18. Starting to Like That Girl

359 51 62
                                    

     Sehabis salat subuh biasanya Jenova kembali tidur. Tapi karena adanya Zennan sekarang, membuatnya mau tak mau menjadi lelaki pagi yang berotot. Mulai dari keliling kompleks sampai ke taman kota, dan mereka sudah melakukannya selama lebih dari dua jam.

     Terkadang Jenova merajuk dan duduk di sisi bahu jalan yang masih sepi saat Zennan dengan semangat membaranya kembali berkata—
 
     “Sekali lagi!” seru Zennan dengan tangan terangkat penuh energi.

     —ya, persis seperti itu.

     Jujur, ini menyebalkan! Harusnya Jenova tengah terlelap bersama guling kesayangannya di atas pulau kapuk yang empuk. Lagian, lama tidak melakukan yang seperti ini sungguh membuatnya cepat lelah.

     “Udah bengek aja lu. Semangat apa! Jadi cowok harus strong!” seru Zennan ketika menangkap Jenova yang berjongkok dengan kondisi ngosngosan.

     Jenova geleng–geleng. Ia mengangkat anduk kecil dari leher lalu mengibasnya. “C-capek, Na ... hah ... udah ... hah.”

     Zennan mendekat lalu menarik anduk dari tangan kanan Jenova yang sebelumnya terangkat. “Ayok sebentar lagi. Di depan sana ada gazebo, lu bisa istirahat di sana.”

     “Bener ya? Jangan nipu lu. Dari sejam lalu lu bilang 'sekali lagi' tapi gak selesai–selesai.” Jenova menatap sinis kepada Zennan.

     Sosok yang ditatap pun tertawa. “Menurut gue ini kurang jauh, harusnya masih ada lima ratus meter lagi.”

     “Gila,” gumam Jenova dengan gelengan kagum. Jika masih ada lima ratus meter lagi, lalu yang baru saja dilewati mereka itu berapa meter?

     Jenova melirik betis telanjang punya Zennan. Ia berdesis nyeri saat melihat banyak otot yang menimbul halus di sana. “Itu kaki apa generator? gak kenal capek kayaknya.”

     Akhirnya, keduanya pun kembali berjalan beriringan. Sekarang sudah pukul enam pagi, sudah mulai banyak aktivitas dari pengendara. Jadi, mereka memang harus segera menyelesaikannya karena pukul setengah tujuh, bahu jalan sudah akan dipakai oleh para pesepeda untuk keliling maupun bepergian.

     “Nah, itu! Keliatan 'kan?” Zennan menunjuk sedikit menyerong ke kanan. Tepat ke sebuah gerbang pendek, taman dengan banyak gazebo.

     Jenova ikut menatap jauh ke depan sana, mengikuti ujung telunjuk Zennan. “Iya.”

     “Gas!” Zennan kembali berlari menuju gerbang kecil itu. Meninggalkan Jenova yang hanya mengandalkan jalan pelan dengan jeda jongkok sesekali.

     “Capek, ya Allah. Kapan sih dia pergi? Masa setiap pagi begini.” Jenova mengeluh dengan kondisi yang masih jongkok dan tangan mengukir tulisan kasar menggunakan serpihan kapur di atas aspal.

     Tapi tidak lama, remaja itu kembali bangkit dan meneruskan acara jalannya. Meski Jenova akui dua engsel kakinya serasa mau putus.

     “T-tidak usah. Terima kasih.”

     “Ayolah, Nona cantik.”

     “Hentikan. Jangan memaksaku!”

     Jenova berhenti lalu menoleh ke kiri. Ia mendapati sekelompok pemuda yang tengah mengerubungi seorang perempuan dengan kerudung biru dongker.

     Merasa ada yang tidak beres, Jenova pun melompati pagar pembatas taman yang tidak terlalu tinggi dengan niat menolong cepat. Walau tidak sesuai ekspektasi karena baju jersey miliknya justru menyangkut dan robek. Namun yang lebih memalukan dari itu adalah kenyataan jika di saat ini tubuhmu sudah tersungkur apik memoles gratis tanah tidak rata di taman itu.

     Semua mata menatap padanya. Tanpa terkecuali termasuk gerombolan pemuda yang kini menertawakannya dan gadis itu yang terpaku memandang heran.

     “Orion?” Jenova baru sadar perempuan itu merupakan siswi yang sama di hari pertamanya.

    Jenova membersihkan bajunya. Menepuk semua bagian yang dirasa kotor lalu menarik lengan Orion untuk berpindah di belakangnya. “Berhenti tertawa dan menjauh darinya!”

     “Cih, gak asik. Ayok, kita pergi!” ucap salah seorang dari kelompok itu. Semua remaja pengganggu itu pergi. Tatapan orang–orang ada dirinya juga berkurang. Kini tertinggal Jenova dengan Orion di tepi pembatas.

     “M-maaf tanganmu ....”

     “Eh, astaghfirullah! Maaf.” Jenova melepas lengan Orion lalu berbalik, saling menghadap.

     Orion menggeleng. Ia tersenyum “Tidak apa. Maaf dan terima kasih juga.”
    
     “Bukan masalah. Lain kali, bawalah teman.”

     Orion mengangguk. Perempuan itu lantas angkat kaki dan berbalik pergi. Jenova menatap punggung sempit itu. Lebih dari seminggu lalu, ia melihat Orion yang sama namun dengan penampilan berbeda.

     Senin di pekan yang lalu, Orion yang pertama menemuinya punya rambut hitam yang pekat. Tapi hari ini, perempuan itu kembali ia temui dengan hijab dan sirwal¹ panjang.

     Jenova menggeleng kemudian ia menatap Orion yang sudah sedikit menjauh. “Orion!” Yang dipanggil pun berhenti melangkah dan menoleh.

     Jenova tersenyum. Ia memainkan jari telunjuk, mengelilingi wajah lalu kembali berseru. “Kamu, berhijab?!”

     Orion yang di sana ikut tersenyum dengan mata terpejam. Tidak menjawab dan kembali meneruskan langkahnya.

     Jauh dan semakin mengecil.

     Jenova tersenyum semakin lebar. Ia seperti merasa perutnya sedang digelitiki seratus kupu–kupu, ah seribu mungkin? Intinya banyak. Tapi ia suka.

     Belum lagi desiran halus pagi ini dan hawa hatinya yang seakan kompak mengundang darahnya ikut serta merasa hal yang sama. Berdesir halus dari bawah hingga atas tubuh.

     Tapi semua itu tidak termasuk Zennan yang tiba–tiba merangkul, mencubit pipinya dan menggoda dengan mengatakan, “Lama nih, kirain ngapain. You made an action, Bro? Buat siapa tuh?”

     “A-apaan sih? Enggak ya!” Jenova jadi sadar beberapa saat lalu ia baru saja menjadi pahlawan dadakan dengan topeng pecundang. Jatuh tersungkur, baju kumuh dengan bau keringat dan tanah.

     Oh, jangan lagi.

     “Haha ... by the way, Cantik, ya? Kalau bukan punya lu, bantu gue buat deket, dong.”

     Jenova berdecak dengan kekehan remeh. “Kalau dia mau.”

     Zennan tertawa. “Bercanda! Gue tau kok, lu suka sama dia 'kan?”

     “Maksud lu?”

     “Mata lu. Keliatan banget Jen, gue 'kan peka.”

     Jenova berdecih lalu memukul pelan kepala Zennan. “Sok tahu. Gue gak suka sama dia,” ujarnya.

     “Liat aja, nanti. Ntar juga nelen ludah, Jen.”

     “Udah ah, bawel! Gue capek. Mana gazebonya.” Jenova menarik Zennan cepat yang lantas juga membuat laki–laki itu menggerutu tak terima.

     Apapun namanya. Bagaimana pun nantinya, yang jelas Jenova dapat beberapa sugesti baru di pagi ini.

     Spirit pagi, semangat milik Zennan, rasa mengeluhnya, rasa senangnya pada Orion sampai denialnya untuk pengakuan beberapa detik lalu.

     Baru pagi ini dia kembali melakukan pertentangan. Padahal, ia tahu bahwa dirinya mulai tertarik dengan Orion.

.
T. B. C.
.

Di Bab ini blm ada Eric lagi. Kira–kira dia di mana ya? (◕દ◕)

1.
Sirwal itu celana. Cuman untuk yang khusus perempuan biasanya kayak rok, tapi nyatu bawahnya dan ada dua lubang buat kaki.

Aska: Bertaut JiwaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang