16

310 72 0
                                    

Julia dimakamkan di hari yang cerah. Langit tanpa awan dan aroma rumput yang terbawa angin mengiringi kepergiannya.

Gadis pecinta musik itu terbaring di dalam peti putih berbahan kayu mahoni. Di pintunya, Nama Julia Lucie terukir dengan huruf latin, di atas simbol G Clef yang terlihat mengkilat. Aku tidak bisa melihat wajah Julia, tapi kurasa dia tersenyum cantik di dalam sana.

“Sayang sekali, ya...,” komentar Amanda. “... Meninggal di masa remaja begini.”

Aku tidak mengerti. Mama pernah bilang, masa remaja adalah musim semi dalam kehidupan. Bukankah indah kalau bisa mati di musim yang penuh bunga seperti itu? Bisa terbaring di peti dengan tubuh yang masih muda, wajah cantik tanpa kerutan, rambut halus, dan gaun yang trendy. Bisa mati waktu masih remaja itu sebuah keberuntungan.

Kenapa semua orang menangis? Padahal, kan, kematian itu sudah sering terjadi. Ada ratusan juta manusia yang hidup, ribuan mati setiap harinya; terkena penyakit, kecelakaan, bencana alam, umur. Terbunuh. Semua orang pasti akan mati. Semua orang tahu itu. Lalu, kenapa orang-orang ini menangis melihat Julia yang dimakamkan?

Terutama Putri, Tasya, dan Vero. Air mata mereka tidak berhenti dari tadi. Ingus yang menjijikkan keluar dari hidung mereka yang memerah. Dari semua teman sekelas yang hadir di pemakaman ini, mereka yang paling memalukan.

“Eh, bukannya itu Elio?” Amanda menunjuk sosok laki-laki kurus dengan kemeja hitam dengan dagunya. “Iya, itu Elio, kan?”

Amanda mempercepat langkahnya ketika dia yakin sosok itu benar-benar Elio. Aku mengikutinya dari belakang, kesusahan berjalan di antara kumpulan manusia dengan pakaian serba hitam ini.

Itu benar-benar Elio. Dia berdiri di samping pohon kamboja, seolah sedang menyembunyikan diri. Terakhir kali aku bertemu dengannya, dia marah karena aku meracuni Julia. Aneh, padahal rencana balas dendamnya lancar. Dia bilang dia cuma ingin balas dendam, tidak ingin membunuh. Benar-benar membingungkan.

 “Elio.” Amanda yang pertama kali menyapa. “Kenapa ada di sini? Kau kenal Julia?”

Seperti orang yang habis melamun, Elio menoleh pelan, sorot matanya seperti orang linglung ketika menatap Amanda. Namun, mendadak tajam ketika dia menyadari keberadaanku.

Apa dia masih marah?

Tidak. Mungkin bukan marah. Lebih seperti kecewa, atau takut, atau tidak percaya. Ekspresi yang seolah mengatakan, “Kau sudah membunuh Julia, kau masih berani datang ke pemakamannya?”

Membayangkan Elio berkata seperti itu membuatku geli sampai ingin tertawa. “Hei, hei, kau juga ikut berperan dalam rencana itu, kau tahu. Ini kan rencana balas dendammu, aku cuma membantu.” Aku ingin bilang seperti itu kalau saja tidak ada Amanda di sini.

Dan lagi, sebenarnya aku ingin membicarakan rencana selanjutnya. Setelah potongan kue dengan sudut paling kecil habis, target selanjutnya adalah Tasya. Gadis bermulut kasar yang sering menuduhku itu bagaikan kue bagian tengah yang penuh dengan krim. Krim penuh emosi yang meledak-ledak. Aku menantikannya.

Sebelum itu, kurasa aku harus bicara dengan Elio. Aku ingin dia mendengar rencanaku, melihat bagaimana eskpresinya. Ini bukan rencana yang ribet seperti sebelumnya, tapi kurasa ini akan lebih meriah. Akan ada banyak kembang api, dan aku sudah menyiapkan banyak tepung dan gula.

Ini benar-benar akan menjadi balas dendam yang manis.

***

Sayangnya, Elio tidak ada di perpustakaan ketika aku ingin bicara berdua dengannya.

Aku sudah mencari ke kelasnya, tapi teman-temannya bilang, Elio tidak masuk sekolah. “Anak itu memang sering bolos,” kata seorang murid berkacamata yang kelihatan seperti ketua kelas. Nada suaranya menyindir, sepertinya dia tidak tahu kalau umur Elio tinggal beberapa tahun lagi. Tidak, mungkin Elio memang merahasiakan penyakitnya itu dari semua orang.

CATATAN PEMBUNUHAN (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang