Mata sipit itu terbuka pelan ketika cahaya ruangan merebut kegelapan darinya. Jenova terbangun dengan badan yang begitu kaku. Lidahnya kelu, wajahnya kebas.Teringat tentang isi kepalanya terakhir kali, perlahan air matanya turun. Kenapa ia masih di sini? Di mana Azka-nya?
“Jeno!” Arin yang baru membuka pintu berteriak lega di saat menemukan putra sulungnya telah membuka mata.
Arin segera menutup pintu kembali, lalu bergegas mencari dokter. Intensitasnya hanya tertinggal pada kenyataannya jika putra sulungnya kembali. Sementara Jenova yang menyadari sang Ibu tengah memanggil Dokter pun hanya dapat diam.
Ia merasa tak berdaya. Jenova kembali menangis, namun ia tidak putus aja. Jenova perlahan menggerakkan bagian tubuhnya mulai dari jari tangan dan kaki.
Sedikit demi sedikit kaku tubuhnya berkurang. Ia menoleh dan menatap pintu. Ibunya telah tiba dengan dua dokter dan satu perawat.
Ketika mereka mendekat, Jenova menggeleng. Ia kembali menangis. “Jangan sembuhkan aku. Aku mohon,” suaranya parau.
Dokter yang hampir menyentuh infus Jenova pun berhenti. “Biarkan kami bekerja, Nak.”
Jenova menggeleng lebih keras. “Kenapa aku masih di sini? Biarkan aku pergi! T-tolong, hiks ... kumohon biarkan aku pergi!”
Arin berlari ke sisi lain kasur lalu memeluk tubuh telentang anaknya. “Sayang ... nurut, ya? Jeno harus sembuh, Jeno harus temenin Ibu.”
“Katanya aku mau dikasih taman kayak dulu lagi, Bu. Sama Tuhan. Aku mau.”
“Kata siapa sayang? Jeno mimpi, yaa?” Arin merenggangkan pelukan. Ia menatap salah satu dokter untuk memeriksa keadaan Jenova pelan–pelan.
“Bukan. Dia bisikin aku, Bu.”
Arin kembali menangis. “Jeno nurut sama dia daripada Ibu? Kalau Jeno pergi, Ibu gimana?”
Jenova menatap Ibunya polos. “Jeno siapa, Bu? Ini Aska lho, Bu.”
Detik itu juga isak tangis Arin semakin kuat. Jenova menatap heran sang Ibu. Ia merasa jika tidak ada kata yang salah sebelumnya.
“Aduh, sakit!” Jenova menoleh ke sisi lain ranjang, mendapati satu perawat tengah membuka perban di tangan kanannya.
“Tangan aku mau diapain? B-bu! Tangan Aska! Itu tolong! Lepas–lepas! Hiks, gak mau, Bu! Tolong!”
Arin menenangkan Jenova dengan mengelus dua bahu sang anak. Berharap jika itu cukup namun nyatanya Jenova justru kian memberontak. “Aku gak mau di sini! Aku mau pergi aja, Ibu! Aku mau udahan!”
“Iya, sayang. Abis ini udahan ya? Iya 'kan Pak Dokter?” Arin menatap Dokter satu per satu. Meminta kerja sama untuk ketenangan yang hadir selanjutnya.
Jenova menggulir tatapan ke wajah orang–orang yang ada di sana. Satu per satu. “Boleh Aska beneran pergi abis ini? Aska mau ke Taman punya Tuhan. Aska mau hias buat Azka. Pak Dokter jangan sembuhin Aska, ya?” tanyanya dengan suara serak.
“Beneran gak mau sembuh, Nak?”
Dokter itu menatap aneh kepada Jenova. Tatapannya dibalas dengan sorot halus dan senyuman yang kian menipiskan garis matanya. “Gak mau. Dokter boleh pegang–pegang deh, gak apa–apa. Tapi jangan sembuhin, ya?”
Jenova menoleh ke arah Arin. “Aku bisa ke Tuhan kapan, Bu?”
Arin menggeleng. Ia tidak tahu, ia tidak mau, ia tidak siap. Matanya semakin gelisah, air matanya belum juga berhenti. “Jangan bahas sekarang, ya sayang?”
KAMU SEDANG MEMBACA
Aska: Bertaut Jiwa
Teen FictionKisahku; Kisah kita. Aku yang berupaya lewat para selaksa untuk kembali menjadi kita. Sebuah satu kesatuan yang menolak kembali adanya perpisahan. ••• "Aska ... kalau nanti aku gak bisa pegang tangan kamu lagi, gimana?" "Berh...