24

253 54 0
                                    

Dear diary.

Hari pertama di SMP, deg-degan banget, sumpah!

Ngebayangin sekolah baru, seragam putih biru yang kelihatan dewasa banget, temen-temen baru buat gila-gilaan. Rasanya kayak masuk Wonderland nggak sih? Kayak dunia baru gitu, petualangan baru juga. Wah, jangan-jangan entar diajarin mantra sihir, lagi, kayak di Hogwarts , hahahaha!

Temen sebangkuku namanya Fenella. Anaknya baiiiiik banget! Waktu ada kakak kelas yang marahin aku gara-gara poniku kepanjangan, Fenella berdiri dari bangkunya, terus ngebelain aku.

“Anu, aku bawa gunting.” Dia bilang begitu, terus nodongin gunting itu kakak kelas sok cantik tadi. “Kalau poninya Luna ngeganggu kakak, potong aja.”

Agak serem sih, tapi udah pasti kakak kelas sok-sokan itu gak berani. Dia langsung diem kayak patung, bahkan sampe nggak kedip natap Fenella. Gila nggak, sih.

Aku juga agak takut sih awalnya. Fenella tuh walaupun wajahnya innocent, nggak banyak omong, tapi ternyata berani juga, hahaha. Memang ya, jangan pernah nilai buku dari sampulnya.

Sebagai tanda terima kasih, waktu istirahat aku traktir dia es krim.

Fenella bilang, dia suka warna putih, jadi dia milih es krim vanila. Imut nggak, sih? Kayak anak kecil gitu, apalagi waktu aku ngelihat dia ngejilatin es krim, hahahaha!

Kuharap dengan es krim ini, kami bisa terus sahabatan.

XOXO
Luna

***

Rasa dingin menyelimuti punggungku. Debu tebal terlihat di mana-mana, bau apaknya menyeruak di hidung. Ruang musik lama ini lebih sempit dari yang pernah kuingat. Di sinilah aku, bersama dengan Elio yang meremas bahuku.

“Hentikan semua ini,” katanya. “Kau tidak harus melanjutkan balas dendam itu. Luna pasti tidak ingin kau menjadi pembunuh. Fenella yang Luna kenal bukan orang seperti ini.”

Cengkeraman Elio makin kuat sampai jari-jarinya gemetar. Wajahnya merah dan napas tidak beraturan membuat pundaknya naik turun.

“Fenella yang ada diary Luna itu orang yang baik, menyenangkan, walaupun candaannya aneh tapi dia sosok sahabat yang sempurna.” Elio menggeleng pelan. “Bukan sosok penuh dendam seperti ini.”

Aku menunduk, menyembunyikan senyum di bawah poni. “Kau salah, Elio. Aku melakukan bukan untuk Luna. Aku tidak peduli pada Luna. Aku juga tidak peduli pada balas dendam yang kau lakukan dulu.”

Elio melepaskan cengkeramannya, mengambil langkah mudur yang pelan. Satu langkah. Dua langkah.

Aku menatap matanya yang goyah. “Aku melakukan ini semua karena aku ingin.” Benar-benar, tidak ada alasan lain. “Aku membunuh Julia dan Tasya karena kukira itu akan menyenangkan.”

Lagi, langkah ketiga, keempat. Elio semakin menjauhkan dirinya, seolah melihatku sebagai ancaman berbahaya.

Aku tertawa kecil. “Kau ini ya, Elio. Sister complex-mu itu separah apa, sih? Kau terlalu sayang kepada Luna, kau tahu.”

“Kau....” Elio terbata-bata.

“Luna itu sudah mati, Elio.” Dan lagi, aku yang mendorongnya dari rooftop. “Dia bunuh diri, meninggalkanmu. Kau cuma orang yang ditinggalkan. Dibuang. Luna tidak peduli padamu.”

“Berisik. Berisikberisikberisikberisik. Kau tidak tahu apa-apa tentang Luna!” Dia mencengkeram kepalanya sendiri seolah kesakitan, rambut palsu yang dia pakai miring tertarik oleh jari. “Kau tidak tahu apa-apa, Fenella. Kau tidak tahu apa-apa.”

Elio berjalan cepat, derap kakinya menghentak ubin berdebu. Pintu yang dia buka berderit dengan keras, lalu menutup dengan suara bantingan yang membuat semua benda usang yang ada di sini terlihat bergetar. Sosok Elio menghilang dibaliknya, seolah tertelan oleh suara itu.

***

Setelah keluar dari ruang musik lama, aku memutuskan untuk pergi ke kantin.

Di balik meja persegi, Amanda melambaikan tangan padaku, senyumnya menyuruhku untuk bergabung di mejanya yang memang masih sepi. Cuma ada dia, dan satu orang lagi yang tidak pernah kusangka akan duduk di sana: Putri.

Aku menarik kursi kosong, lalu mendudukinya setelah memesan milktea. Amanda menatapku seolah mengatakan kalau dia suah dapat gosip baru.

“Ternyata benar, lho. Pahlawan yang malang itu Vero! Vero yang mau menyelamatkan Tasya.” Amanda berkata dengan penuh semangat. Putri meliriknya sendu, tidak membantah perkataannya.

“Dia sekarang ada di rumah sakit,” jelas Putri. “Masih di UGD. Terakhir kali kutemui, Vero masih belum sadar.”

Aku mengangguk-angguk. “Jadi begitu, ya.”

Ini kesempatan. Aku ingin menyelesaikan ini secepatnya. Aku tidak butuh rencana atau bahan-bahan. Membunuh Vero yang sekarang tertidur lelap seharusnya sangat gampang. Dia sudah tidak berdaya, tidak perlu melakukan tindakan yang sia-sia. Tinggal menunggu ruangan sepi, dan wuush... berakhirlah dia.

“Putri....” Amanda memanggil. “....Mungkin ini bukan waktu yang tepat, tapi... apa kau percaya dengan kutukan?”

Putri yang ditanyai mengangkat alis, respon yang sama denganku waktu itu. Bingung dengan pertanyaan aneh yang tiba-tiba keluar dari mulut Amanda.

“Kau tahu, kan?” Amanda berbisik pada Putri. “Tentang kutukan cinta segitiga itu.”

Putri mendengus, senyumnya hampir membentuk tawa kecil. “Pernah. Aku pernah dengar gosip konyol itu.” Kelopak matanya turun, begitu juga dengan volume suaranya. “Ketimbang kutukan cinta segitiga, mungkin ini lebih tepat kalau disebut kutukan Luna.”

“Luna?” Amanda tampak tidak mengerti. “Luna yang bunuh diri di SMP itu? Luna adiknya Elio?”

“Elio? Elio siapa?”

“Luna punya kakak yang namanya Elio,” jawabku, melirik putri.

“Oh, jadi namanya Elio, ya.” Putri menerawang ke atas, memutar masa lalu di dalam kepalanya. “Aku baru ingat, dulu Luna banyak bercerita tentang kakaknya yang penuh semangat layaknya matahari itu.”

“Jadi benar Luna yang itu?” Amanda memotong. “Kenapa ini jadi kutukan Luna?”

Putri menunduk, tidak mau menjawab, dan sepertinya tidak akan menjawab.

“Putri dan teman-temannya itu yang sudah membully Luna sampai bunuh diri.” Pada akhirnya, aku yang harus menjawab dengan penuh senyuman. “Benar begitu, kan, Putri? Putri si Pengkhianat.”

***

CATATAN PEMBUNUHAN (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang