37. Kaki-Kaki yang Tak Lagi Berlari

601 66 6
                                    

.
Maaf baru up lagi ><
Yang lupa jalan ceritanya boleh kali baca ulang ya~
Udh ⅔ perjalanan nih
Sebentar lagi cerita ini bakal sampai di ending.
.

     “Jen, ayok!”

     Jenova yang awalnya termenung segera tersadar. Ia membalikkan badan, lalu tersenyum pada Ibunya yang telah selesai memasukkan barang–barang selama ia dirawat inap ke bagasi mobil milik Junawan.

     Kaki–kaki yang tegak itu berjalan menghampiri tubuh wanita yang melahirkannya. “Ibu gak mau cerita tentang sesuatu?”

     Arin menggeleng. Ia mundur untuk menutup pintu bagasi seraya bertanya, “Emang apa yang perlu Ibu ceritain, tah? Gak ada, kamu nih aneh–aneh aja.”

     Jenova tersenyum getir. Tidak ada, ya? Jenova tahu yang dilalui ibunya memang sama sekali tidak mudah. Pasti banyak hal yang membuat Ibunya sangat amat tertarik untuk mengganti nama bahkan identitas miliknya. Ia pun tahu, Ibunya adalah orang pertama yang sangat mengkhawatirkan dirinya. Terutama akhir–akhir ini.

     Namun lain dari itu, Jenova juga tahu dalam mata di atas senyum manis itu ada tatapan kosong yang lelah, butuh pelukan dan sandaran, butuh validasi dan jalan kembali. Jenova tahu Ibunya pasti setidaknya sudah sekali melihat Eric selama ia dirawat, bagaimana pun Eric hanya berada satu lantai darinya dengan lokasi Rumah Sakit yang sama.

     “Jeno, kamu banyak bengong ya? Kenapa?

     Jenova menggeleng lalu tersenyum. Ia pergi membuka pintu mobil lalu memutuskan menunggu di dalam.

     Satu per satu tetes air mata jatuh. Ia masih ingat bagaimana gertakan Juan di waktu hampir subuh tadi. Sejahat itu ia dengan Azka-nya?

     Kenapa ia terjebak di sini? Apa benar salahnya? Ia bingung.

     Rasanya ia ingin cepat–cepat memeluk kembarannya. Ia merindukan bagaimana mata manis itu memandangnya entah dalam nama Azka ataupun Eric. Mereka satu, masih ada separuh bagian yang seharusnya tetap untuk bertaut.

     Jenova membuang pandangannya ke jendela ketika ibunya sudah memasuki mobil.

     “Ibu akan mengantarmu pulang lalu kembali ke sini. Jadilah anak baik, okay?”

     Hanya anggukan yang kini didapat oleh Arin. Ia menghela napas, mungkin kondisi mental Jenova belum stabil.

•••

     “Take your lunch, Sweet. I got to go.

     Jenova menatap meja makan saat hentakan sepatu kecil milik ibunya sudah tidak terdengar lagi. Di depannya kini tersaji banyak hidangan yang mungkin sebentar lagi akan membuatnya kenyang.

     Tangannya mulai menarik kursi. Duduk, mengambil beberapa potong lauk dan nasi.

     Satu suap. Dua suap. Jenova menelannya dengan sorot mata kosong. Ia tidak merasakan apa–apa. Hambar.

     Tang

     Sendok dan piring itu bertemu dengan kasar. Kilasan tentang pagi tadi kembali datang. Jenova menyuap nasi lagi, namun kali ini ia memakannya dengan cepat. Hal paling buruk adalah air matanya menetes di antara nasi–nasi sisa di piring.

     Semakin hambar. Jenova bahkan merasa tak bisa kembali leluasa menghantarkan emosi. Tangisnya pun sunyi. Ia tertahan oleh sesuatu, ia sungguh ingin berteriak tapi tidak sama sekali terjadi.

     Hal buruk. Hal buruk.
Jangan biarkan seseorang atau bahkan dirimu untuk menangis ketika makan. Rasanya tidak nyaman, sungguh Jenova ingin mengakhiri ini secepatnya.

     Kini makanan miliknya tak tersisa. Tangisnya pun terhenti. Jenova menatap air pada gelas di depannya. Ia menarik gelas itu lalu dengan cepat menghabiskan air di dalamnya hingga tandas tak tersisa.

     Mata Jenova kembali menatap ke meja makan. Ia terdiam beberapa saat ketika suara bising mulai hadir lebih cepat di kepalanya.

     ‘Makan lagi.’

     ‘Matilah dengan kenyang!’

     ‘Habiskan, cepat!’

     ‘Mati. Mati. Kamu akan tenang.’

     ‘Biar rasa bersalahmu pergi. Makanlah hingga kau mati.’

     ‘Makan, makan, makan!’

     “Huaaah! Argggh! Pergi–pergi! Aku tidak mau!”

     Jenova menggeleng. Tangannya mulai bergetar, ia melirik gelas yang masih erat digenggamnya. “Pergi ... pergi, pergi!!”

     Prangg

     Meja makan kini berganti, lauk lauk dan nasi di sana berhamburan, berserak pecahan gelas kaca dan piring. Jenova baru membantingnya beberapa saat lalu.

     “Aku tidak akan mati! Jangan ganggu aku! Aku ingin di sini. Aku ingin sampai Azka—”

     Jenova terdiam. “Azka? Ahahahaha! Aku lupa dia bahkan tidak mau bangun untukku.”

     Tangan–tangan miliknya naik, mulai memukul kasar kepalanya berkali–kali. Suara itu tidak mau pergi, terus berulang untuk beberapa saat. Kepalanya sangat pusing.

     ‘Azka mu akan pergi. Kalian akan bersama.’

     “Azka akan pergi?”

     Tangannya melemah. Ia menjatuhkan lengan ke samping tubuh. Matanya mulai gelisah, pupilnya mengecil tiba–tiba. Benarkah Azka-nya tidak mau bertahan lagi?

     “Tapi Aska sudah pulang, Azka mau pergi?”

     ‘Ambil pecahan itu, ambil, ambil!’

     ‘Pergilah bersamanya. Pergi! Mati, mati!’

     “Aku? Mati?”

     Jenova mengangkat tangannya, menatap dua telapak yang terbuka. Matanya mengerjap lemah. “Sekarang?”

     ‘Lakukan, lakukan, mati, mati, mati!’

     Pecahan piring paling dekat ada di depannya. Pecahan yang lebarnya sepertiga telapak miliknya. Jenova menarik itu menatapnya beberapa saat sebelum akhirnya tersenyum. “Aku boleh pergi duluan?”

     “Tuhan bakal kasih Aska taman lagi 'kan? Bisa main bareng Azka lagi 'kan?”

     Bibirnya turun. Ia kembali menangis. “Tapi Aska baru pulang. Aska baru ketemu Ayah. Aska baru tahu Senja yang sekarang.”

     ‘Mereka tidak peduli denganmu. Mereka hanya tahu kamu bagian dari Azka.’

     “Ibu gimana? Hilal gimana? Om Juna gimana? Hiks ....”

     ‘Semua orang akan lupa dengan mereka yang sudah pergi. Bukankah begitu caramu juga melupakan Kakekmu?’

     “Aku, aku akan dilupakan? Aska? Jenova?”

     ‘Ya! Matilah, mati dengan pecahan itu!’

     Jenova menatap pergelangan tangan kanan. Ia mulai menggores dalam dengan pecahan piring sebelumnya.

     Tangannya mulai terasa basah. Bau anyir pun tercium. Semua masih terasa jelas. Darah itu jelas terasa mengalir. Meski pandangan matanya sudah amat gelap, ia tahu sebentar lagi ia akan pergi lebih dulu sebelum Azka. Jenova tersenyum, mungkin ini saatnya?

     “Kalau emang Azka juga pergi ke tempat tenang punya Tuhan, aku bisa duluan, minta kado taman yang bagus ... aku bisa hiasin buat Azka juga. Azka pasti seneng ... ya?”

     Hal terakhir yang muncul di gelapnya pandangan miliknya adalah sekelebat bayangan tentang senyum mereka pada delapan tahun yang lalu. Taman yang indah, jejak kaki kecil dan sebuah janji.

.
T. B. C.
.

Blm tamat ko bestie~
See u

Aska: Bertaut JiwaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang