Ketika cahaya itu mulai dekat dan menyinari si pengguna kursi roda, Jenova baru sadar jika yang duduk di sana adalah orang dengan nama yang telah memenuhi pikirannya beberapa saat lalu. “Eric ....”
Ya, ia yakin itu Eric.
“Eric!”
Ia segera berlari cepat menuju ke depan sana. Berusaha menggapai Eric dengan kuat.
Brak!
•••
Trakk!
Bruk!
Jenova berhasil. Ia berhasil menarik tubuh Eric untuk keluar dari jalur besar. Walau, menyisakan satu alat bantu yang kini sudah tak terbentuk sebab terlindas truk.
Keduanya masih syok dalam posisi tumpang tindih. Jenova berada di atas bersamaan tangan yang membantali kepala Eric di bawahnya.
Masing–masing saling menatap dengan pandangan yang berbeda. Eric dengan sorot kosong sementara Jenova dengan mata legam yang menyirat sedih.
“Apa yang kamu lakukan?”
“Kutanya apa yang kamu lakukan?!” ulang Jenova dengan suara yang lebih kuat.
Bibirnya bergetar hebat. Air matanya juga perlahan turun, menetes di beberapa bagian wajah Eric yang ada tepat di bawahnya.
“Bagaimana jika aku tidak di sini? Kenapa kamu sendiri?”
Eric menahan napas. Ia tercekat dan baru menyadari bagaimana ekspresi penuh dari wajah Jenova.
“Kenapa kamu menolongku? B-bukankah kita baru mengenal?”
“Ada apa denganmu, Jen?” lanjutnya.
“Aku yang harusnya bertanya seperti itu, Eric! Ada apa denganmu?!”
“Ada apa denganmu? Kenapa kamu belakangan ini ...?”
Air mata Jenova semakin deras. Napasnya juga kian menderu. Dadanya kempas–kempis dengan ranum tipis yang terbuka dan tertutup, berupaya menerapkan udara dingin. “Kutanya, jawab!”
Mata Eric membola. Air matanya pun ikut menetes saat itu juga. “Gue ... gue gak mau nyusahin. Gue cacat! Gue lemah. Gue aja gak tahu sampai kapan tangan gue berfungsi, Jeno!”
“Tapi gak gini caranya, Ric! Lu bisa minta bantuan sama Tuhan. Bunuh diri bukan solusi.”
“Gue gak se-alim yang lu kira! Gue udah! Udah, Jen ... tapi belum ada. Masih gini, capek. Gue capek! Ganti baju, mandi, wudhu, semua gue lakuin dengan bantuan orang! Kurang nyusahin apa gue, Jen?! Gue gak betah gini terus.” Tangis Eric pecah setelahnya.
Jenova spontan menjatuhkan tubuhnya pelan. Membawa satu sisa tangannya untuk terselip ke bagian punggung bawah Eric. Memeluknya erat seakan menyiratkan untuk tidak ada lagi perpisahan.
“Kalau kamu nyerah gini, trus gimana aku? Bahkan, gak lihat kamu sehari aja aku udah kepikiran, Ric! Masa bodo kalau kamu anggap aku aneh. Tapi ini aku, aku butuh buat mastiin kamu baik–baik aja setiap harinya.”
“Lalu sekarang, bagaimana aku bisa meyakinkan diriku jika kamu baik dengan seperti ini?” tanyanya dalam bisik mendalam di telinga kanan Eric.
“Lu terlalu banyak berbuat untuk seseorang yang baru lu kenal, Jen.” Eric balas memeluk Jenova.
Keduanya meluapkan emosi masing–masing dengan pelukan di dinginnya hawa dini hari.
KAMU SEDANG MEMBACA
Aska: Bertaut Jiwa
Teen FictionKisahku; Kisah kita. Aku yang berupaya lewat para selaksa untuk kembali menjadi kita. Sebuah satu kesatuan yang menolak kembali adanya perpisahan. ••• "Aska ... kalau nanti aku gak bisa pegang tangan kamu lagi, gimana?" "Berh...