-38-

655 62 14
                                    

Bel berdentang, tanda istirahat telah tiba. Sebagian besar siswa berbondong-bondong pergi ke kantin.

"Sya muka lo pucat banget, gue anter ke UKS ya?" kata Rian seraya menatap Win khawatir. Tangannya ia taruh ke kening Win, mengecek suhu tubuh pemuda itu.

Win tersenyum tipis. "Gue baik-baik aja kok, lo enggak perlu khawatir."

"Tap–"

"Udah, gue mau ke toilet dulu. kalian duluan aja, nanti gue nyusul," ucap Win pada Adam dan Rian sebelum akhirnya melangkah menuju toilet.

"Biar gue anter."

Langkah Win terhenti, ia berbalik dan melihat Adam berjalan ke arahnya, membuat pemuda itu tertawa pelan.

"Gue bukan anak kecil, Dam. Gue bisa ke toilet sendiri."

"Milih gue anter ke tolet atau kita ke UKS sekarang?"

Win menghela napas seraya tersenyum lemah, seakan ia tidak memiliki pilihan lain.

"Biar Win sama gue." Tiba-tiba sebuah suara menginterupsi perdebatan Antara Adam dan Win.

Senyum di wajah Win perlahan luntur. Tanpa menoleh pun ia sudah tahu siapa pemilik suara itu.

Belum sempat bereaksi, Adam sudah diseret paksa oleh Mike, Aron, dan Rian.

Adam ingin berontak, namun lelaki itu kalah telak.

"Dam dengerin gue, mereka butuh waktu buat berdua, lo enggak mau kan lihat Arsya terus-terusan kayak gitu? Enggak kan, Dam?" ucap Rian mencoba memberi Adam pengertian.

"Ya, gue juga enggak mau lihat Dewa seperti orang yang enggak punya semangat hidup," lanjut Mike.

"Mereka butuh waktu berdua untuk menyelesaikan masalah mereka," imbuh Aron.

Adam yang semula berontak kini mulai tenang, lelaki itu hanya bisa melihat kepergian Bright dan Win.

Tidak ada yang tahu bagaimana perasaan Adam, dan lelaki itu juga tidak meminta untuk dimengerti.

Karena ia sadar, sekeras apa pun ia mencoba, ia tidak akan pernah Menang melawan pemeran utama.

Ia hanya pemeran figuran, dan seharusnya ia sadar akan hal itu.

Adam menunduk setelah bayangan keduanya menghilang ditelan jarak.

Lagi-lagi ia harus disadarkan oleh kenyataan, bahwa bersamanya bukan sesuatu yang diinginkan.

Sekali lagi ia mengakui ketidakmampuannya dalam membuat Win bahagia. Bukannya ia tidak bisa, tetapi bukan dirinya yang pemuda itu mau.

Melainkan orang lain.

***

"Lepas, Kak!" sentak Win seraya melepas  cekalan Bright.

Bukannya melepaskan genggaman tangannya, Bright justru menarik Win ke dalam pelukannya.

"Sebentar aja, Win. please biarkan seperti ini," bisik Bright lirih di telinga pemuda itu.

Bright semakin mengeratkan rengkuhannya, meluapkan seluruh perasaan rindu yang ia punya.

"Win, gue hampir gila. Gue kangen banget sama lo," adu Bright pada Win seperti seorang anak kecil.

Win hanya diam mematung, tidak balas memeluk ataupun berontak.

"Gue mohon jangan pergi dari hidup gue, Win. Atau gue akan gila beneran."

Sakit rasanya ketika mendengar orang yang kita cinta sampai memohon untuk tidak ditinggalkan, padahal saat itu kita juga tahu bahwa kita pun sama takutnya untuk kehilangan.

[Our]Love✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang