» 4 • Hard to Say Good Bye

184 30 6
                                    

Raul menutup pintu kamarnya setelah mengantar sohib-sohibnya pulang hingga gerbang. Rumahnya kembali seperti sedia kala setelah kepergian mereka; sepi, hening, dan suram. Ayahnya belum pulang dari kantor. Raul hanya bersama Wenda di rumah. Entahlah di mana wanita itu berada sekarang. Rumah barunya ini terlalu luas dan Raul tidak mau repot-repot untuk sekedar mencari keberadaan Wenda.

Baru saja Raul hendak berbaring, matanya menangkap objek berupa tumpukan kertas yang tergeletak di meja belajarnya. Niat Raul untuk beristirahat pun ia urungkan. Cowok itu mendekati meja belajarnya dan mengambil tumpukan kertas tersebut dalam diam.

Pemenang Beasiswa Fully Funded Cambridge University
Diberikan kepada:
Raul Purpale Prasetya dari SMA 127

Raul menelan salivanya perlahan. Matanya menatap sendu pada tumpukan kertas tersebut. Itu adalah sertifikat beasiswa yang berhasil ia menangkan. Kertas-kertas lainnya berupa kelengkapan yang harus Raul urus jika ingin menerima beasiswa itu. Ada selebaran tentang Universitas Cambridge, pengurusan paspor dan visa, asuransi kesehatan, pilihan tempat tinggal, akomodasi, dan sebagainya. Jika semua itu diurus tepat waktu, berdasarkan jadwal, Raul akan berangkat tepat setelah perayaan hari raya Idul Fitri.

Tapi apakah itu mungkin?

Raul terduduk di lantai dan bersandar pada pinggiran kasurnya. Kakinya tertekuk dan kedua tangannya bertengger di atas lututnya. Ekspresi Raul tidak dapat ditebak. Percampuran antara sedih, bingung, dan frustrasi.

Raul sudah berjuang tiga tahun untuk memenangkan sebuah beasiswa. Ia bahkan rela mencuri start dari sebelum masuk SMA untuk mulai mencari tahu mengenai beasiswa-beasiswa ke Inggris. Inggris adalah kota impiannya sejak kecil. Raul sangat berambisi untuk dapat menempuh pendidikan di sana. Pada awalnya ia sempat putus asa karena beasiswa kebanyakan diberikan kepada sarjana yang ingin melanjutkan studi S2. Jarang sekali ada beasiswa untuk S1. Hingga akhirnya ia menemukan ini.

Syaratnya cukup mudah. WNI, sertifikat TOEFL/IELTS dengan minimal skor yang telah ditentukan, surat rekomendasi dari sekolah, dan piagam kejuaraan bila memiliki. Raul langsung lolos di tahap persyaratan. Raul memang sering mengikuti tes TOEFL/IELTS secara berkala untuk memperbarui masa aktif sertifikatnya sehingga bisa langsung digunakan bila sewaktu-waktu diperlukan dan juga untuk terus mengasah skill berbahasa Inggris-nya. Surat rekomendasi sekolah? SMA 127 tempat Raul bersekolah dulu dengan senang hati memberikan surat rekomendasi mereka untuk siswa penyumbang piala terbanyak seperti Raul. Dan untuk piagam kejuaraan, tidak perlu ditanya lagi. Raul bahkan bisa membuka pameran piagam penghargaan satu dinding penuh.

Tahap selanjutnya adalah menulis esai. Raul menghabiskan lebih kurang sebulan untuk menyelesaikan esainya. Hasilnya pun memuaskan. Esai milik Raul menjadi esai terbaik dari sekian banyak pendaftar beasiswa yang ada.

Di langkah terakhir ada wawancara. Raul sepertinya memang terlahir untuk hal-hal seperti ini. Raul lancar jaya selama sesi wawancaranya berlangsung. Bahkan yang mewawancarainya sukses dibuat kagum berkali-kali mendengar jawaban cerdas dan lugas yang keluar dari mulut cowok itu.

Hingga akhirnya, di tahap final, nama Raul muncul sebagai peserta dengan skor tertinggi. Hasil tersebut membuatnya otomatis menjadi pemenang dari beasiswa tersebut. Raul ingat betul betapa bahagianya dirinya di hari itu. Andai waktu dapat diputar kembali, Raul ingin sekali terbang ke masa-masa itu.

Sekarang Raul dihadapkan pada pilihan yang sulit. Di satu sisi ia begitu mendamba kesempatan emas ini. Ia percaya pada kalimat bahwa kesempatan tidak datang dua kali. Tapi di sisi lain, Raul memikirkan ayahnya. Raul belum begitu percaya pada Wenda yang kini menyandang status sebagai ibu tirinya. Jika dilihat sekilas, Wenda memang orang yang baik, tidak pernah macam-macam. Pernah sesekali Raul memperhatikan wanita itu tanpa sengaja. Wenda adalah orang yang cekatan dalam mengurus pekerjaan rumah. Wenda juga dapat berperan sebagai istri yang baik untuk ayahnya. Entah sudah ada cinta yang tumbuh di antara mereka atau belum, tapi yang pasti, baik ayahnya atau pun Wenda, keduanya saling menghormati satu sama lain.

Termasuk tadi saat keempat sahabatnya main ke rumah. Wenda menjadi tuan rumah yang baik dengan mengajak mereka mengobrol santai dan menyiapkan berbagai macam makanan dan minuman untuk camilan. Dari sana Raul jadi mengetahui satu hal. Wenda ternyata sangat pandai dalam memasak. Tadi begitu mengetahui kalau para sahabatnya berkunjung ke rumah, Wenda dengan segera menghidangkan berbagai macam makanan lezat dan camilan yang menggugah selera. Belum lagi minuman-minuman segarnya. Raul kira Wenda memesan lewat delivery order, tapi begitu ia pergi ke dapur dan melihat sendiri bagaimana Wenda membuat itu semua dengan kedua tangannya, jujur saja, Raul kagum. Raul sama sekali tak mengira Wenda akan seniat itu untuk menjamu Juna, Hilmi, Javier, dan Ayu──empat anak ABG yang baru saja dinyatakan lulus sekolah menengah atas.

"Sumpah, Ul! Gue boleh sering-sering ke rumah lo nggak? Makanan buatannya Tante Wenda enak-enak banget anjir!" Demikian komentar Hilmi saat pertama kali mencicipi makanan buatan Wenda.

"Seriusan ini makanan buatan sendiri? Rasanya selevel sama resto bintang lima woi!" Ayu juga ikut memberi komentar.

Sementara Juna dan Javier tidak banyak berkomentar. Kata mereka makanan buatan Wenda enak sekali. Entah karena mereka sedang kelaparan atau memang betulan menyukainya, mereka makan dengan sangat lahap tadi.

Hening menyelimuti kamar Raul. Hanya terdengar suara detak jarum jam yang terpasang di dinding. Raul masih menatap tumpukan kertas itu dalam diam. Logika dan hatinya sedang berperang. Entah siapa yang akan menang nantinya.

Tok Tok Tok

Lamunan Raul buyar begitu mendengar pintu kamarnya diketuk dari luar. Kepalanya tertoleh. Dalam hati ia bertanya-tanya siapa orang yang ada di balik pintu tersebut.

"Raul, ini Bun──maaf, Tante Wenda maksudnya. Ayah kamu udah pulang. Ayo kita makan malam. Tante Wenda udah masakin buat kalian."

Raul berdeham sebentar. "Hm, nanti Raul turun."

"Tante Wenda tunggu di bawah, ya? Jangan lama-lama! Nanti makanannya keburu dingin jadi nggak enak."

Raul bisa mendengar suara langkah kaki yang menjauh. Wenda sepertinya sudah pergi dari depan kamarnya. Kepala Raul lalu tertoleh kembali ke arah tumpukan kertas yang kini masih ada dalam genggamannya. Ditatapnya kertas-kertas itu dengan lekat.

Raul akhirnya berdiri. Cowok itu menarik napas dalam-dalam dan mengembuskannya secara perlahan. Ia lantas melirik ke sudut ruangan, tempat di mana sebuah tong sampah kecil berbentuk silinder berada. Raul lalu menatap kertas-kertasnya kembali.

Raul tersenyum tipis, tipis sekali. "Gue harap keputusan ini jadi yang terbaik buat gue."

Dan setelah itu, dalam sekali gerakan, Raul menyobek semua kertasnya hingga terbelah jadi dua. Raul menyobeknya lagi. Gerakan itu terus ia lakukan sampai kertas-kertas tadi berubah wujud menjadi potongan-potongan tak berguna. Kakinya melangkah pasti menuju tong sampah. Ditatapnya sekali lagi potongan-potongan kertas tersebut untuk terakhir kalinya.

"Good bye," gumam Raul pelan seraya membuang potongan-potongan kertasnya ke tong sampah.

Raul tahu ini tidak mudah untuknya. Keputusannya ini membuat usaha-usaha kerasnya di masa lalu seakan berakhir sia-sia. Tetapi Raul tidak mau berpikir demikian. Raul percaya selalu ada hikmah di balik suatu kejadian. Bahkan hal sekecil daun yang gugur dari dahannya saja dapat memberikan pengajaran pada hidup manusia.

Hidup akan terus berjalan, bukan?

BUKTI COWOK DINGIN PUNYA HATI

Makasih banyak ya udah luangin waktunya buat mampir. Apapun yang kalian tinggalkan di sini, itu semua berarti banget buat aku :D Kecuali kalo yang kalian tinggalkan itu mengandung konotasi buruk.

TBC

ABBLS | #2 BUKTI COWOK DINGIN PUNYA HATI ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang