15. Khawatir Kembali

641 79 32
                                    

Nah kan, saya bilang saya sebentar :v

.

     Hari ini, Jenova masuk ke kelas dan duduk dengan tenang di mejanya saat ia menyadari jika Eric sudah kembali. Meski yang berbeda kali ini, pemuda itu tidak memberinya salam.

     Aura dari sisi Eric begitu suram. Jenova menghindarinya lebih dulu daripada menjadi kemungkinan nanti adanya suatu yang tidak diinginkan.

     Tak butuh sepuluh menit setelahnya, pelajaran pertama dimulai. Jenova melewatinya dengan perasaan yang sedikit bersemangat. Mungkin di pergantian pelajaran nanti, ia bisa menghampiri Eric.

     Tapi ternyata, waktu masuk pelajaran ke dua di jam sekolahnya, Jenova lagi–lagi dikejutkan dengan ucapan Guru jika semua wali murid sudah menunggu di luar untuk menjemput mereka.
    
     “Kepala Sekolah dan Para Guru baru memutuskan pagi tadi, jika LDKS untuk siswa terpilih akan dimajukan hari ini. Karena LDKS berjalan selama dua hari, dan tidak memungkinkan jika esok baru dimulai. Ini juga jadi pertimbangan sebab, Sabtu akan disahkan kegiatan Eskul. Bisa bentrok nantinya. Jadi kesimpulannya, kalian tidak belajar di sekolah, hari ini sampai besok, Jum'at. Belajar di rumah, oke?”
    
     “Kemudian, untuk daftar pilihan Eskulnya, Sabtu pagi akan dibagikan.”

    Perempuan berstatus guru di depan papan tulis itu, menjelaskan lisan sekaligus dengan bahasa isyarat yang begitu lancar. Semua dilakukan karena ada beberapa anak tuli di kelas ini. Meski sebenarnya mereka pun menggunakan alat bantu pendengaran.
    
     “Terakhir, ada pemilihan OSIS di Senin nanti. Ibu harap, kalian semua mau berpatisipasi dalam pemungutan suaranya. Itu saja.”
    
     Ucapan guru itu diakhiri oleh gerakan ujung tangan yang menyentuh permukaan bibir dan terbuka kebawah. ‘Terima kasih.’
    
     Jenova menyandarkan kepalanya ke meja. Ia membiarkan kelas berakhir dengan guru yang sudah meninggalkan ruangan setelahnya. Diam–diam olehnya, menatap sosok di pojok kanan sana.

     Eric.

     Hari ini, ia seperti punya energi yang berbeda dari biasanya. Belum lagi Eric yang hari ini, kembali sekolah dengan handsock panjang sampai melebihi sikutnya.
    
     Jenova memutuskan untuk segera membereskan semua alat tulis dan bukunya yang berserak di meja, karena dengan begtu ia bisa menghampiri Eric dan memenuhi maksud dari 'punya waktu' yang kemarin lusa mereka bincangkan.
    
     Meski terkadang tangan Jenova berhenti sesaat untuk berpikir kegiatan apa yang akan ia lakukan hari ini bersama Eric. Mungkin ke taman lagi atau keliling mencari Street food dengan bentuk unik?
    
     Selesai membereskan mejanya, Jenova menoleh. “Eric, ja—” Kalimat itu menggantung.
    
     Sisi rambut Jenova bergerak seirama angin dari luar sekolah yang masuk dengan cepat lewat jendela. Kelas sudah sepi. Eric sudah pergi.
    
     Terlalu larutkah dia memikirkan tentang perjalanan berbasis rencana—atau akan jadi wacana?—yang ada di otaknya.
    
     “Dia pasti belum jauh.” Jenova bergumam disusul anggukan yakin. Remaja laki–laki itu dengan cepat menarik ransel, mulai mengenakan, dan lari keluar kelas setelahnya.
    
     Sayang, saat sampai di area parkir yang dekat dengan kelasnya, Jenova lebih dulu melihat mobil hitam seperti kemarin lusa dengan sosok Juan yang pernah Eric kenali mulai masuk dan membawa mobil itu pergi.

     Jenova berlari karena posisi mobil itu yang belum melewati area parkir. “Tunggu! Eric!”

     “Eric!”

     “Jen?!”

     Jenova berhenti berlari saat merasakan jika tangannya tengah ditahan seseorang. Ia menoleh dan mendapati wajah serius kepunyaan Junawan.

Aska: Bertaut JiwaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang