1. Janji Jejak Kaki

2.2K 162 18
                                    

“Aska dan Azka adalah kesatuan yang telah Tuhan bagi dalam dua raga.”

Delapan tahun yang lalu—2009

     Pagi itu, kaki–kaki kecil mengitari taman dengan jeritan senang yang mengiringi terbangnya kupu–kupu di sekitar. Setelah lelah berlari, dua dari empat kaki yang ada, kini hanya melompat–lompat di atas tanah berumput lebat untuk menggapai sesuatu menarik yang ada pada dahan atas pohon di depannya.

     “Aska! Ada sarang burung!” serunya mengundang pemilik kaki kecil yang lain. Perlu setidaknya dua detik sebelum sadar dan mendekat. “Mana?!” tanyanya.

     Anak bernama Aska itu mulai terkagum dengan tangan yang masih membawa jaring—sebelumnya ia pakai untuk menangkap kupu–kupu dan beberapa serangga.

     “Itu!” Tangannya naik-turun menunjuk serabut bulat yang terselip di ujung ranting.

     “Panggil Ayah!” seru Aska membuat yang paling muda di antara keduanya segera berlari mencari keberadaan sang ayah.

     Azka—kembaran dari Aska—kembali dengan tangan yang menarik lengan besar lain. Raut bingung ketara jelas di wajah dewasa itu. “Ada apa ini, kok Ayah ditarik?”

     “Ada sarang burung, Yah!” seru Aska.

     “Sarang? Wah, kalian teliti banget. Coba Ayah ambil, ya ....” Sosok Ayah itu mendekat dengan tangan besarnya yang menggapai dan membawa turun sarang berbentuk serabut itu.

     Kilatan kagum dari dua pasang manik kecil hadir. Azka sebagai penemu langsung bersorak dan berdiri untuk memeluk sarang berisi dua telur itu. “Lucu! Pasti burungnya bakal netes!”

     Aska mengangguk cepat. “Dua! Nanti kembar kayak kita ya, Azka!”

     Azka tertawa lalu mengangguk, membenarkan pernyataan dari kembarannya itu. “Tunggu burungnya netes dulu ya, Ayah? Baru kita pulang.” Azka menoleh lalu menatap dalam sang Ayah dengan penuh harapan tentang kata boleh yang seharusnya segera keluar dari mulut pria besar di hadapannya.

     “Boleh.”

     “Yey!” Keduanya melompat dan memutari pohon dengan sorakan gembira.

     Memang terdengar biasa dan membosankan untuk orang dewasa menunggu apa yang anak kecil lakukan untuk memuaskan rasa ingin tahunya. Lihatlah, bagaimana sosok Ayah tadi menyetujui permintaan anaknya mengenai kegiatan mengundur waktu pulang hanya untuk menunggu dua telur itu menetas. Padahal mereka juga tidak tahu, berapa usia telur itu.

     “Azka, Aska. Kita pulang aja, ya? Ibu bisa marah kalau kita gak makan siang.” Ia bangkit, mencoba mendekati kedua anak kembarnya. Meski akhirnya sulit karena ternyata dua anak lelaki itu siaga untuk memeluk pohon supaya Ayahnya sulit melepaskan dan tidak bisa membawa mereka pulang. “Enggak mau!” tolak keduanya bersamaan.

     Pria dewasa itu menghela napas menatap tingkah anak–anaknya. “Sudah mau siang, Kembar. Ayah mau shalat.”

     Perlahan tautan tangan pada pohon mengendur. “Sebentar lagi, ya ... please, Ayah. Just this time, I'm promise. Ya 'kan Azka?” tanya Aska disusul anggukan dari saudaranya.

     “Oke, sebentar lagi.”

     Sepuluh menit ... stop watch Ayah itu berbunyi. Ia menghela napas. “Ya ampun, sayang sekali pangeran–pangeran tampan, waktu kalian habis. Mari pulang, Ratu sudah menunggu dengan banyak makanan di rumah.”

     “Yahhh!”

     Akhirnya, mau tidak mau sarang itu ditinggalkan di atas kursi taman dan ketiganya mulai berjalan untuk pulang. Aska dan Azka sedikit murung, mereka seperti sangat kecewa karena para telur tidak menetaskan bayi burung. Namun ternyata, empat langkah selanjutnya—

     Krekk

     Azka, si penemu sarang yang sedari awal memang teliti, berbalik ketika mendengar bunyi retakan kecil. Benar saja adanya, kedua telur pecah bergantian, itu membuat Azka melepas cepat tangan sang Ayah agar dapat kembali mendekat pada sarang. “Telurnya netes!” Aska pun tersenyum dan ikut mendekat lagi ke arah sarang.

     Keduanya menatap seksama sampai dua kepala burung kecil berbulu jarang keluar dari cangkang. Matanya yang baru terbuka, menyipit pelan–pelan untuk menyesuaikan cahaya siang hari. “Ih, lucu banget kayak Aska!” Azka menekan pipinya karena dibuat gemas oleh dua hewan yang baru menyalami dunia di depannya.

     “Aska! Sekarang, ayo kita buat janji sebelum pulang!” ajaknya tiba–tiba setelah sebelumnya melepas tekanan di pipi. Aska pun hanya mengangguk. “Janji apa?”

     “Janji Jejak Kaki!”

     Sang Ayah yang tak jauh dari sana hanya menghela napas dan tersenyum. Sedikit terheran meski terhibur pula karena perilaku acak tidak tertebak dari dua anak berumur delapan tahunnya itu. “Ada saja ...,” gumamnya.

     Satu tangan Azka segera menarik Aska untuk mendekati pohon. “Aska liat aku dulu, ya! Nanti ikutin.”

     “Oke!”

     Terlihat jika Azka mulai menginjak berkali–kali tanah di depan pohon lalu berkeliling memutar. “Azka janji buat selalu ada. Azka janji buat terus sama Aska! Azka janji mulai sekarang Azka gak akan lepas dari Aska! Azka sama Aska itu satu!” Semua diucapkan olehnya sampai kembali pada pijakan awal.

     Azka menoleh lalu tersenyum pada Aska. “Kalau sekarang, gantian. Giliran Aska!”

     Aska tersenyum, dirinya maju untuk melihat jejak dan cetak kaki kanan Azka. “Azka, aku kaki kiri, ya? Biar sepasang.”

     “Iya, harusnya gitu!” ucap Azka yang sudah mundur.

     Aska memunculkan postur hormat dengan ujung jemari di dahinya. “Siap, Kapten!”

     Kaki yang sedikit lebih besar itu menekan tanah yang sama dengan jarak pendek lalu ikut pula memutari pohon. “Aska janji buat selalu jadi anak baik. Aska janji buat terus senyum di depan Azka. Aska janji, Aska gak akan jauh dari Azka. Aska dan Azka, kita satu!” Kakinya kembali pada pijakan sebelumnya. Aska tertawa senang, lalu melompat untuk menjauh dan memeluk cepat Azka yang juga berlari mendekat.

     Mereka kembali untuk melihat sarang di tempat duduk. Burung–burung kecil itu sudah keseluruhan tubuhnya keluar dari cangkang. Salah satu diantaranya bahkan sudah bernyanyi kecil. “Wah, burung yang ini, pit pit pit!” Azka menunjuk burung paling kanan seraya meniru suaranya.

     Sementara itu, Ayah dari keduanya mendekat kemudian mengangkat naik sarang itu. “Sudah acara melihat–lihatnya, Kembar? Ayah kembalikan sarang ini ke dahan pohon, ya?”

     Keduanya mengangguk puas. “Balikin aja, Yah! Gak apa–apa, soalnya kalau di kursi nanti didudukin orang. Kasihan juga kalau Ibu burung sama Ayah burung nyariin sarangnya di pohon, tapi terus gak ketemu! Makasih ya, Ayah!” oceh Azka.

     Sang Ayah kembali setelah menaruh sarang itu. Mengelus bergantian surai anaknya. “Setidaknya untuk sekarang kalian belajar makna kebersamaan. Ayah kagum kalian sampai buat janji. Sekarang kita pulang, ya?”

     “Siap, Ayah!”

     Pada akhirnya, mereka bertiga meninggalkan taman lewat pintu keluar yang tidak jauh dari pohon itu, dengan mega cerah yang tadinya membuat suasana sekitar nyaman kini sudah sedikit demi sedikit menggelap. Tiga detik selanjutnya, cakrawala benar–benar menurunkan rintik pembasah bumi yang sekaligus membuat dua cetak kaki dekat pohon memudar, bahkan tergantikan menjadi genangan air.

Aska: Bertaut JiwaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang