Junawan terdiam ketika melihat Jenova yang di hadapan tengah lahap memakan jelly ke sepuluhnya. Ia melirik toples yang mulai berkurang sedikit demi sedikit. Bukan seperti ini gim yang ia maksud.
Junawan mengusak wajahnya. “Ekhem, hem! Jen,” panggilnya.
Jenova tidak menggubris. Remaja itu masih sibuk mengecap sisa dari jelly di tangannya. “Emh, mwanis!” ungkapnya dengan mulut penuh.
“Jen.”
“Hum, iya?”
“Makannya udah dulu, ya? Sekarang coba cerita buat satu jelly yang udah kamu makan.”
Jenova membuang bungkus Jelly ke tempat sampah lalu menatap Junawan seraya tersenyum. “Apa ya, aku lupa, Om. Hehe ....”
Junawan langsung memasang wajah piasnya. “Jeno gak seru, nih!”“Abisnya itu aja, Om. Gak ada lagi,” ujar Jenova.
Sebenarnya untuk sembilan jelly sebelumnya, Jenova sudah menceritakan semua yang ia alami hari ini dan kemarin lusa. Dari pertemuannya dengan Eric, sekolahnya yang membosankan karena Eric absen sampai curahan hatinya dan praduga Hilal bahwa Eric adalah Azka.
“Ih, mau! Kok kalian gak bilang–bilang?!”
Untuk kedua kalinya, Junawan mengusak wajah. Sekarang toples itu sudah pindah ke tangan anak kesayangannya. Tinggal menunggu prediksinya berjalan.
“Bagi dua isinya dong, Lal.”
Nah, itu adalah prediksi paling jauh dari berjalannya otak Junawan. Emang seharusnya Hilal gak perlu ikut. Gini 'kan? Gimana mau fokus menerima cerita dari pasien?
“Lu udah sepuluh, Jen. Ini isinya tinggal, eh, satu, dua, tiga. Tiga puluh! Gue dua puluh pokoknya. Nih!”
“Ini semua punya gue sebenernya, Lal. Jangan serakah!”
“Dih, apa banget. Gak, harus adil!”
“Gak, ini semua punya gue!”
“Hah,” Junawan menghela napas. Ia menutup jurnal miliknya lalu dengan cepat menyela pertengkaran dua remaja di depannya. “Berhenti atau dibakar semua jelly sama permennya?”
Jenova adalah yang pertama melepas toples itu. Hilal terkekeh kecil lalu kembali memasukkan beberapa jelly dan permen yang sebelumnya dikeluarkan untuk dihitung jumlahnya.
Hilal memang perhitungan.
“Ahmed, lukisan kamu udah?” tanya Junawan disertai tangan yang meraih kembali toples itu untuk di simpan ke laci.
“Udah. Jelek tapi.”
“Gak apa–apa. Jeno, kita fokus lagi ya? Sesi bercerita kita selesai. Saya mau kasih tahu sesuatu.”
Hilal ikut menduduki satu kursi dekat meja yang sama, namun sebelum itu Junawan lebih dulu menatap anaknya sinis. “Mau ngapain?”
“Mau, duduk. Hehehe.”
“Suruh siapa?”
“inisiatif, aku 'kan kreatif!”“Kreatif, kreatif, kreatif apaan? Emang, Jeno mau kamu ngedengerin semuanya sepanjang proses konsul habis ini? Kamu bisa keluar. Demi privasi pasien.”
Jenova langsung menoleh ke arah Hilal. Sahabatnya itu tersenyum dengan sorot mata membujuk. Pun akhirnya, dengan keputusan bulat, Jenova menggeleng. “Gak bisa nih, Lal. Tunggu di luar dulu, bentarrr aja. Oke? Nanti pulang aku beliin bakso Bang Teno.”
“Yah, yaudah deh ... tapi bener beliin 'kan?”
“Iya, pake uang lu.”
“Halah, udah apal gue tuh. Dahlah, keluar dulu!”
Hilal meninggalkan ruangan itu disertai kekehan dari Jenova. Sekarang, hanya Jenova dan Junawan yang tersisa dalam ruangan, dengan yang paling tua perlahan beranjak dan mulai menarik satu papan dari samping lemarinya.
“Ini, sudah enam tahun aku menyembunyikan—”
Trak
Beberapa kertas jatuh dan copot dari pin-nya. Junawan terkekeh lalu memungut dan menautkannya lagi. “Maaf, hehe ....”
Jenova terpaku pandang pada apa yang disuguhkan. Sebuah papan besar berkaki dua dengan banyak catatan dan diagram garis. Ia tidak mengerti tapi ketika intensitas matanya sedikit naik, ia baru menemukan satu ruas panjang dengan label besar bertuliskan, ‘Aska's board’.
“Namamu Aska. Itu nama aslimu di surat catatan kelahiran.”
Junawan menunjuk satu kertas yang mulai pudar di bagian paling kiri papan. “Ini, aku meminta foto kopi dari surat yang asli enam tahun lalu. Meski ini sudah buram, kamu bisa melihat di bawahnya. Tinta yang sedikit lebih tebal, tulisannya masih sama 'kan? Aska Joann Banyusaka.”
Tangan Junawan sedikit bergeser ke kanan. Menunjuk satu catatan kecil yang sedikit tertutup dengan kertas setelahnya. “Kamu lahir di bulan Juli tanggal dua puluh tiga, tahun dua ribu.”
Kertas selanjutnya. Junawan mencabut pin-nya lalu memberikan itu kepada Jenova. “Kamu suka makanan manis, masih sama dengan yang sekarang. Jelly, coklat dan manisan. Kamu gak suka makanan asam ataupun pedas. Kamu yang dulu juga suka kucing meski alergi sama bulunya. Lalu, warna kesukaanmu biru tua dan hobimu bersepeda.”
“Ini—” Jenova menyentuh permukaan kertas di tangannya. “—sungguh aku yang dulu?” tanyanya dengan mata berkaca.
“Ya, itu kamu. Mungkin ketika kamu mendapatkan ingatan nantinya, kamu bisa memeluk Aska yang ini,” ucap Junawan bersamaan dengan tangannya yang meminta kembali kertas itu.
“Kamu pernah dirawat di waktu yang sama dan kamar yang bersebelahan dengan Azka, itu terjadi karena kamu tetap keras kepala untuk membawa satu kucing jalanan dan merawatnya di rumah.” Junawan kembali menyematkan kertas itu di tempatnya. “Azka sama kamu kembar. Kamu mungkin udah tahu ini. Cuma buat nama asli, Arin memilih untuk menyembunyikannya. Dia belum pernah memberi tahumu ini 'kan?”
“Belum. Hanya tentang Azka dan Ayah ....”
“Oke, ini aja. Sisa kertas yang lainnya. Isinya rekaman dan data perkembanganmu selama ini.”
Junawan merobek kertas jurnal yang baru ditulisnya di meja konsultasi. Ia juga menarik laci meja untuk mengambil satu pin. Kertas itu disematkan di paling pojok kanan, satu bagian papan yang tersisa.
“Ini catatan terakhir. Mungkin setelah ini gak akan ada catatan lainnya, karena saya percaya setelah ini kamu bisa sembuh.”
Junawan mengangkat tangannya kemudian mendekati Jenova. “High five?”
Jenova mendengus geli. Tangannya menyambut terbuka telapak Junawan. Keduanya ber-tos ria. “Terima kasih sudah mengenalkanku dengan Aska yang terlupakan.”
Junawan menggeleng. “Bukan terlupakan. Aska yang ini—” Ia menunjuk satu foto di tengah papan itu. “—sudah tumbuh menjadi Jeno yang ini.” Tangannya berhenti di depan dada Jenova.“Tetap jadi Jeno ketika Aska sudah mengatakan salam kembali pulang. Oke?”
Tetes demi tetes air mata keluar. Jenova menangis dengan rasa yang bercampur di bilik hatinya. Bahagia, kecewa dan sedikit kefrustrasian. Kapan Aska yang dimaksud kembali?Apa dia harus membulatkan bahagia atau justru membesarkan ketakutan? Ia belum siap
“Keluarkan semuanya sekarang. Tidak apa. Biar saya bereskan papan ini. Setelahnya, kamu bisa bermain dengan beberapa alat di pojok seni atau pojok kreasi sana. Bagaimana?” Junawan menunjuk dua pojok ruangannya bergantian yang rupanya sudah lumayan berantakan karena telah dijelajahi oleh Hilal sebelumnya.
Kemudian, ia beranjak dan mendorong papan itu masuk ke celah samping lemarinya seraya mendumalkan kelakuan anaknya. Karena setelah ini, ia juga harus membenahi pojok ruangan sana.
Dua menit setidaknya waktu yang dibutuhkan Jenova untuk tenang. Remaja tujuh belas tahun itu pelan–pelan berdiri dari posisi duduk sebelumnya untuk berjalan menuju pojok ruangan. Ia hanya melihat–lihat lukisan hasil tangan dari Hilal. Sedikit berantakan dan tidak ada kesan ikhlasnya.
Ulasan warna di kanvas itu sangat kontras. Usapan yang tidak rata dan arah kuas yang nampak memaksa. Amat terlalu bertekstur untuk pola warna berantakan seperti ini.
“Tsk, sangat tidak ahli.”
“Kamu mau mencobanya?” Junawan tiba–tiba bertanya. Ia berjalan maju mendekat ke pojok seni.
Jenova mengangguk. “Sepertinya bukan ide yang buruk.”
Junawan memajukan tangan kirinya. Mengetuk mata jam tangan lalu berkata, “Dua puluh lima menit, bisa? Sebentar lagi pukul setengah enam. Aku bolehkan dirimu melukis apapun.”
“Ya, it's a game, Uncle?” tanya Jenova dengan seringai.
Junawan terkejut karena itu adalah kalimatnya di satu jam yang lalu. Ia tertawa. “Ya, up to you, Boy.”
“Masuk, Ahmed!”
Hilal membuka pintu, kembali masuk ke ruangan. Bedanya, kini ia masuk dengan sebuah tentengan transparan berisi makanan berkuah dan jus mangga yang sedang sibuk disedot oleh mulutnya. “Ah, seger! Apa, Yah?”
“Anak ini,” gumam Junawan dengan gelengan maklum.
Jenova hanya berdecih ringin karena ia juga hapal tabiat teman satunya itu. Apapun yang sedang dialami, ujungnya pasti bakso dan jus mangga. Terlebih kali ini, Hilal menunggu cukup lama di luar.
“Gue jauh lebih gak yakin sama lu, Lal. Kalau masuk gak bawa jajanan. Lama 'kan?”
“Anjay, Jeno apal bett, deh!”
Tapi terlepas dari semuanya, tentang Hilal si perut karet, si maniak bakso atau sang bucin jus mangga. Hilal tetaplah satu figur yang akan sama berharganya. Hilal itu obat, setidaknya itu yang Jenova lihat.
Obat yang memberikan percikan hiburan sederhana, di banyaknya waktu tak terduga selama enam tahun lamanya. Seperti ini.
.
T. B. C.
.Yey Up + ganti judul + ganti sampul! Maaf ternyata emang gak bisa double up. Hwhw, padahal sisa dikit lagi waktunya.
Gpp deh ges, nanti aku coba tanya Guru. Wkwk.
Oh ya, buat ruang konsultasi jiwa, sebenarnya aku gak begitu paham gmn bentuknya. Karena tiap RS beda tuh bentukannya. Termasuk gmn jg konsep dan cara Psikolog yang berbeda menempatkan sisi nyaman buat mereka sendiri serta pasiennya nanti.
Paham 'kan? Intinya mah, psikologi jg punya kepribadian kayak orng biasa. Jadi tata ruangnya bisa dibuat netral, senyamannya mereka atau sengenanya pemikiran mereka tentang kenyamanan pasien nantinya. Dan ya, kalau ada tambahan bilang ya?
Ini berdasarkan dengan apa yang saya liat pake mata soalnya ><
Oke, segini aja. Payyy
KAMU SEDANG MEMBACA
Aska: Bertaut Jiwa
Ficção AdolescenteKisahku; Kisah kita. Aku yang berupaya lewat para selaksa untuk kembali menjadi kita. Sebuah satu kesatuan yang menolak kembali adanya perpisahan. ••• "Aska ... kalau nanti aku gak bisa pegang tangan kamu lagi, gimana?" "Berh...