27. Hilal's Angle

370 50 0
                                    

     Hari itu usai dengan Jenova yang juga harus dirawat.

     Lalu pagi ini, hari Minggu dengan deretan kenikmatan sesaat. Hilal tengah memainkan gawainya di sisi koridor, di depan kamar Jenova.

     Oh ya, dari malam kemarin, Hilal sudah banyak berbincang dengan Senja. Mereka saling berkenalan sedikit lebih dalam sampai ke sesi cerita tentang untuk siapa mereka berdiri di Rumah Sakit.

     Sedikit yang menggelitik di sini adalah keduanya yang merupakan teman dari sosok Zennan. Bedanya, Senja adalah teman saat mereka Sekolah Dasar sedangkan Hilal adalah teman sejak Sekolah Menengah Pertama.

     Tapi sayang karena pada kesempatan ini, Senja menolak untuk mengunjungi Zennan di masa pemulihan laki–laki itu.

     “Hilal.”

     Hilal mematikan gawainya. Mendongak, menemukan Senja yang menatapnya bersama dengan wajah masam. “Kenapa?”

     “Eric drop. Udah dari malam, tapi pagi ini dokter bilang kondisi dia turun banget.”

     Hilal menurunkan bahunya. Ia maklum, hal seperti ini pasti berat juga untuk sosok Senja yang sudah menemani sakitnya Eric sejak awal. Jujur saja, posisi mereka hampir serupa.

     Hilal menoleh, menatap ke dalam dari jendela kaca. “Jeno juga. Dia belum buka mata. Padahal gue capek nunggu dia gini.”

     “Mereka sama–sama pinter, ya? Sampai buat kita gini,” lanjutnya berujar.

     “Iya, pinter buat khawatir orang.” Senja duduk di kursi sebelah Hilal.

     Hilal mengangguk. Ia menunduk sebelum kembali menatap Senja. “Lu tahu gak? Mereka 'kan deket akhir–akhir ini.”

     “Siapa?”

     “Jeno sama Eric.”

     Senja menggeleng. “Ini baru tahu dari lu.”

     “Pertama kali gue ketemu Eric, gue sampe loading dulu. Karena muka mereka tuh mirip. Cuma Eric lebih tirus, ya?”

     “Gue gak tahu, gue gak kenal sama temen lu itu,” aku' Eric.

     “Iya juga. Lu mau kenalan?”

     Senja bangun dari duduknya. Ia tersenyum seraya menggeleng. “Lain kali 'lah. Kayaknya ini aja gue mau bilang. Gue harus balik buat temenin Eric. Meski dia gak sadar dan gak ngambek, pasti sebenarnya dia minta ditemenin.”

     “Idih, bahasa lu!”

     “Udah ah, duluan Bro. Semoga Jenova cepat sadar. Titip salam ke Nana juga. Eh, sensor ya nama gue?” Senja memelankan bisikan di akhir kalimat.

     Hilal terkekeh geli. “Gengsi bett lu. Iya, iya gue sampaiin semua. Makasih doanya.”

     “Oke, hatur nuhun, Kang!”

     Ibu jari Hilal layangkan ke arah Senja. Mungkin mulai sekarang, ia akan melakukan hal sama yang dilakukan Senja. Berdiri menemani Jenova meski tidak dipinta oleh sang empu.

•••

      Untuk dua belas menit selanjutnya, Hilal sudah berada di lantai atas tempat sahabat lainnya juga dirawat.

     “Ma, perasaan Tante Arin lama banget di ruang Ayah.”

     Sang Ibu menghela napas panjang. “Kak Arin gak beda jauh sama Adryan, Lal. Dia juga butuh hal yang sama kayak Adryan sebenarnya. Kamu yang kayak gini mah mana paham. Masalah rumah tangga juga gak sebatas kepisah terus selesai.”

Aska: Bertaut JiwaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang