-33-

825 90 16
                                    

Seperti biasa, pagi harinya mereka sarapan bersama. Namun, kali ini atmosfernya berbeda.

Sunyi.

Hanya ada keheningan dengan sesekali suara dentingan sendok dan piring.

Ruang makan yang biasa dipenuhi oleh kehangatan, kini menjadi begitu dingin.

Tidak ada senyum lembut dan sapaan hangat dari bibir Daniar.

Tidak ada gelak tawa dan candaan yang terlontar dari bibir Win.

Semuanya terasa redup dan hampa.

Win menyantap makanannya dengan kepala tertunduk. Ia sebenarnya sudah kehilangan selera makannya, tetapi ia tidak ingin membuat orang lain khawatir.

Sedangkan Bright hanya bersikap seperti biasa. Diam tanpa banyak kata.

"Setelah selesai jangan pergi dulu, ada yang mau bunda omongin," ujar Daniar setelah menyelesaikan sarapannya.

Seketika jantung Win berdebar kencang, entah kenapa ia sedikit tidak nyaman dengan perasaan itu.

Ketakutan serta kekhawatiran mulai menghampiri Win. Semua skenario terburuk sudah mengisi benak pemuda itu.

Bagaimana jika Daniar tidak merestui hubungan mereka dan menginginkan mereka untuk berpisah?

Bagaimana jika Daniar beralih jadi membencinya karena telah memiliki hubungan ‘tak biasa’ dengan putranya?

Apa pun itu, Win hanya bisa menelan kembali kekhawatirannya di dalam benak dan hatinya.

Dengan lemah Win mengangguk.

Daniar melirik ke arah Win dan Bright secara bergantian, lalu menghela napas panjang sebelum akhirnya berkata, "Bunda mau kalian putus."

"Enggak!" tolak Bright tegas.

Sedangkan Win hanya diam. Mencoba menenangkan hatinya yang terkejut karena mendengar permintaan Daniar yang begitu tiba-tiba dan to the point.

Apa yang ia takutkan akhirnya terjadi, Daniar tak merestui hubungan mereka dan menginginkan mereka untuk berpisah.

Lalu apakah kini wanita itu juga mulai membencinya?

"Bri, dengerin bunda," ujar Daniar dengan tatapan memohon.

"Maaf, tapi Bri enggak bisa kalau harus pisah sama Win. Itu udah jadi keputusan Bri dan enggak akan berubah."

Daniar tahu bahwa ini akan terjadi, Bright akan menolak permintaannya, ia tahu bagaimana betul sifat putranya. Maka dari itu ia beralih memandang Win.

"Sya," panggil Daniar lembut.

"Bunda!" sentak Bright dengan nada sedikit meninggi.

Namun, Daniar tak menghiraukan Bright. Ia tetap melanjutkan perkataannya, "Kalau bunda minta kamu untuk berpisah dengan Bright, apa kamu mau mengabulkan permintaan bunda?"

"Bunda, berhenti. Kita enggak akan pernah mau berpisah!" sahut Bright.

"Diam Bri! Bunda sedang tidak bertanya padamu!" ujar Daniar dengan raut wajah serius. Kemudian ia kembali menaruh atensinya pada Win yang saat ini sedang menunduk. "Gimana Sya? Apa kamu mau?"

Win mengangkat wajahnya untuk memandang Bright sebelum akhirnya memusatkan perhatiannya pada Daniar. "Arsya mencintai Kak Bri, Bun. Ya, cinta. Hal yang mungkin bagi bunda atau kebanyakan orang lain menganggap bahwa perasaan ini adalah perasaan yang enggak seharusnya dimiliki oleh lelaki untuk lelaki lainnya."

Bibir Win mengulas sebuah senyum lembut yang begitu menyejukkan. "Tapi inilah cinta, ia tak mengenal rupa ataupun bentuk. Selagi seseorang memiliki hati, maka ia akan merasakannya. Karena sarat untuk jatuh cinta adalah mereka yang mempunyai hati."

[Our]Love✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang