7. Jahe

646 94 21
                                    

     Keesokan harinya, tepat hari Selasa. Jenova kembali masuk sekolah. Ia berpenampilan seperti biasanya hanya saja yang berbeda kali ini perihal spiritnya.

     Sepanjang jalan menuju ke sekolah ia lalui bersama Hilal. Menumpangi mobil Junawan dan dengan keadaan tidak bersemangat.
    
     Murungnya tentu bukan dengan alasan simpel itu. Mulai hari ini ia akan sedikit dibedakan. Sudah diputuskan dari tiga hari lalu oleh Ibunya dan beberapa guru agar dirinya masuk ke dalam kelas Luar Biasa.
    
     Awalnya Jenova menolak keras. Ia bahkan sampai tak mau menyentuh makanan dalam sehari. Jenova merasa bila dirinya masuk ke kelas Luar Biasa, sama saja ia dianggap tak mampu, berkebutuhan dan dispesialkan. Walau akhirnya, Jenova diberitahu oleh Arin jika itu demi kebaikannya.
    
     Mereka tak pernah tahu kapan Jenova tidak bisa mengendalikan emosinya. Jenova semakin sensitif jika digunjing dan dalam kelas biasa, Jenova bisa mendapatkan kapabilitas tinggi untuk materi–materi pembelajaran yang tidak memberatkan. Itu yang Arin, Junawan dan Guru lain pikirkan.
    
     “Sudah sampai!” sorak Junawan yang selepasnya mengundang kebrutalan Hilal untuk membuka pintu mobil.
    
     Junawan menelan salivanya. Tangannya menurunkan jendela, kepalanya menyundul keluar untuk mengintip pintu mobil belakang. Sedikit, hanya sedikit penyok dengan engsel yang sepertinya bermasalah. “Duh, Ahmed mobil Ayah harus berapa kali ke bengkel?” eluhnya dengan suara tangis buatan.
    
     “Ayah 'kan kaya. Tinggal pergi ke bengkel buat ke dua puluh tiga kalinya, gak masalah kali!” Hilal berucap seraya pergi ke sisi kiri mobil untuk membukakan pintu bagi karibnya.
    
     “Mari Kawanku, lekas masuk!” ajak Hilal.
    
     Jenova mengangguk. “Jeno duluan ya, Om Juna.” Anak remaja laki–laki itu akhirnya mengikuti arah tarikan Hilal.
    
     “Ya, eh ... Ahmed jangan siksa anak orang!”
    
     “Iya, Ayah! Bhay!”
    
     Mereka tidak butuh waktu lama untuk keluar dari area parkir menuju koridor utama sekolah. Sekarang, Junawan benar–benar ditinggal. Ia mulai membawa mobil pergi dari sana dengan banyak 'menyebut' karena kelakuan tangan anaknya.

•••

     Di area utama koridor, Hilal masih keukeh menuntun Jenova. Mengabaikan beberapa pandangan bingung dari para pasang mata di sekitarnya. Sampai ketika keduanya ada di koridor yang lumayan sepi dengan satu kelas di ujungnya.
    
     Hilal terus menarik Jenova untuk menuju ke ujung, lalu menghentikan kaki mendadak di depan pintunya.
    
     Jenova yang pada dasarnya masih tenggelam dalam pikiran pun segera tersadar, karena ia tak sesiap Hilal untuk mengerem. Jenova menabrak punggung Hilal hingga keduanya tersungkur hebat.
    
     “Buset dah! Adoh, Jen!” dumel Hilal. Ia meringis lalu menjentulkan kepala Jenova. “Buduh sia mah! Ulah malamun makana!”
    
     Jenova mengangguk. Ia sama sakitnya, terlebih kepalanya juga diberi dorongan sayang dari kepalan tangan sang sahabat. “Kalau mau berhenti juga bilang dulu, Lal. Sakit tahu, mana disalahkan sepihak. Gue juga punya perasaan!”
    
     Hilal membolakan mata. Ia menyusun air wajah julid setelahnya. “Lebay lu, drama!”
    
     “Lah, apaan banget jadi le—”
    
     “Jenova Adryan, ya?” Kalimat Jenova terpotong oleh satu pertanyaan dari sosok yang tiba–tiba berdiri di depannya.
    
     Keduanya saling melempar pandangan. “Ditanya, tuh Jen,” lirih Hilal.
    
     “Gue tahu, Dungu!” bisik Jenova.
    
     “Santai, Bego! Udah jawab 'iya' sana!” suruh Hilal pelan.
    
     Jenova menatap pria tinggi yang berdiri di hadapan mereka. “Iya, Pak. Saya sendiri.”
    
     “Selamat datang. Udah mulai baik buat belajar?”
    
     “Sudah, Pak.”
    
     “Kamu boleh masuk kelas dulu ya ... dan buat kamu Hilal—” Pria itu menggantung kalimat. Tangannya naik membenahi sekat kaca mata di hidungnya. “Pergi ke kelasmu. Lima menit lagi pelajaran dimulai.”
    
     Keduanya bangkit bersamaan. Jenova langsung berjalan, membuka pintu kelas dan masuk ke dalam. Sedangkan Hilal, anak itu tengah sibuk menunduk dan meminta maaf sebelum akhirnya lari menjauh menuju koridor utama.

Aska: Bertaut JiwaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang