35. Hug Me, Please!

745 63 0
                                    

.

     Sejak kejadian tengah malam itu, Eric memilih diam dan hanya menjawab ketika Baska melakukan observasi padanya.

     Bahkan untuk sakit, Eric lebih memilih menggigit bantal atau tangan kanannya yang sudah mati rasa yang bisa kapan saja tulang itu retak.

     Lalu sekarang, di pagi hari seperti ini, untuk lima belas menit lamanya ia menahan sesuatu yang terasa amat nyeri di punggungnya. Terkadang ia mual atau mungkin sakit punggungnya yang akan berpindah ke depan.

     “Ric?”

     Eric berhenti menggigit ujung bantal yang ada di dekapannya karena mendengar suara Juan yang menyapa telinga. Tanpa berbalik, Eric berusaha menormalkan suaranya. “A-ada apa?”

     “Harusnya gue yang tanya begitu. Kenapa?”

     Eric menukik alis. Ia membalikkan badan dengan susah. Menatap Juan tak paham, sementara yang bertanya melirik bantal basah di sebelah Eric. “Lu kenapa?”

     “G-gue gak apa–apa.”

     Namun, bukan Juan namanya jika tidak memiliki tatapan mengintimidasi. Ia berhasil membuat Eric memalingkan wajahnya karena takut. Juan menghela napas. “Lu kenapa?”

     Eric yang membelakangi tatapan Juan seketika mengeratkan rahang. “Udah gue bilang, gue gak apa–apa. Anjir! Jang—” Ucapan Eric berhenti ketika laki–laki berusia tujuh belas tahun itu merasakan nyeri yang teramat dari perutnya.

     Eric kembali berusaha menahan untuk tidak teriak atau menangis. Sosok itu hanya membuka mulut sesekali, membulatkan bibir lalu akan menggigit beberapa detik.

     Aktivitas itu tentu tidak lepas dari pandangan Juan yang memilih diam dan menonton sampai kapan sikap denial 'Tuan muda'nya itu bertahan.

     Eric masih dengan posisi kepala dan pandangan yang berpaling dari Juan. Terus menahan sampai bahu dan tangan kirinya ikut bergetar. Di pandangan Juan pun bisa dilihat jelas jika urat–urat halus di ceruk leher Eric mulai menimbul dan menegang.

     “Sshh, argh!” Eric yang sudah tidak kuat memilih berteriak dengan air mata yang keluar akibat matanya yang terus dipejam untuk menahan sakit.

     “Kan! Sok kuat lu! Mana yang sakit?” Juan mendekat. Hampir menggapai Eric sebelum tangan pucat yang terinfus itu menepisnya.

     Juan menghela napas. “Eric, lu percaya 'kan sama gue? Mana yang sakit?”

     Eric memilih diam. Tangan kirinya yang menganggur setelah menepis Juan, kini berjalan untuk meremas perut. Setelah melihat aksi Eric, tangan Juan segera pergi untuk menghindari tangan kiri Eric dari area perut.

     “Jangan diteken! Kalau emang sakit banget gue panggil Dokter, ya?”

     “Sakit! Sakit! Hiks, sakit!” seruan itu terdengar penuh luka. Pilu.

     Napas milik Juan tercekat begitu mendapati keluhan terbuka dari Eric dengan suara serak tak tertahan.

     Juan menarik tubuh Eric untuk sedikit bangun, ia menunduk lalu merengkuh tubuh lemah itu dalam–dalam.

     “Lu bukan sok kuat. Lu emang kuat,” ungkap Juan seraya membawa tangannya ke satu tombol di belakang ranjang Eric.

     Seraya menunggu Dokter ke ruangan, Juan mengusap punggung terbungkus pakaian khas rumah sakit itu. Menenangkan sebisa mungkin dengan gumaman rendah.

     “Sakit, An ... gue mau mati aja, capek!”

     “No, jangan bilang gitu. Gue di sini, gue di sini.”

     Juan masih meneruskan kegiatannya sampai dihentikan, tatkala merasa jika sensasi basah di bahunya bertambah begitu banyak. Seperti ada sesuatu mengalir sampai bawah ketiaknya.

     “Ric?!”

     Pelukan itu terlepas dan Juan begitu terkejut dengan darah yang mengalir dari dua lubang hidung kawannya.

     Bersama gerak yang tergesa, Juan membaringkan Eric yang sudah tak sadarkan diri lalu mengusap bahu kanannya sendiri. Membawa tangannya yang ikut basah dan melihat jelas rona merah cair dari ruas jarinya–jarinya yang menyentuh bahu sebelumnya.

     Sialnya, ia mendapatkan Eric di tempat yang sama masih mengalirkan darah dari hidungnya.

     “Brengsek!” Mendadak Juan kalut. Ia menatap sekeliling lalu dengan marah membanting pintu terbuka. Membawa kaki untuk mencari penindak medis yang belum jua datang sedari tadi.

•••

     “Jen, gue pulang dulu, ya?” tulis Zennan pada buku notanya.

     Jenova yang melamun tentu tidak menyadari. Zennan pun dengan sabar mengayunkan tangannya di depan wajah Jenova. Ia tidak mungkin teriak, bisa–bisa akan ada hari tambahan untuknya menginap kembali di rumah sakit.

     Nahas, karena Jenova belum juga menyadarinya. Zennan pun mencubit bagian paling Jenova benci untuk di pegang. Pipi.

     “Arkh! Sa—” Protes hampir melayang dari dua belah bibir Jenova jika saja Zennan tidak cepat–cepat memajukan buku nota-nya.

     Jenova terdiam ketika membaca deretan tulisan itu. Ia menunduk lalu berdeham lirih. “Pulang 'lah. Maaf untuk sebelum–sebelumnya.”

     Zennan hanya tersenyum. Ia tidak bisa mengangguk atau menggeleng karena lehernya sudah diperban. Itu sangat mengerikan! Rasanya nyeri bahkan untuk sekedar menarik napas panjang.

     Setelahnya, Zennan menarik buku notanya. Kembali nulis di beberapa baris setelah kalimat sebelumnya.

     “Setelah ini mau panggil siapa? Buat nemenin lu.”

     Kembali dibawa kertas itu ke depan wajah Jenova yang masih menunduk.

     “Gak usah. Gue cukup baik buat sendiri.”

     Bohong! Itu adalah ungkapan tersirat jika Jenova tidak akan baik bila sendiri. Zennan yakin itu.

     Akhirnya laki–laki muda itu memilih untuk menunggu Jenova lebih lama.

     Mereka terdiam untuk menghabiskan setidaknya satu menit tanpa suara selain tetesan infus. Ya, tentu saja. Zennan dengan keadaannya akan lebih memilih menggunakan buku nota daripada harus mengeluarkan suara. Begitupun Jenova yang terlihat tidak baik–baik saja untuk sekadar bercanda gurau.

     “Na.”

     Zennan sontak menatap Jenova dengan dalamnya. Nada dari sana sedikit berbeda.

     “Lu bilang, kalau Aska balik ... lu mau peluk dia terus bilang kangen 'kan?”

     Zennan dengan cepat menggulir halaman nota-nya. Menulis dengan kapital dan ukuran huruf memenuhi buku. “IYA.” Zennan tersenyum begitu antusias.

     Jenova mengangguk, ia segera menghadapkan tubuhnya ke arah Zennan. Merentangkan tangannya pelan seraya bergumam, “Aska di sini, Na.”

     Nota di tangan Zennan nampak bergetar mengikuti tangan sang pemilik yang memberikan getaran.

     Meski tak berbicara, Jenova paham bagaimana mata di depannya telah terpenuhi tanda tanya.

     “Kemarin sore, gue inget semuanya. Dari yang bener–bener keliatan senang sampai yang buruk. Semuanya. Itu artinya, Aska udah balik 'kan?”

     Zennan mendekat beberapa senti, merangkul sahabat masa kecilnya itu. Mengeratkan pelukannya saat semakin merasa bahwa ini adalah anugerah.

     Pelukan mereka terlepas ketika Jenova menarik tubuhnya. “Gue tahu di mana Azka. Senja ... dia juga ada di sini.”

.
T. B. C.

UHUY, ini aja dulu yaw. Ahahah semoga suka! Sampai ketemu di bab selanjutnya!

Aska: Bertaut JiwaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang