Hari demi hari berlalu. Tak terasa serangkaian kegiatan ospek telah terlewati. Sekarang hari Jumat. Para mahasiswa baru sedang berkumpul di lapangan. Mereka sedang melakukan gladi bersih untuk upacara penutupan ospek tahun ini. Upacara tersebut nantinya akan diselenggarakan pada hari Senin.
Para mahasiswa baru diberikan waktu lima belas menit untuk beristirahat. Raul dan Hilmi memutuskan bergabung dengan teman-teman mereka di barisan Departemen Tari. Anak-anak kelas I-D4 sangat ramah kepada Raul dan Hilmi. Itulah yang membuat Hilmi sering kali memaksa Raul untuk bergabung dengan mereka saja daripada bergabung dengan anak kelas sendiri yang ambis-ambis semua.
"Itu bapak-ibu yang jejer-jejer berlima di depan siapa, sih? Gue sering liat tapi nggak tau namanya," celetuk Hanafi sambil menunjuk ke arah mimbar kehormatan, tempat para petinggi akademi, dosen, dan staf berada selama upacara berlangsung.
"Mereka pimpinan jurusan. Kepala dari masing-masing departemen."
Semuanya menoleh ke Juna.
"Yang paling pinggir, yang perempuan masih muda, namanya Bu Diandra. Dia kepala Departemen Musik. Pimpinannya Raul sama Hilmi. Kata orang, sih, dia enakan orangnya."
"Terus pimpinan kita yang mana, Jun?" tanya Ayu penasaran.
"Tuh, yang sebelahnya Bu Diandra persis. Pak Rafi namanya. Dia orangnya friendly banget. Gue yakin lo semua bakal betah punya pimpinan kayak Pak Rafi," Juna lalu menunjuk pada seseorang yang berdiri di samping Pak Rafi. "Itu, ibu-ibu yang pake kebaya, namanya Bu Aisyah. Dia kepala Departemen Seni Rupa. Gue saranin jangan pernah cari gara-gara sama dia. Orangnya galak."
"Busett. Dosanya Hilmi aja kalah tebel sama gincunya Bu Aisyah," sahut Asta.
"Gue dari tadi diem kenapa dibawa-bawa anjrit?!" sewot Hilmi.
"Anjrit muka lo, tuh, anjrit!" balas Asta.
"Terus sisanya siapa, Jun?" Kini Prima yang bertanya.
"Yang bapak-bapak rambutnya klimis namanya Pak Galuh. Dia kepala Departemen Teater. Kalo yang ibu-ibu pake syal namanya Bu Jingga, kepala Departemen Perfilman. Kata-katanya, sih, Bu Jingga itu orangnya judes."
"Kok, lo bisa tau, Jun?" tanya Felix.
"Keluarganya Juna ini yang punya ABB, Lix. Jelas lah dia tau."
Semuanya kini menoleh ke arah Fathan.
"Seriusan lo, Than?" tanya Hanafi tidak percaya.
"Lo beneran yang punya ABB, Jun?" sahut Prima.
"Berarti kita temenan sama orang penting, dong?" timpal Aruni.
"Lo tau dari mana?" tanya Juna pada Fathan dengan ekspresi terkejut. Pasalnya ia belum pernah sekali pun bercerita tentang latar belakangnya pada teman-temannya.
Fathan terkekeh. "Sebenernya gue cuma asal nebak aja, tapi ngeliat reaksi lo barusan, gue jadi yakin kalo tebakan gue emang bener."
Raul menyimak percakapan teman-temannya dalam diam.
"Beberapa hari yang lalu gue baru inget kalo yang punya ABB itu The Dewantaras, salah satu keluarga pebisnis yang paling kaya di Indo, dan gue juga baru inget kalo nama belakang lo itu Dewantara. Lo juga banyak dikenal sama dosen dan kakak tingkat. Bahkan staf-staf ABB juga kenal sama lo. Dari sana gue nyimpulin kalo lo pasti anak dari salah satu petinggi di akademi ini," kata Fathan menjelaskan.
KAMU SEDANG MEMBACA
ABBLS | #2 BUKTI COWOK DINGIN PUNYA HATI ✔
Fanfic⚠ SERIOUS WARNING : KEPADA PARA PLAGIATHOR, PENGANUT BIM, ORANG KUKER YANG BISANYA NGEJULID DOANG, DAN OKNUM 'BOCIL' YANG NGGAK BISA BEDAIN MANA FIKSI MANA REALITA, DILARANG KERAS UNTUK MENDEKAT! • Raul Purpale Prasetya tidak pernah suka dengan car...