-25-

941 105 18
                                    

Beberapa jam sebelumnya...

Setelah melihat kepergian Bright, Win pun bergegas pergi menuju ke rumah Rian.

"Lain kali ketuk pintu dulu sebelum masuk, jangan asal main nyelonong aja. Siapa tahu waktu lo masuk gue lagi—" ucap Rian terpotong oleh Win.

"Iya, iya maaf. Elah ribet banget sih lo."

Rian tersenyum tengil. "Selow, kayak sama siapa aja."

Win memutar bola matanya dengan jenuh. "Nyesel gue dateng ke sini."

Rian tertawa ketika melihat ekspresi kesal Win. "Ada apa nih? Tumben lo kemari enggak bilang-bilang dulu. Biasanya sih ada masalah. Kali ini apa?"

Win menunduk lesu sebelum berkata dengan lemah, "Kak Bri."

"Udah gue duga, ini pasti tentang dia. Emang ada apa dengan ‘Kak Bri’ lo itu?"

Masih dengan tertunduk lesu, Win pun memuntahkan beban pikiran yang ia punya, "Gue ngerasa kalau Kak Bri berusaha ngejauh dari gue. Dia seperti sengaja menjaga jarak dari gue."

Rian manggut-manggut. "Dan lo sedih karena itu?"

Win menoleh untuk menatap Rian. "Jelaslah! Gue juga kayak ngerasa kehilangan."

Kali ini bibir Rian terangkat, ia tersenyum penuh arti. "Lo ngerasa kehilangan?"

Win mengangguk.

"Lo ngerasa kehilangan dia sebagai apa?"

Kening Win mengerut dalam, ia menatap Rian dengan bingung. "Maksud lo?"

Rian menghela napas, ia kadang suka gemas sendiri dengan sikap kurang peka dari sahabatnya itu.

"Maksud lo apa, Yan? Jangan menghela napas mulu."

Ini boleh tukar tambah sahabat enggak sih?

"Rian ce—"

"Iya elah, sabar dikit kenapa."

Win tersenyum tanpa dosa.

"Jadi, lo ngerasa kehilangan dia tuh sebagai apa? Sebagai seorang teman, sahabat, kakak laki-laki, atau hal lain?"

Win kembali tertunduk lesu, lalu berkata dengan suara lirih, "Gue enggak tahu. Gue juga bingung sama perasaan gue sendiri."

"Tapi lo nyaman dekat sama dia?"

Win mengangguk.

"Lo bahagia saat bersama dia?"

Win mengangguk.

"Apa hati lo pernah berdesir aneh karena dia? Dan itu membuat hati lo menghangat?"

Lagi-lagi Win mengangguk.

Rian tersenyum, ia sudah dapat menyimpulkan. Namun, untuk memastikan kesimpulannya benar, ia pun bertanya pada Win, "Coba lo bayangin dia sama orang lain, dia bermesraan dengan orang lain di hadapan lo.  Bagaimana perasaan lo?"

Win menggeleng. "Gu–gue ... gue enggak bisa bayangin hal itu."

"Itu namanya lo suka sama dia, bego. Perasaan yang lo punya udah bukan lagi tentang persahabatan atau kakak-adik, tapi lebih dari itu. Stop denial."

"Tapi ...." Win tak mampu melanjutkan perkataannya.

Rian tersenyum, kali ini ia tersenyum dengan tulus. Ia menepuk-nepuk bahu Win. "Gue tahu, lo udah paham sama perasaan yang lo punya. Lo udah ngerti, karena sebelumnya lo udah pernah merasakan perasaan itu."

Win hanya diam, karena tebakan Rian lagi-lagi selalu tepat sasaran.

"Lo takut ya, Ar? Lo takut terluka kayak dulu? Lo takut suatu hari nanti hubungan lo gagal lagi, dan saat hal itu terjadi, lo takut kehilangan dia, kan? Lo udah terlalu nyaman sama dia sehingga lo enggak mau pisah dari dia, kan?"

[Our]Love✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang