukan itu. Tidak. Tidak boleh. TidakTidakTidakTidak!

Aku mendorong kakiku ke lantai, menghempaskannya kuat-kuat sehingga aku bisa lepas dari sang Ayah.

Aku menerjang ke arah Tasya. Kepalan tanganku terasa berat, tapi juga ringan, seolah semua beban tubuhku terkumpul di sana. Dengan kepalan tangan itu, aku memukul Tasya. Tepat di pipi. Tubuhnya terpelanting ke belakang, dan pisau yang dipegangnya terlempar entah ke mana.

Sang Ayah berlari sambil berteriak mendekatiku. Bodoh. Karena dia berteriak, aku bisa menghindar. Dia terjatuh lagi, dan aku punya kesempatan untuk mengambil tongkat kastiku. Kali in aku memukul bagian belakangnya beberapa kali sampai pria bulat itu pingsan.

Ah, sudah kuduga. Cara ini terlalu beresiko. Seharusnya aku memakai obat bius saja. Tapi, ya sudahlah. Mereka sudah pingsan. Tidak, sebelum itu. Aku harus memukul Tasya dan Ibunya beberapa kali lagi untuk memastikan.

Setelah ini, waktunya acara utama.

***

Aku menaruh mereka di ruangan yang berbeda. Nenek di dapur, Ibu di kamar, Ayah di ruang tengah, Tasya di kamarnya sendiri yang penuh dengan poster-poster film.

Sebelum menyebar tepung, aku lebih dulu mematahkan kaki mereka agar tidak bisa bergerak, lalu merobohkan lemari sebagai tindakan kamuflase. Seandainya akan diakukan autopsi, patah kaki mereka akan dianggap karena tertimpa lemari. Itupun kalau tulang mereka tidak meleleh duluan, hahaha.

Setelah menyebar tepung dan melihat bubuk-bubuk kecil itu melayang di udara, aku mengucapkan selamat tinggal pada rumah ini.

Tinggal menyalakan api pada gorden, kompor, dan kertas-kertas yang kuatur berserakan. Api pun menyala.

Waktunya pergi sebelum api itu semakin membesar dan menimbulkan reaksi berantai pada tepung.

Snow, selamat tinggal.

Kuharap api ini bisa membuatmu hangat di alam sana.

***

CATATAN PEMBUNUHAN (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang