30. Untuk Apa?

360 49 5
                                    

Banyak kata kasar dan tidak baik. Adegan ini juga saya buat bukan bermaksud menimbulkan trigger dari beberapa orang. Kalau merasa gak sanggup atau di tengah jalan justru triggered ... silakan tinggalkan cerita ini ya, demi kenyamanan. Ini bukan untuk sementara, karena part selanjut ini pun sama kerasnya.

Ini udh diingetin ya. Jangan ngeyel.

.

     Arin terhuyun lemas ketika dua meter dari tempatnya, berdiri sosok pria dewasa yang pernah menghancurkan hidupnya.

     Tangan yang baru saja mengunci pintu galeri mendadak bergetar takut. Mengapa baru sekarang sosok itu muncul? Saat ini?

     “Arin?”

     Sialnya adalah ia rindu sekaligus muak dengan suara itu.

     Dalam sekejap, sosok itu sudah menyusuri jalan setapak untuk lebih dekat padanya. Berandang dengan sisa jarak beberapa inci. Mereka saling berhadapan. Arin bahkan dapat melihat bagaimana mata bajingan besar itu mengharapkan sesuatu padanya.

     “Untuk apa kau ada di sini?” tanyanya pelan. Mencoba menyembunyikan sesuatu yang sebenarnya hendak ia serukan dengan kencang.

     “A—” Bibir pria itu hampir terbuka namun tertutup kembali. Ada ragu di sana. “Aku ... aku bersyukur bisa menemuimu lagi.”

     “Dan aku menganggap ini kesialan karena kau bisa menemuiku. Katakan apa maumu?” gertak Arin.

     “Aku ... A-aku rindu padamu, tentu dengan Aska sekalian.”

     Segera, wanita itu meremat rok panjangnya. Menahan bagian dalam dadanya yang memberontak ingin meledak.

     Ia marah.

     “Kenapa baru sekarang?” suaranya perlahan bergetar.

     “Kutanyakan padamu. Kenapa baru sekarang, Sandi?!”

     Pria yang sekarang diketahui bernama Sandi—Ayah dari sosok Azka—perlahan menjatuhkan dirinya. Memohon dibawah kaki wanita yang melahirkan dua putranya. “Maafkan, maafkan aku.”

     Rahang Arin mengeras. Tepat saat itu air matanya kembali keluar dari yang terakhir kali tadi siang di ruang sahabatnya. Dengan bibir bergetar ia pun bertanya kembali, “Apa maaf darimu bisa mengembalikan waktu? Apa maaf itu bisa membuatku lupa dengan tingkah brengsekmu tujuh tahun lalu?! Kaugunakan otakmu untuk apa, Sandi?!”

     “Kaudatang tiba–tiba. Mengatakan kaurindu padaku? Kau siapa, Sandi?!”

     “Kau siapa ...?” Suara itu memelan perlahan.

     Arin tumbang. Ia mengeratkan cengkraman tangan di selendang yang menutupi sebagian rambutnya. Mengerang di bawah lampu gang yang remang.

     Matanya menatap sekeliling, baru sadar suasana sesepi ini dan hanya berdua bersama mantan suaminya. Ia kembali merasa pusing. Rasanya sangat tidak rela. Ia tidak terima sosok itu bisa tampak begitu baik dengan jas rapi, tatanan rambut kelas atas dan bros ternama jadi aksesoris para pengusaha yang biasa ia temui dalam kunjungan galeri. Sedangkan dirinya? Aska—ah Jeno-nya?

     Belum lagi, sosok yang sama itu mengatakan jika sedang merindu padanya dan anak yang tidak dimenangkan olehnya. Kemana pria yang hanya terdiam dalam ruang peradilan ketika palu hakim diketuk? Di mana pria yang mencium pipi seorang gadis dan mengatakan akan memadu dirinya?

     “Aku akan memperbaiki semuanya. Aku akan menebus dosaku. Kembalilah pada—”

     Ucapan itu terhenti begitu Arin mendaratkan tamparan kasar di pipi Sandi yang ikut menyelaraskan tubuhnya dengan berjongkok.

Aska: Bertaut JiwaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang