4

681 114 23
                                    

Kata Mama, masa SMA itu musim semi dalam hidup. Masa yang dipenuhi bunga-bunga bermekaran. Aku tidak tahu apa maksudnya, tapi di masa itu, aku bertemu lagi dengan Amanda. Nama yang tidak asing?

Sama seperti kuncup yang telah mekar, Amanda sekarang jauh lebih cantik daripada yang kukenal waktu SD dulu. Rambutnya indah bergelombang, lipstik tipis menghiasi bibirnya yang tipis. Kacamata berbingkai tebalnya juga sudah digantikan dengan lensa kontak berwarna bening. Amanda sudah seperti bunga mawar yang mekar sempurna.

“Hei....” Amanda menyapaku. Suara tegas si Ratu jahat berganti menjadi suara gadis lembut yang feminim. “Long time no see.”

“Tiga tahun, Amanda.” Aku memeluknya. Ini hari pertama kami di SMA, dan kami sudah menemukan seseorang untuk menghabiskan waktu bersama. Awal yang tidak terlalu buruk.

“Kudengar kau dulu sekolah di SMP Melati.” Amanda melirik, menungguku untuk mengiyakan sementara kami sedang berjalan menuju kelas. “Apa benar ada murid yang... bunuh diri di sana?”

Aku mengangguk pelan. “Dia teman sekelasku.”

Amanda melirik dengan alis terangkat, seolah tidak percaya.

“Dia lompat dari rooftop,” lanjutku. “Pendarahan hebat di kepala, tulang rusuknya patah... Dia sempat dibawa ke rumah sakit, tapi meninggal dalam perjalanan. Kurasa....”

“Maaf.” Amanda menunduk. “Jangan menceritakan hal itu lagi. Kehilangan teman dengan  cara seperti itu, pasti menyedihkan untukmu, kan?”

Jujur saja, aku tidak merasakan apa-apa. Dan aku tidak keberatan sama sekali menceritakan tentang kematian Luna. Namun, ketika Amanda menatapku dengan penuh rasa peduli, aku ingin berhenti bicara. “Kau masih baik seperti dulu, ya.”

Amanda tertawa kecil, lalu menggeleng. “Aku ini si Ratu jahat yang berulang kali ingin membunuh Snow White, kau ingat itu, kan?”

Aku tertawa. Karena mengingat itu, membuatku ingin mendorongmu dari tangga satu kali lagi.

***

Seperti sudah ditakdirkan, aku dan Amanda berada di kelas yang sama. Dan coba tebak apa lagi? Mereka juga ada di sana.

Putri, Julia, Tasya, Vero. Empat orang yang paling sering mem-bully Luna juga ada di kelas ini. Aku tahu dunia ini memang sempit---dan aku hidup di kota kecil di tengah pulau yang kecil juga---tapi aku benar-benar tidak menyangka akan bertemu lagi dengan mereka semua di sini.

Reuni yang tidak kuharapkan.

Untuk orang yang arogan seperti Putri, kematian Luna bagaikan tuas yang mengubah hidupnya. Gadis dengan rambut kemerahan itu mungkin merasa bersalah. Mungkin dia merasa kalau dia yang membunuh luna secara tidak langsung. Mungkin dia merasa kalau dia sudah menjadi seorang pembunuh. Aku tidak tahu apa yang dia rasakan, tapi aku merasa kalau Putri menjadi sosok yang lebih pendiam, kepalanya yang selalu mendongak dan melirik tajam sekarang lebih sering menunduk, seolah ingin meminta maaf.

Luna pasti tertawa kalau melihat Putri yang seperti ini.

“Hei.” Aku menyapanya waktu istirahat makan siang. Putri duduk sendirian di salah satu meja kantin. “Boleh aku duduk di sini?”

Anggukannya pelan, ditambah dengan senyum yang hampir tidak terlihat.

“Kenapa kau tidak bersama mereka?” Aku menunjuk meja di tengah kantin dengan dagu, Julia, Tasya, dan Vero---teman satu geng Putri---ada di sana. Bercanda dan tertawa. “Kalian bertengkar?”

Putri menggeleng pelan sambil mengaduk malas mangkuk bakso di meja. “Aku cuma ingin sendiri saat ini.”

“Kau masih merasa bersalah dengan apa yang terjadi pada Luna?”

Putri melirik tajam, seolah yang kukatakan tadi mengusik bagian terdalam hatinya. Tapi tidak lama kemudian gadis itu menghela nafas. “Menurutmu Luna benci padaku?”

Aku tersenyum kecut. “Kau menaruh kecoa busuk di mejanya, mengencingi tasnya. Menurutmu Luna tidak benci dengan itu semua?”

Putri menunduk, memandangi bola bakso yang semakin dingin setiap menitnya.

“Ah, maaf. Seharusnya aku tidak berbicara tentang kecoa dan hal-hal menjijikan lainnya ketika kita sedang makan.”

Putri mendengus. “Tidak apa.” Lalu memasukkan bakso daging itu ke dalam mulutnya. “Kurasa kau benar. Luna mungkin membenciku.”

“Lalu... apa masalahnya?” aku menaruh sendokku ke piring. Waktu di SMP, Putri sering mem-bully murid lain. Banyak yang diam-diam membencinya, tapi hal itu seharusnya tidak jadi masalah sama sekali bagi gadis seperti Putri.

“Aku merasa bersalah,” katanya, persis seperti dugaanku. “Aku tidak seharusnya mengerjai Luna seperti itu.”

Aku memang pernah dengar kalau rasa bersalah bisa mempengaruhi pribadi seseorang, tapi aku tidak menyangka kematian Luna bisa membuat Putri menjadi seperti ini. Luna dan Putri tidak pernah memiliki hubungan yang baik. Mereka tidak pernah mengobrol selayaknya teman sekelas pada umumnya. Aku tahu Putri yang menempel kertas-kertas koran itu ke mading, lalu dia juga yang menulis “Luna adalah anak seorang pembunuh” di papan tulis kelas.

Dan sekarang Putri merasa bersalah?

Ah, manusia memang makhluk yang aneh.

***

Bicara tentang manusia aneh, siang itu aku bertemu dengan dia.

Bayangkan, di tengah koridor sekolah setelah makan siang di kantin, tanganmu di tarik oleh seseorang yang tidak kau kenal, kau tidak bisa melawan, tidak bisa berkata-kata, dan berakhir dengan mengikuti kemana pun orang aneh itu membawamu. Itu yang aku rasakan, mengikuti punggung murid laki-laki ini yang menarik tanganku ini.

Hingga langkah kami berhenti di ruang musik lama yang sepertinya sudah tidak terpakai dan hampir menjadi seperti gudang.

“Kau...!” Nafasku seperti terhenti ketika murid laki-laki di depanku ini menatap tepat di mataku. Tatapannya tajam, tapi senyum tipis di bibirnya jelas menunjukkan kebahagiaan.

“Aku sudah lama mencarimu,”  kata laki-laki aneh ini.

Memangnya dia ini siapa? Hmm, kalau dilihat-lihat, aku memang tidak pernah kenal orang ini sama sekali. Laki-laki berseragam putih abu-abu ini lebih tinggi dariku, agak kurus tapi masih tegap. Nafasnya tidak beraturan, entah karena capek atau terlalu senang. Dan aku bisa mencium aroma lavender dari tubuhnya. Orang aneh dengan parfum aneh.

Dan dia masih tetap diam dengan senyum lebarnya. Entah sudah berapa lama. Hingga akhirnya....

“Namamu... Fenella Auri, kan?”

Tunggu, dari mana dia tahu namaku?

CATATAN PEMBUNUHAN (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang