19. Eric

494 62 41
                                    

     “Butuh sesuatu?”

     Eric yang tadinya memenuhi intensi pada temaramnya langit fajar, perlahan menoleh. Mendapati sosok laki–laki tengah menatapnya dengan baju tidur berwarna kuning gelap.

     “Enggak.” Eric kembali menghadap ke depan.

     “Senja,” panggilnya.

     Bisa diketahui jika sosok yang ada di belakang Eric adalah Senja. Sosok yang punya tinggi hampir sama dengannya jika saja Eric bisa berdiri sekarang.

     Senja berjalan mendekat pada Eric, lalu berhenti di sebelahnya. “Kenapa? Habis cutting lagi, ya?”

     Eric tertawa pelan. “Apal banget kayaknya.”

     Tangan Senja menarik sedikit baju bagian pergelangan Eric lalu mengusap beberapa luka baru di sana. “Karena lu udah pakai lengan panjang.”

     Eric adalah salah satu orang yang punya anxiety. Dari pertama kali ia diberitahu oleh sang Ayah jika dirinya tidak akan pernah bertemu saudara kembarnya serta ibunya, sampai kenyataan bahwa efek samping dari cuci darah yang dilakukannya sejak lama telah merenggut sepasang kakinya atau bahkan akan merenggut pula kedua tangan yang sekarang menjadi tali waspada.

     “Ada apa? Cerita sama gue.”

     Mendapat pertanyaan penuh simpatik seperti itu, sungguh membuat Eric dalam sekejap mengeluarkan air mata. Sesaknya masih tidak terbendung, banyak khawatir yang hinggap semakin memberatkan dirinya.

     “Nangis aja, gak apa–apa.” Senja sedikit membungkukkan dirinya. Memeluk Eric dengan pelan.

     Sosok yang dipeluk pun menangis lebih keras. Ia merasa semakin asing dengan tubuhnya sendiri. Bagaimana dengan setahun ke depan? Apa dia akan bertahan di dunia? Ia merasa sendiri, bahkan ketika semua orang menatap iba padanya.

     Ia harus apa jika esok hari terbangun dengan seluruh tubuh yang tidak bisa digerakkan?

     Dirinya baru senang karena dua Minggu ini akhirnya diperbolehkan sekolah secara nyata. Tapi haruskah secepat ini juga dirinya berhenti?

     Ia belum siap. Tidak sama sekali untuk kata siap.

     “Keluarkan semuanya. Jangan buat badan lu semakin sakit.”

     “Baru kali ini setelah setahun gue liat lu gak cutting di tangan. Biasanya lu buat barcode di kaki. Kenapa pindah lagi?” tanya Senja.

     “Kaki gue mati rasa. Gak ada sensasi apapun.” Eric melonggarkan pelukan mereka. Ia menggulung kedua lengan bajunya hingga ke atas.

     Ia memperlihatkan itu pada Senja. “Lu masih mau temenan sama gue yang kayak gini?”

     Senja menatap lengan kanan dan kiri Eric secara bergantian. Dari atas yang terdapat bekas infus baru dan bekas prosedur cuci darah dua hari lalu, semakin turun dengan luka sayatan kecil yang berbaris rapi.

     Baru saat ini Senja ikut menangis. “Ric ....”

     Eric membuang wajahnya ke kanan. Ia menghapus air mata dengan cepat. “Besok lusa bakal ada yang baru, mungkin di telapak tangan.”

     “Gue capek, Ja,” lanjutnya.

     Senja mengangguk. Ia menangkup wajah dan terduduk lemas di lantai balkon. ‘Gue juga gak pernah tahan liat lu kayak gini.’

     Kok lu ikut nangis, sih?”

     “Kasian sama badan lu.”

Aska: Bertaut JiwaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang