39 [END]

1.1K 68 12
                                    

Perlahan kelopak mata itu terbuka, Win mengerjapkan Matanya. Rasa pusing mulai menyerang kepalanya.

Win haus, ia merasa tenggorokannya kering. Baru saja ia akan bangkit untuk mengambil air, tubuhnya sudah dipeluk oleh seseorang.

"Arsya, sayang kamu udah sadar? Mama khawatir banget sama kamu," ucap Wina seraya menatap Win khawatir, meski ada kelegaan di sana.

"Haus," kata Win dengan suara serak dan lemah.

Dharma dengan cepat memberi Win segelas air.

Setelah selesai meneguk air minumnya, Win kemudian melihat sekelilingnya dan pandangannya jatuh ke kedua orangtuanya.

Pemuda itu melihat kelopak mata ibunya sembap dan basah, tanda bahwa wanita itu baru saja menangis.

"Rumah sakit? Berapa lama Arsya pingsan?" tanya Win seraya menatap kedua orangtuanya.

Bukannya menjawab, keduanya malah justru memeluk Win.

"Anak Ayah udah bangun, maafin Ayah ya, Nak. Karena belum bisa jadi Ayah yang baik. Maafin kami yang belum bisa menjadi sosok orang tua yang bisa mengerti perasaan anaknya." Dharma mencium puncak kepala Win, mencurahkan seluruh rasa sayangnya pada putra semata wayangnya.

"Maafin mama juga ya, Nak. Mama udah jadi ibu yang kejam. Sosok ibu yang sudah merampas kebahagian dari anaknya." Tangis Wina semakin pecah setelah mengatakan itu.

"Ayah, Mamah, ini ada apa?" tanya Win dengan raut bingung.

"Bekas luka goresan di tubuhmu, sejak kapan kamu mulai menyakiti dirimu sendiri, Nak?"

Ah, karena itu.

Sekarang Win mengerti alasan sikap kedua orang tuanya terhadap dirinya.

Entah ia harus berekspresi seperti apa. Ia tidak tahu harus bereaksi seperti apa. Jadi, pemuda itu memilih untuk diam.

"Apa karena itu kamu sampai melukai dirimu sendiri? Apa karena permintaan Mamah untuk menjauhi Dewa yang membuat kamu menjadi seperti ini?"

Lagi-lagi Win hanya diam, tetapi sorot matanya mengungkapkan semuanya.

Rasa sakit, luka, kekosongan dan perasaan yang selama ini ia simpan kini terlihat jelas di sorot mata pemuda itu.

Tidak ada air mata, tetapi sendu itu begitu pekat.

"Maafin Mamah Karena telah menjadi ibu yang egois."

Win menatap ibunya, lalu tersenyum. "Enggak ada yang perlu dimaafkan di sini, Arsya tahu apa yang kalian semua lakukan itu untuk kebaikan Arsya juga."

"Nak."

Win menarik napasnya dalam. "Ya, Arsya akui kalau hal itu sangat berat dan sulit untuk Arsya, tapi lagi-lagi itu demi kebaikan Arsya juga. Jadi, bagaimanapun Arsya harus melakukan itu. Kalian tenang aja, Arsya baik-baik aja." Win menatap kedua orangtuanya dengan pandangan hampa. "Arsya belum gila, meski hampir. Arsya masih bisa mempertahankan kewarasan Arsya."

Perkataan Win menampar telak Wina dan Dharma. Hati mereka berdenyut nyeri ketika mendengar penuturan menyedihkan yang keluar dari mulut putra mereka sendiri.

Keduanya menyadari betapa kejamnya mereka terhadap putra mereka sendiri.

Suara pintu terbuka mengalihkan perhatian mereka. Selain Win, mereka semua menoleh ke arah pintu.

"Dewa," panggil Wina seraya berjalan ke arah Bright. Sedangkan Dharma masih setia di samping Win.

Pupil mata Win melebar saat nama itu disebut. Pemuda itu sontak menoleh.

[Our]Love✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang