.
Enam tahun setelahnya—2017.
Tubuh itu bergerak gelisah ketika cahaya matahari memasuki ventilasi udara di atas jendela kamarnya.
“Jenova, turun Sayang! Ini hari pertama kamu sekolah 'kan?!”
Sosok yang dipanggil Jenova itu mengusak telinganya risih. Mata sipitnya mulai mengerjap pelan. Butuh setidaknya dua menit untuk sadar sepenuhnya. Mata itu melirik pada alarm di atas nakas. Sedikit mengerutkan dahi karena seharusnya alarm itu berbunyi.
Jenova langsung mengganti posisi berbaringnya. Ia duduk menghadap cermin di sebelah kasurnya seraya menggapai benda bulat yang harfiahnya berbunyi setiap pagi.
“Harus ganti baterai,” gumamnya setelah menemukan dua jarum dalam jam tidak bergerak sama sekali.
Kembali ditaruh benda itu ke atas nakas dan ia segera beranjak menuju kamar mandi dengan satu handuk.
Beberapa saat kemudian, Jenova selesai dengan ritual paginya. Kini, remaja laki–laki itu tengah berdiri di depan cermin dengan hanya busana sebatas kaus dalam.
“Hari pertama ....” Ia bergumam dengan mata yang tak lepas menangkap pantulan tubuh pada benda jernih di hadapannya.
“Jen, sudah Ibu bilang tu—” Suara itu menggantung.
Jenova menoleh, mendapati Ibunya tengah berandang dengan tatapan kosong. Ia menghela napas dengan satu tangan yang menenteng setelan seragam, sebuah hoodie dan tasnya.
“Aku ke bawah,” ucapnya dengan cepat.
Saat Jenova berjalan menuju lantai dasar, sosok Ibu itu baru tersadar. Air matanya meluncur bebas. Maniknya terpejam sebelum akhirnya memindahkan etensi ke ranjang berantakan milik putranya.
Wanita itu terkekeh dengan tangan yang membasuh jejak air mata. Setidaknya kamar yang berantakan seperti ini menjadi pertanda baik bahwa anaknya masih membutuhkan dirinya sampai sekarang.
“Andai saat itu uang Ibu banyak, pasti Ibu bisa ambil hak asuh kamu juga. Kita bisa bertiga 'kan?” Wanita itu membereskan ranjang seraya berandai dan kembali terkekeh dengan nada yang bergetar.
•••
“Aku akan berangkat.” Jenova menarik tangan ibunya untuk dicium.
Sang ibu pun mengangguk. Ia mengelus rambut lebat di depannya. “Maaf ya, tidak bisa mengantarmu sampai gerbang sekolah kayak pas SMP dulu.”
Jenova melepas tangan ibunya lalu mengangguk. “Ibu sudah di rumah sampai waktu sebelum aku berangkat, itu sudah menjadi suatu hal yang langka. Terima kasih,” ujarnya datar.
“Jen ... kamu janji gak bahas ini 'kan?”
“Apa maksud Ibu? Aku tidak membahasnya! A-aku hanya mengatakannya.” Jenova melangkah sedikit mundur setelah sadar ia membentak wanita yang melahirkannya itu. “M-maaf ....”
“Sulit, ya? Apa jadwal konsulmu sudah diperbarui?” Ibunya menatap dalam ke bola mata Jenova. Mencari celah dengan sorot kekhawatiran.
Jeno langsung memejamkan matanya guna menghentikan kontak mata itu. “Sudah.”
“Baiklah, jadi anak baik, oke? Maaf karena belum jadi Ibu terbaik untukmu. Oh, lihat, Bus-nya sudah datang.” Tangan lentik itu menunjuk satu Bus yang baru berhenti di depan rumahnya. Jenova menoleh, membawa segera kakinya untuk melangkah semakin jauh dari halaman rumah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Aska: Bertaut Jiwa
Fiksi RemajaKisahku; Kisah kita. Aku yang berupaya lewat para selaksa untuk kembali menjadi kita. Sebuah satu kesatuan yang menolak kembali adanya perpisahan. ••• "Aska ... kalau nanti aku gak bisa pegang tangan kamu lagi, gimana?" "Berh...