-21-

994 98 14
                                    

Bright dan Win kini semakin akrab. Hubungan mereka kini kian mengerat. Mereka saling menjaga.

Bahkan, sekarang mereka tak segan-segan menunjukkan rasa sayang mereka di depan banyak orang.

Tak ada yang  macam-macam. Karena bagi mereka, kedekatan antara Bright dan Win masih terlihat sangat wajar. Sama seperti kedekatan adik dan kakak.

Perhatian-perhatian kecil yang Bright berikan untuk Win, ataupun sebaliknya, masih tergolong wajar.

Di kelas, Win sedang sibuk menyalin PR Matematika milik Adam. Sudah biasa baginya untuk menyalin PR milik sahabatnya itu.

Di antara mereka bertiga, Win lah yang paling lemah dalam mata pelajaran itu.

karena saat ini jam istirahat, suasana kelas pun cukup sunyi, hanya ada beberapa orang yang sedang mengobrol sembari menyantap bekal dari rumah atau jajanan dari kantin yang sengaja mereka bawa ke kelas.

Sedangkan Adam sudah diseret ke kantin oleh Rian. Meski awalnya Adam menolak kerena ingin menemani Win mengerjakan pekerjaan rumahnya. Namun, siapa sangka sedikit gertakan atau bisa dikatakan ancaman dari Rian mampu membuat lelaki itu tak berkutik dan menurut ketika diseret ke kantin.

Win saat itu tidak begitu memperhatikan perdebatan keduanya. Fokusnya hanya pada tugas di hadapannya. Karena bagaimanapun Win tidak ingin dirujak oleh guru Matematika.

Ketika sedang fokus menyalin tugas, netranya tiba-tiba dikejutkan dengan kedatangan sebuah kantong kresek hitam di hadapannya.

Pergerakan tangan Win terhenti, ia mendongak dan mendapati Bright di hadapannya. Lelaki itu duduk tepat di bangku depan tempat Win duduk. Ekspresinya acuh tak acuh, tetapi netranya penuh kelembutan.

"Makan."

"Iya, tapi nanti setelah gue selesai."

"Sekarang."

"Kak Bri, gue harus nyelesain PR Matematika gue dulu. Kalau enggak, gue bisa dirujak sama Pak Teguh. Gila serem banget kalau tuh guru udah melotot," ucap Win yang kini mulai kembali melanjutkan kegiatan menyalinnya. ia bahkan tak menatap Bright ketika berbicara, juga tak menyadari perubahan atmosfer kelas yang dari awal sudah sunyi jadi lebih senyap begitu Bright datang.

Sayup-sayup suara orang yang semula tengah mengobrol menadadak menjadi senyap. Mereka mendadak diam ketika melihat kedatangan Bright. Lelaki yang terkenal tak acuh, dingin, dan tak tersentuh. Lelaki yang juga notabenenya kakak kelas mereka.

Kini, orang itu datang ke kelas mereka. Siapa yang tidak terkejut?

Bahkan, siswi yang duduk di bangku paling depan nyaris tersedak kuah bakso.

Mereka tahu kalau akhir-akhir ini hubungan pertemanan keduanya bertambah dekat dan semakin erat. Namun, mereka juga tidak menyangka bahwa pertemanan mereka sedekat itu. Terlebih sekarang, bola mata mereka hampir copot ketika melihat apa yang Bright lakukan.

Bright mengeluarkan sebungkus roti dari kantong kresek hitam itu, dan membuka bungkusannya. Kemudian menyodorkan roti itu tepat di depan mulut Win.

Lagi-lagi pergerakan tangan Win terhenti. Ia mendongak untuk menatap Bright.

Bright mengangguk kecil. "Makan."

Win menggigit potongan roti yang disodorkan oleh Bright dengan gigitan besar, hingga pipinya menggembung.

"Pelan-pelan, nanti tersedak," titah Bright lembut.

Win mengeluarkan cengiran lebarnya, hingga matanya melengkung membentuk bulan sabit. "Laper."

Bright menggeleng kecil, lalu tangannya yang bebas mengusap puncak kepala Win dengan lembut. "Ya udah habisin rotinya. Kalau kurang bilang aja." Kali ini Bright memotong roti itu terlebih dahulu sebelum disuapkan ke mulut Win.

Win mengangguk lucu.

Sementara itu di luar, seseorang menghentikan langkahnya. Pandangannya tertuju pada Bright dan Win. Di tangannya tergantung kantong kresek hitam berisi makanan dan minum.

Orang itu berbalik, dan berniat untuk pergi.

Di belakangnya Rian menatap Adam dengan bingung. "Dam, ada apa? Bukannya masuk, kok lo malah berhenti? Terus sekarang lo mau ke mana?"

Adam kembali menghentikan langkahnya. Namun, lelaki itu hanya diam, tak mengucapkan satu patah kata pun. Ia bahkan tak berbalik.

Rian yang penasaran pun akhirnya bergerak untuk mengetahui apa yang Adam lihat. Sampai-sampai sahabatnya menjadi seperti itu.

Dan ketika netra Rian memandang ke arah di mana Adam sempat terpaku, Rian akhirnya mengerti. Ia tahu kenapa Adam terlihat murung.

Rian menghampiri Adam dan berdiri di hadapan lelaki itu. Ia menepuk pelan pundak Adam.

Rian menarik tangan Adam menuju taman sekolah yang lebih sunyi daripada koridor kelas.

"Maaf, seharusnya gue enggak maksa lo buat ikut gue ke kantin. Seharusnya gue biarin aja lo bareng Arsya di kelas," ucap Rian setelah tiba di taman sekolah.

Adam tersenyum tipis. "Lo enggak salah. Jadi, lo enggak harus meminta maaf. Ada atau enggaknya gue di samping Arsya bukan jaminan kalau hal ini enggak akan terjadi. Gue bahagia lihat dia bahagia."

"Meski alasan dia bahagia itu orang lain dan bukan lo?"

"Hm, enggak apa-apa. Meski bukan karena gue dan bukan bersama gue. Selagi dia bisa bahagia dan orang itu bisa membahagiakannya, gue enggak keberatan."

"Bahkan jika ternyata orang itu adalah orang yang Arsya cari, apa lo bener-bener enggak keberatan?"

"Enggak, gue sama sekali enggak keberatan. Gue malah bahagia kalau akhirnya Arsya menemukan cinta yang ia cari, gue bahagia karena akhirnya dia bisa melupakan masa lalu kelamnya, dan gue bahagia akhirnya dia bisa menerima orang baru di hatinya."

"Lo bener cinta sama Arsya?"

Adam tersenyum, jenis senyum tulus yang begitu murni. "I love him, I really do."

"Terus kenapa lo enggak berjuang? Kenapa lo lebih memilih untuk menjadi seorang pengecut? Kenapa lo memilih untuk menyerah?"

Adam memandang awan putih yang bergerak searah dengan tiupan angin. "Gue bukannya nyerah. Tapi gue enggak mau egois. Gue bisa aja perjuangin cinta gue, tapi gue terlalu takut sama risikonya. Bagi gue, lebih baik dicap sebagai pengecut daripada gue harus kehilangan sahabat sekaligus orang yang gue cinta."

"Terus bagaimana dengan hati dan perasaan lo?"

"Soal hati dan perasaan gue. Itu biarlah menjadi urusan gue."

"Jadi, lo akan terus pendam rasa itu."

Adam tertawa kecil. "Emang gue punya pilihan lain? Untuk saat ini, yang cuma bisa gue lakuin ya memendam perasaan ini, lalu perlahan sedikit demi sedikit gue akan mengurangi perasaan yang gue punya. Gue tahu ini enggak akan semudah itu, dan perlu waktu yang lama. Tapi gue yakin gue bisa melakukannya."

Rian menepuk pundak Adam, memberi lelaki itu semangat. "Good luck, then."

"Siap."

"Sini peluk." Rian merentangkan tangannya, bersiap untuk memeluk Adam.

Adam menahan kepala Rian agar tidak mendekat. "Peluk tiang bendera aja sana."

Rian merengut.

"Enggak usah pasang muka begitu, geli gue lihatnya."

"Lah, sok-sokan geli. Bilang aja lo tergoda, kan? Lo gemes sama gue, kan?"

"Najis."

Lalu keduanya tertawa.

Bel masuk berdentang, dan mereka bergegas pergi menuju kelas.

TBC...

Happy 1,5k🎉 makasih udah setia membaca dari awal dan mau bertahan.. padahal jadwal update authornya sering ngaret dan enggak menentu😁 intinya makasih banyak, enggak nyangka cerita gue dapet 1,5k dalam kurun waktu kurang dari dua bulan. Vote kalian sangat berarti buat gue. Jadi jangan bosen² buat vote ya.

See u di chapter selanjutnya 💚💚

13 November 2021.

[Our]Love✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang