“Tante?” tegur Orion pelan pada sosok wanita dewasa di sebelahnya. Sejak keluar dari ruang Jenova, wanita itu tidak pernah berhenti menguraikan air mata.
Tangisnya begitu pilu untuk sampai di telinga Orion. Badan semampai itu juga terlihat cukup kurus dan raut wajahnya dipenuhi rasa lelah. Orion tahu itu.
“Minum,” tawar Leon pada sang adik. Orion mengadahkan wajah dan menemui tatapan teduh sang Kakak. Ia menghela napas, tatapan itu cukup mendefinisikan seberapa seriusnya Leon.
“Makasih.” Orion meraih botol minum kemasan itu lalu memberikannya kembali pada Airin—wanita di sebelahnya sekaligus ibu dari Jenova.
“Minum dulu, Tan. Jeno udah ditanganin sama Kakak saya, kok.” Orion tersenyum pelan.
Airin pun meneguk air dari botol kemasan itu dengan cepat tapi tak sampai tandas. “Makasih, Nak.”
Orion mengangguk. Kini Airin menatap Leon yang ada di sisi Orion. Matanya terfokus pada lengan jas yang sudah penuh dengan darah Jenova. “Makasih juga ya, Nak. Maaf Jenova banyak ngerepotin.”
Leon terkekeh. “Tidak Bu, tidak jadi masalah. Bukankah Adik Jeno pasien tetap Sir Junawan dan Dokter Januarta?”
Airin mengangguk. “Juna datang di shift siang setiap hari karena harus berbagi shift dengan Rumah Sakit Pusat.”
“Benar, tapi Ibu tak perlu khawatir. Saya di sini mengganti sebagian shift Sir Junawan. Lalu, untuk sementara Adik Jeno akan saya pantau kebetulan shift saya sebagai dokter spesialis selesai tadi, jadi saya tidak memiliki jadwal padat beberapa jam kedepan.”
•••
Di hari berikutnya karena kondisi yang membaik, Eric akhirnya dipindahkan ke ruang rawat baru yang pasti juga steril. Namun, ada satu hal yang Eric tidak suka dan sekarang dengan beraninya datang membawa senyum tanpa rasa bersalah. Ayahnya semakin menakutkan. Ia muak dengan muka penuh guratan bahagia itu.
“Apakah pekerjaan telah mencampakkanmu sehingga kau datang ke mari, Tuan Banyusaka?” sarkas Eric.
“Ayah datang setelah Dokter menyatakanmu sadar. Oh ya Tuhan! Ayah merasa begitu senang. Akhirnya ....” Eric ingin rasanya menghentikan usapan halus di tangan kirinya. Meski tidak terasa karena tangannya telah mati rasa, Eric begitu tidak suka skinship yang Ayahnya lakukan.
“Berhenti mengelus tanganku.” Eric berucap datar dengan mata sayu dan suara paraunya.
Sandi tertawa. Ia tersenyum, tangannya terangkat lalu menggeleng singkat. “Semakin hari kau semakin terlihat berbeda. Kenapa?”
‘Tanyakan itu pada dirimu, Kaparat!’ umpat Eric dalam hati. Ia membuang muka membelakangi sang Ayah. Membiarkan kedua matanya mengalirkan air mata kembali.
“Jika sudah puas melihatku yang semakin malang ini, tolong pergi.”
Mendadak, raut muka Sandi nampak khawatir. “Kenapa, Nak? Kau tidak rin—”
“Kubilang, tolong pergi, Tuan!”
Pria dewasa itu menyerah. Ia memundurkan langkah dan memilih pergi. Ruang menjadi sepi, kini Eric kembali sendiri.
Rasanya melelahkan. Begitu melelahkan ketika bahkan tidak dapat mengendalikan dirinya sendiri. Kolaps kapan saja, kehilangan kesadaran kapan saja. Kapan ia bisa menikmati kebebasan dengan seharian bersama udara luar? Semenjak Rumah Sakit menjadi rumahnya, ia bahkan tak pernah tahu hari ini pagi atau siang, sore atau malam. Semua terlalu monoton.
KAMU SEDANG MEMBACA
Aska: Bertaut Jiwa
Novela JuvenilKisahku; Kisah kita. Aku yang berupaya lewat para selaksa untuk kembali menjadi kita. Sebuah satu kesatuan yang menolak kembali adanya perpisahan. ••• "Aska ... kalau nanti aku gak bisa pegang tangan kamu lagi, gimana?" "Berh...