3. Ahwal Azka

1K 104 8
                                    

“Azka tanpa Aska itu mustahil, layaknya Semesta yang kehilangan bintang–bintangnya.”

.

Masih di tahun yang sama, dua bulan kemudian. November—2011

     “Aska ....” Bibir pucat dalam masker oksigen tersebut bergumam serius. Matanya bergulir ke segala sisi yang mampu dijamah dalam kondisi baringnya.
    
     Ruangan baru. Dua netra membola dengan selanjutnya kembali menelisik, mencari seseorang yang seharusnya sekarang masih di sampingnya, memengang tangannya.
    
     “Aska, Aska ... Aska ....” Ia mulai menangis begitu tahu jika tubuhnya hanya terbaring sendiri di ruang itu dan sosok yang dicari tidak ada sama sekali.
    
     Dadanya kempas–kempis, pandangannya mengabur. Tidak ada alasan terbaik untuknya tetap tenang. “Aska! Aska, A-aku mau Aska. Hiks ... a-Aska.”
    
     Gelang nama yang ada di tangan kanannya, menunjukkan pasien sudah ada dalam ruangan itu selama dua hari, dengan rincian nama Azka Yoann B. Tanggal lahirnya dan nomer rekam medis di bawahnya.
    
     Ya, ini Azka yang sama dengan si pengadu handal bahkan untuk hal kecil sekalipun. Azka yang sama dengan di penyuka Hamtaro. Azka yang serupa dengan si pemuja kemanisan Aska.
    
     Azka, semesta dari Aska yang sekarang sedang kehilangan intensitasnya sendiri.
    
     “Azka!” Pria besar menghampiri ranjangnya dengan cepat. Satu tangan besar menekan alarm dengan yang lainnya menangkup serta mengelus wajah sang anak.
    
     Perlahan air mata menemukan izin untuk tumpah. Rasa rindu membuncah disertai syukur yang berkali–kali digumamkan sosok Ayah tersebut.
    
     Azka yang senan terbaring tentu dapat melihat bagaimana tatapan itu menyalurkan banyaknya terai yang tercampur aduk. Belum lagi, kantung mata hitam yang dilaraskan ironisnya oleh kelopak mata yang pucat. Ayahnya berubah.
    
     Azka semakin khawatir. Selama apa ia tidak terbangun? Apa saja yang sudah dilewatkan?
    
     “Ayah, Aska ... mana?” Suara lemah itu keluar. Pria dewasa ber-tag Sandi Banyusaka itu tidak menjawab, tapi justru tangisnya semakin deras.
    
     “Ayah! Aska ... Aska di mana?” Suara itu sedikit lebih keras, matanya pun telah ikut banjir dengan liquid yang sama. Kendati lagi–lagi yang jauh lebih dewasa hanya diam menggigit bibir.
    
     Tenaga medis pun masuk. Sandi memutuskan untuk keluar dengan langkah kaki yang semakin terlihat persis seperti membawa beban, entah sejak kapan.
    
     Dua puluh menit kemudian tindak medis selesai. Baska, dokter pribadi Azka keluar dari ruang rawat dengan langsung menghampiri Sandi, menepuk pundak kokoh di hadapan yang sama lebar dengan miliknya. “Jangan berikan dia kesempatan untuk berpikir keras. Sembunyikan ini sementara waktu, setidaknya sampai dia benar–benar ada di titik stabil. Tidak baik untuknya collaps di posisi sekarang.”
    
     Sandi mengangguk dengan napas tersengal yang seakan menandakan dirinya siap menangis. “Azka tidak akan membenciku 'kan? Tapi, bagaimana dengan besok?”
    
     Tubuhnya terhuyun mundur. Kedua tangan mengerat pada surai hitamnya. “Aku harus apa? Aku harus apa? Katakan, aku harus apa?!”
    
     Baska memejamkan mata saat suara milik karibnya itu berdengung di rongga telinga. “Pelankan suaramu.” Ia menghela napas.
    
     “Hubungi mantan Istrimu,” lanjutnya.
    
     “Dia memblokir semua seluler. GPS-nya mati, nomernya tidak aktif. Bahkan—” Sandi menggantung penjelasannya. Ia memejamkan mata dengan disusul helaan napas berat.
    
     “A-aku sungguh tidak tahu harus bagaimana ....” Sandi mengusak wajah kasar. “Azka bisa saja melakukan hal nekat kalau tahu ini. Menyimpannya terlalu lama mungkin bisa membuatnya membenciku. Lalu, memberitahunya dalam waktu dekat juga bukan pilihan baik, karena mungkin—”
    
     “Lalu harus apa?” Baska yang ikut dibawa ke dalam problematika krusial ini pun akhirnya balik bertanya.
    
     Sandi menaikkan pandangan. Menatap remeh, menunjuk Baska dengan kasar. “Aku menanyakan itu berkali–kali padamu. Apa yang bisa aku jawab jika kau saja menanyakan hal yang sama?!”
    
     “Maafkan aku.”
    
     “Tidak ada guna kau meminta maaf. Dari manapun, semua salahku.” Sandi mengepal tangannya hingga semua kuku jarinya memutih.
    
     “Sudah sepantasnya aku menanggung semua ini.” Sandi semakin mengencangkan kepalannya lalu melayangkan tinju ke pipi kanannya sendiri. “Egois, egois ... bodoh!”
    
     Baska hanya menonton semua tingkah Sandi dengan senyum getirnya. Sandi memang salah, kesalahannya bahkan fatal. Tapi Sandi terlalu sendiri untuk diberikan sejumlah opsi sesulit ini.
    

     
•••

     
      “Azka, coba tengok sini! Ayah bawa sesuatu.”
     
      Azka menggeleng. Tubuhnya masih membelakangi pintu sekaligus sang Ayah. Matanya memilih untuk memaku pengelihatan ke arah gedung–gedung kota New York yang terlihat begitu otentik di malam hari.
     
      ”Azka?”
     
      “Mau Aska. Azka gak mau yang lain.” Ucapan singkat itu hampir kembali meruntuhkan benteng Sandi. Namun segera saja pria dewasa itu kembali menahan dan mendekat agar dapat memeluk putra bungsunya.
     
      “Aska-nya Azka ada, tapi gak di sini. Azka sembuh dulu, ya? Kalau sembuh kita balik ke Indonesia. Mau 'kan?”
     
      Azka menggeleng ribut. Anak itu melepas rangkulan dengan tangis yang menetap. “Aska bohong! D-dia bilang gak akan jauh dari aku. Aska bilang mau pegangin aku terus. Dia minta aku sembuh Ayah ... hiks, tapi Aska malah pergi gak temenin aku.”
     
      “Aska gak bisa. S-soalnya kalau ke sini tiketnya terbatas.” Bersyukur karena dalam beberapa detik Sandi dapat menemukan dalih yang sedikit masuk akal.
     
      “S-sungguh? A-aska berarti gak bohong ya Ayah?”
     
      Sandi menggeleng. “Aska nunggu kamu sembuh. Sembuh ya, Azka-nya Ayah.”
     
      Azka mengangguk. Ia menghapus jejak air mata. “Aska pasti gak mau nunggu lama–lama 'kan?”
     
      “Iya. Oh, sama ini. Hamtaro!” Azka berbinar ketika tangan besar itu membawa sebuah boneka karakter hamster kesukaannya.
     
      “Wahhh, makasih Ayah!”
     
      Azka tersenyum lebar. “Kalau Aska di sini, dia pasti ngomel. Hamtaro terus, padahal kucing lebih lucu'. Kalau engga, Hamtaro kamu kebanyakan, kamar kita tambah sempit’. Gitu 'kan, Yah?”
     
      “Yah?”
     
      “Ayah!”
     
      Sandi terjingit. “A-ah, iya.”
     
      Azka mengangguk, tersenyum simpul. “Aska emang manis banget, terus imut juga! Aku jadi pengen cepet sembuh terus keluar dari sini buat cubit pipinya!”
     
      “Aska pasti juga seneng deh, aku sembuh. Kata Aska aja, aku harus sembuh biar bisa manjat pohon lagi! Jadi kalau aku keluar dari sini, kita pasti ke taman lagi 'kan, Yah?!”
     
      Azka terus mengoceh tanpa henti dengan Sandi di sisinya sebagai penyimak handal. Keduanya berbagi kisah dengan porsi tak seimbang. Mewarnai malamnya Amerika dengan tawa ringan. Tapi terlepas dari kenyataan jika keduanya saling berpatisipasi atas datangnya atmosfer menenangkan di ruang itu, Sandi lebih tenggelam dalam pikiran dan ketakutannya sendiri.
     
      Bagaimana seandainya nanti Azka tahu jika Aska, Ibu dan taman, bukanlah hal yang sama untuk tahun–tahun kedepannya?

.

T. B. C.

Mungkin gak sebanyak kmrn. Semoga suka!

Aska: Bertaut JiwaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang