Setelah berminggu-minggu waktu terus berjalan, meninggalkan setiap memori kenangan yang telah mereka jalani. Menghapus perlahan serpihan kisah yang sempat terjalin. Membawa tulisan-tulisan yang baru didalam lembaran halaman yang kosong. Hari demi hari terus berlalu, membuat lembaran baru dari pagi ke pagi.
Ada yang mengatakan bahwa seorang dokter juga bisa sakit?
Tentu saja bisa. Dokter juga seorang manusia, bukan berarti dia seorang dokter dan menutup kemungkinan tidak akan pernah sakit. Dokter terkadang juga tidak bisa menyembuhkan dirinya sendiri, perlu dokter lain untuk menyembuhkan seorang dokter yang sakit. Benar begitu bukan?
Sama halnya dengan sekarang ini, Fatimah berada didalam sebuah lift apartemen, ia menuju lantai tujuh. Ada yang bisa menebak tujuan Fatimah kemana? Yups. Apartemen Hamzah dan Aisha. Umi menyuruh Fatimah untuk mengantarkan dahulu kue dan bubur buatannya, sebelum dirinya berangkat ke kampus nanti siang.
Langkah kaki Fatimah mengantarkan dirinya didepan pintu apartemen yang bercat coklat tua. Terdapat sebuah tombol putih disisi pintu itu, hingga membuat jemari Fatimah menekannya hingga membuat suara bell terdengar.
Butuh beberapa saat untuk seseorang didalamnya membukakan pintu itu, dan membuat Fatimah harus menunggu dengan sabar, sampai akhirnya pintu yang berada dihadapan Fatimah terbuka dan menampakan seorang lelaki jangkung dengan kaos putih lengan pendek, plus rambut yang tak tertata rapi, tidak seperti biasanya.
Dapat disimpulkan bahwa laki-laki yang kini berdiri dihadapannya, baru saja bangun dari tidurnya, atau terbangun karena suara bell yang ia tekan.
"Fatimah?"
Suara serak dan begitu berat terdengar memanggil namanya.
"Ada perlu apa ... Kau datang?"
Seperkian detik Fatimah terdiam dengan kepala yang sedikit menunduk menatap kotak makan berisi bubur dan satu kotak lainnya berisi kue buatan Umi.
"Tidak ada ... " Ucap Fatimah dan mendongak menatap lawan bicaranya, "hanya ingin mengantarkan titipan Umi, mbak Aisha nya ada?" Tanyanya.
"Aisha tidak ada, dia sudah berangkat ke rumah sakit beberapa jam yang lalu." Jawab Hamzah masih dengan sedikit suara seraknya.
Fatimah sedikit tertegun ditempat. Bagaimana bisa Mbak Aisha meninggalkan suaminya yang sedang sakit, dan memilih berangkat untuk kerja?
"Sebenarnya Aisha juga hendak mengambil cuti agar tidak masuk. Tapi aku yang menyuruhnya, ... Aisha benar seorang wanita yang baik kan?"
Ntah itu semacam sindiran halus atau memang kenyataannya. Tapi Fatimah merasa sedikit tersinggung dengan kalimat itu.
"Jika begitu ... Ini, Umi membuat bubur dan kue untuk mas Hamzah yang katanya ... Sakit?" Ucap Fatimah dengan mengulurkan kotak makan bawaannya,
"Oh ... Iya, terimakasih,"
Laki-laki berkaos putih dengan celana jeans hitam selutut itu menerimanya, namun seperkian detik laki-laki itu membungkuk terbatuk-batuk membuat Fatimah refleks memegangi kedua bahu kokohnya.
"Hmm, Mas Hamzah tidak apa-apa?" Tanya Fatimah cukup khawatir, "ayo masuk," Fatimah menuntun Hamzah agar kembali duduk di sofa ruang tengah, dengan segera Fatimah bergegas mengambil air hangat di dispenser terdekat, dan memberikan segelas air hangat pada Hamzah. "Diminum dulu," ucapnya.
Fatimah dapat merasakan suhu badan Hamzah yang begitu panas, sepertinya terkena demam tinggi.
Tangan Fatimah dengan sigap langsung menerima gelasnya dan menyimpan diatas meja ketika Hamzah sudah meminumnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jodoh Pilihan Abi°END°
Poetry"Cinta itu belajar untuk menerima, apa yang sudah diberikan pada kita, terima saja. Mungkin itu yang terbaik dari yang terbaik, setidaknya kita sudah menerima" Aisha Alfiah. **** "Cinta tak perlu batasan, tapi cinta memerlukan waktu, juga proses yan...