-22-

908 93 15
                                    

"Lama banget lo berdua," ujar Win ketika Adam dan Rian datang.

Rian duduk di samping Win, sedangkan Adam di depan mereka.

"Biasalah, eh—lo udah makan belum, Sya?" tanya Rian.

"Udah, tadi Kak Bri dateng. Dia bawain gue roti sama air mineral."

"Kak Bri?" ulang Rian dengan wajah penuh tanya.

Win tertawa kecil. "Maksud gue Kak Dewa. Sekarang gue panggil dia Kak Bri."

Rian manggut-manggut. "Kalian kayaknya tambah dekat ya? atau jangan-jangan ...." Rian tersenyum penuh arti dan berujar dengan nada menggoda.

"Apaan? Jangan mikir aneh-aneh. Gue emang deket sama dia karena dia enggak seburuk yang gue kira, bahkan dia sangat baik. Terlebih kita hampir dua bulan ini tinggal serumah. Jadi, wajarlah kalau gue akrab sama dia."

Adam yang berada di hadapan mereka hanya diam dan menyimak.

"Iya deh iya. Eh Ar, omong-omong dari yang gue lihat dan gue perhatiin, kayaknya Kak Dewa naksir deh sama lo."

Untuk sesaat Win terkejut dengan penuturan Rian yang mendadak, sebelum akhirnya ia tertawa. "Sotoy banget lo jadi orang."

Kali ini tak ada senyum jail di wajah Rian, tak ada tatapan menggoda di netra lelaki itu, sekarang ia terlihat benar-benar serius. "Kalau misalnya dugaan gue bener gimana?" Wajah Rian kembali santai, ia tersenyum ketika melanjutkan, "Wah berarti lo emang bener-bener laku keras."

Win diam, ia merasa tak tahu harus menjawab apa. Karena kalimat yang diucapkan Rian benar-benar mengenai sasaran. Di antara mereka bertiga yang paling peka adalah Rian. Meskipun dia orang yang terlihat out of the box dan terkesan masa bodoan dengan urusan orang lain, tetapi ada masanya dia diam-diam memperhatikan keadaan orang-orang di sekitarnya. Terlebih ia juga memiliki kepekaan yang baik.

Bahkan, tanpa diketahui Win, Rian sudah mengetahui jawabannya.

"Ya, enggak gimana-gimana. Kalau dia beneran naksir sama gue ya udah. Gue enggak keberatan. Karena bagaimanapun itu hak dia."

"Udah, Rian mah enggak usah terlalu ditanggepin. Sekarang PR Matematika lo gimana? Udah selesai belum?"

Win melirik Adam dan tersenyum lebar. "Udah selesai kok. Makasih ya, Dam."

Rian berdecih. "Bela aja terus, dasar bucin."

"Iri bilang bos." Win tersenyum mengejek.

"Maaf, enggak minat."

Dan lagi-lagi Adam hanya bisa menghela napas ketika Win dan Rian mulai adu sarkas dan sindiran. Keduanya baru berhenti setelah kedatangan guru.

Jangan tanyakan di mana kantong kresek yang dibawa oleh Adam. Karena isinya sudah masuk ke dalam perut Rian.

***

"Bunda lembur lagi ya?" tanya Win.

"Hm." Bright memasukan irisan bawang putih, bawang merah dan bumbu masakan lainnya ke dalam wajan yang berisi minyak panas.

"Kak Bri masak apa?" Win mencondongkan tubuhnya ke arah Bright. Mengintip apa yang sedang lelaki itu tumis.

"Tumis kangkung. Udah sana jangan deket-deket, nanti lo bisa—"

Achoo!!

Belum sempat Bright menyelesaikan perkataannya, Win sudah terlebih dahulu bersin. Aroma pedas cabai yang ditumis membuat hidung Win gatal.

"Kan udah gue bilang jangan deket-deket. Udara di sini bikin hidung dan tenggorokan gatal. Nanti lo bisa bersin sama batuk. Sekarang lebih baik lo tunggu di meja makan," tutur Bright lembut. Ia memasukkan sayur kangkung yang sebelumnya telah ia potong-potong.

Mengetahui tak ada gerakan dari Win, Bright pun berbalik. Ia pun langsung disambut dengan cengiran lebar Win.

Bright mengehel napas.

Anak ini begitu keras kepala, batin Bright.

"Kenapa, hm? Kok masih di sini?" tanya Bright masih dengan nada lembutnya.

Senyum Win kian melebar hingga menampilkan gigi kelincinya. "Gue mau bantuin Kak Bri masak."

Bright tersenyum hangat. Tangannya terulur untuk mengelus puncak kepala Win, ia menatap Win dengan begitu lembut. "Makasih karena udah mau bantuin gue. Sekarang lo dadar telur ya. Gue mau lanjut buat tempura udang."

Setelah itu mereka sibuk dengan aktivitas mereka sendiri. Win dengan telur dadanya dan Bright dengan tempura udangnya.

Mereka menata hidangan yang telah selesai mereka masak di atas meja. Aroma wangi masakan memenuhi ruang makan. Memanjakan hidung dan menggelitik perut yang meronta minta diisi.

"Gimana kak telur dadarnya? Enak?" tanya Win ketika Bright memakan telur dadar yang dibuat olehnya. Pemuda itu bahkan belum memasukkan sesuap nasi pun ke dalam mulutnya. Ia lebih memilih memerhatikan reaksi Bright yang memakan masakannya.

Bright hanya diam dan menatap Win. Sontak hal itu membuat Win gugup. Pemuda itu menggigit bibir bawahnya.

Bright tersenyum lembut, sebelum akhirnya mengangguk ringan. "Hm, enak."

Manik mata Win melebar dalam sukacita. Raut wajahnya begitu semringah. Ia tersenyum bahagia. "Beneran? Lo enggak bohong, 'kan?"

Lagi-lagi Bright mengangguk.

Senyum Win semakin lebar. Namun, beberapa saat kemudian senyum itu lenyap ketika ia mencicipi masakannya.

Itu asin.

Win berlari ke dapur untuk memuntahkan kembali makanan yang sebelumnya ia makan.

"Asin banget," ucap Win setelah kembali dari dapur. Ia menuangkan air minum ke dalam gelas dan meminumnya.

Pemuda itu menatap sebal ke arah Bright yang terlihat tengah menahan tawa. "Kalau mau ketawa ya ketawa aja, enggak usah ditahan-tahan. Tukang bohong. Bisa-bisanya makanan seasin itu dibilang enak. Lidah lo udah mati rasa apa gimana?" Win mulai mengomel.

"Masak telur dadar yang gue rasa anak SD pun bisa melakukannya, gue malah gagal," ujar Win murung.

Bright meraih tangan Win dan menggenggamnya. "Hei, siapa bilang lo gagal? Enggak kok, lo enggak gagal."

"Buktinya telur dadar buatan gue keasinan." Win menundukkan wajahnya dengan lesu.

"Win lihat gue. tatap mata gue," titah Bright yang langsung dituruti oleh Win. Ia menatap Bright tepat di mata lelaki itu.

Bright masih menatap Win ketika ia berkata, "Win dengerin gue. Lo enggak gagal, lo ... cuma enggak berhasil aja."

Win melepas genggaman tangan Bright dan memukul bahu lelaki itu. "Apa bedanya Kak Bri?" ujar Win kesal.

Bright tertawa kecil. "Gue bercanda."

"Udah bisa bercanda lo sekarang?" sinis Win.

Bright meredakan tawanya. "Win."

"Apaan?"

Bright tak kuasa menahan senyumnya. Di mata lelaki itu, Win yang kesal terlihat begitu menggemaskan. "Dengerin gue, kali ini gue serius."

"Ya udah, apa?"

Bright menggeleng pelan, lalu berkata  dengan lembut, "Apa yang gue katakan sebelumnya bukanlah suatu kebohongan. Gue berkata jujur. Untuk pemula, masakan lo udah termasuk enak. Emang rasanya agak asin, tapi itu masih layak untuk dimakan. Jadi, jangan pernah menyebut kalau lo gagal ya? lo sama sekali enggak gagal, lo hanya perlu belajar lagi. Kalau sekarang rasanya agak asin, nanti ke depannya lo tinggal kurangi lagi takaran garamnya. Ok?"

Win mengangguk dengan patuh.

Bright tersenyum seraya mengusak surai hitam Win. "Ya udah, sekarang lanjutin makannya. Nanti keburu dingin."

Lagi-lagi Win hanya mengangguk dengan patuh.

Mereka pun melanjutkan makan malam mereka.

TBC..

Happy 2k guys, wow makasih yg udah mau mampir dan membaca karya gue..

Ayo beri gue semangat dengan vote dan komen💚

21 November 2021

[Our]Love✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang