Tujuh belas

975 109 6
                                    

Setelah masalah selesai, hubungan Bright dan Win juga membaik.

Saat ini mereka berdua tengah berada di balkon kamar Bright. Win bilang dia merindukan tempat itu. Dia rindu berbincang dengan Bright di bawah sinar rembulan dan langit malam yang indah.

Bright yang mendengar itu tidak mampu menolak, dia menuruti apa yang Win inginkan.

"Since when?" tanya Win tanpa mengalihkan pandangannya dari bintang yang berpijar.

"For quite a while, when I was seven years old."

Manik mata Win melebar ketika mendengar jawaban dari Bright, ia menoleh untuk menatap Bright. "Are you serious?"

Bright tersenyum tipis. "Lo masih inget sama bocah laki-laki kelaparan di taman yang lo kasih roti waktu sore hari? Ya, it was me. I've been loving you ever since i saw you for the first time."

"Jadi, orang itu Kak Dewa?"

"Ya, itu gue."

"Itu udah lama banget, Kak. Gue bahkan udah lupa."

Bright hanya tersenyum tanpa membalas ucapan Win.

"Waktu itu Kak Dewa masih seorang anak laki-laki yang berusia tujuh tahun, terus bagaimana Kak Dewa bisa tahu kalau itu perasaan cinta?"

"Karena gue punya hati, dan hati gue yang merasakan itu."

"Tapi bukannya waktu itu kakak terlalu muda?"

Bright menoleh untuk menatap Win lekat-lekat. Kemudian berkata dengan lembut, "Win, bagi gue syarat untuk jatuh cinta adalah memiliki hati. Bukan usia ataupun gender."

Win diam dan meresapi setiap kata yang Bright ucapkan.

Setiap orang berhak jatuh cinta, kapan pun dan pada siapa pun. Karena syarat jatuh cinta adalah memiliki hati. Namun, hal ini juga tak bisa ditelan mentah-mentah. Seseorang juga harus bisa mengontrol diri.

Win menguap, ia menyandarkan punggungnya di sandaran kursi.

"Balik ke kamar lo sana, udara di sini dingin. Lo butuh istirahat."

"Enggak ah, gue masih mau di sini."

"Lo udah ngantuk. Sebaiknya lo istirahat di kamar lo."

"Gue mau tidur di kamar lo aja deh."

Manik mata Bright melebar karena terkejut. "Enggak usah becanda, Win."

"Gue serius."

"Tap—"

"Enggak boleh ya?" ujar Win cemberut.

Bright menghela napas. "Ya udah Iya boleh."

Seketika raut Win berbinar, ia melangkahkan kakinya masuk ke dalam kamar Bright. "Makasih kak," ujar Win setengah berteriak.

Bright yang masih berada di luar menggeleng kecil, seulas senyum tipis tercipta saat ia berbalik dan menyusul Win.

***

"Ada yang udah baikan nih," goda Aron pada Bright dan Win.

"Emang siapa yang musuhan?" tanya Win seolah tak tahu apa-apa.

Aron berdecih. "Anak TK juga tahu kalau kalian lagi marahan."

Win terkekeh kecil dan merangkul bahu Bright yang berada di sampingnya. "Namanya juga persahabatan, pasti ada cek-coknya, ada masalahnya, enggak mungkin semulus kulit gue. Ya enggak, Kak?"

"Hm," jawab Bright sambil mengangguk dengan ekspresi datar.

"Nah Kak Dewa aja setuju sama omongan gue."

[Our]Love✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang