“Aku tidak membencinya sedikit pun. Tapi tidak ada celah yang membuatku keluar dari kecewa sejauh ini. Aku masih ingat pernyataan ironisnya mengenai Azka dan Ayah, meski aku sendiri tidak tahu apa–apa.”
.
Sekarang sudah terlewat seminggu lamanya, semenjak hari pertama Masa Orientasi Siswa yang gagal Jenova jalankan.
Dalam seminggu, Jenova kembali pada kenyataan mengenai masalah terbesar di hidupnya. Ah, bukan yang paling besar kok, mungkin yang kedua? Karena jujur, masalah terbesar pertama yang dimilikinya bukan mengenai mental, tapi tentang ikatan seseorang.
“Mau peluk?” tawar Junawan, Ayah dari Hilal sekaligus psikolog yang menangani Jenova.
Jenova menggeleng, telinga yang hampir memerah keseluruhannya. “Aku sudah besar, j-jadi berhenti—”
“Ya ya, baiklah.”
Jenova mengangguk dan menunduk. Di waktu yang sama, dia juga mengganti posisi untuk terduduk di sisi kanan kasurnya. “M-maafkan aku.”
“Huh, kamu mengatakan sesuatu?”
Tundukkan kepala itu terlihat semakin dalam. Air mata bahkan telah terjatuh deras ke pangkuannyanya sendiri. Beberapa tetes berbekas di celana abu–abu yang paling muda di ruang itu. Jenova menggeleng. “Aku bilang, maafkan aku!”
“Aku selalu merepotkanmu, aku selalu datang saat kondisiku tidak baik. Aku selalu berkata di depanmu seakan–akan aku yang paling menderita! A-aku—” Kalimat itu terpotong dengan tercekatnya tenggorokan Jenova. Isaknya semakin keras.
Junawan yang melihatnya pun menghela napas terharu. Ia segera bangkit untuk memeluk dari samping sosok pasien kesayangan yang telah ia anggap anak itu. “Cukup katakan bahwa kamu ingin sembuh. Aku merasa puas dengan itu. Kamu sudah baik dengan berada di titik ini, Jen. Perjuangan yang begitu panjang di mataku. Tapi kamu harus terus maju, sebulan, setahun, satu dekade. Kamu yakin akan terus berdiri tanpa perubahan?”
Jenova memendamkan wajah ke dada Junawan yang memeluknya. Ia menggeleng lagi dan lagi. “A-aku tak tahu. Aku tak tahu. A-aku tidak tahu akan bertahan atau tidak ....”
“Apa kita perlu mengubah jadwal lagi? Atau metode? Bagaimana dengan beberapa terapi saja? Aku takut untuk merujukmu ke Psikiater lain. Kamu akan mendapat lebih banyak permen pahit nantinya,” ucap Junawan. Tangannya mulai pelan mengusap surai Jenova yang ada di bawahnya.
“Bagaimana ... jika berhenti? B-boleh aku menyerah? Sekarang?”
Junawan menggeleng. “Kalau kamu pergi, bagaimana dengan Bayi Beruang-ku? Dia pasti akan meraung lalu berteriak, ‘Jeno tidak lagi menemaniku memakan bakso!’. Lalu aku harus apa? Dia itu, sudah punya kepala kecil, keras lagi. Temanmu yang satu itu memang!”
Jenova terkekeh. Membayangkan sekilas Hilal yang seperti itu membuatnya tak ingin kehilangan kesempatan lebih lama. Pasti menyenangkan melihat Hilal yang menangis, berteriak, meraung di situasi lainnya. Ah, bagaimana bisa memotret jika ia pergi sekarang?
“Oh ya, bukankah kamu juga ingin mencari tahu tentang Azka?”
Jenova melepas pelukan lalu menghapus sisa air matanya. “Mungkin. Aku akan pikirkan lebih banyak lagi nanti. Tapi, boleh aku memintamu datang setiap hari? Pelukanmu sedikit hangat.”
“Pelukan?”
“T-tidak jadi, lupakan!”
Jenova membuang wajahnya yang sudah separuh memerah. Sedangkan Junawan menukik alis, ia terkekeh disusul anggukan paham. “Tidak janji. Emh, tapi kamu tahu, Jen? Kamu punya banyak orang yang bisa dipeluk setiap harinya. Ibumu, Hilal, Ham dan Taro. Lagi pula, setidaknya manusia perlu tujuh pelukan untuk bertahan setiap harinya. Itu lumrah, jangan merasa malu.”
“Tidak untuk Ibu sepertinya. Aku hanya akan memeluk Ham dan Taro saja.”Mengenai Ham dan Taro. Keduanya adalah kucing kesayangan Jenova yang sebulan belakangan ada dalam kediaman Junawan.
“Kamu bisa mengambil mereka besok. Tapi, apa kamu belum bisa berdamai dengan Ibumu?”
Jeno mengibaskan tangannya, memberi keterangan non-verbal mengenai pertanyaan Junawan. “Aku tidak membencinya sedikit pun. Tapi tidak ada celah yang membuatku keluar dari kecewa sejauh ini. Aku masih ingat pernyataan ironisnya mengenai Azka dan Ayah, meski aku sendiri tidak tahu apa–apa.”
“Kapan kamu ke Rumah Sakit setelah ini?”
Jenova menggerakkan maniknya dengan resah. “Ke Rumah Sakit?”
Junawan mengangguk. Psikolog itu menghela napas panjang. “Aku tahu kamu bukan hanya bolos di jadwal konsulku 'kan? Berapa jadwal check up kesehatan yang kamu lewati?”
“T-tidak ada.”
“Aku tidak akan marah.”
“Tiga, d-dengan kemarin.”
Junawan mengulum bibirnya dengan pundak yang dijatuhkan. “Itu sih kelewatan, Jen.”
“Maaf—”
“Apa yang kamu khawatirkan?” potong Junawan.
“Apa yang kautakutkan sehingga melewati banyak check up?”
Jenova menatap Junawan, air matanya turun kembali. “Bagaimana jika ingatanku kembali? Aku belum siap dengan masa laluku, belum lagi masalah siapa Azka. Sejauh ini Ibu yang tutup mulut seperti memberi sinyal lebih baik kami hidup dengan ingatan baru tanpa kenangan lama.”
“Aku takut juga, kalau ingatanku kembali apa kau menjamin aku tidak akan membenci Ibu? Sejauh cerita dari mulutnya saja sudah membuatku kecewa penuh,” lanjut Jenova.
Junawan mengusak wajahnya pelan. “Lalu, apa kamu bisa pastikan kepuasan dan rasa tenang jika ingatanmu tidak kembali? Kamu sensitif, Jen. Ingat kenapa kamu tidak masuk seminggu ini? Kamu mengingatnya, tapi kamu menahan. Gangguan emosimu juga tidak bisa aku katakan dalam kadar baik.”
“Lalu apa maumu? Seperti ini? Jatuh bangun dan terus mengulangnya untuk satu dekade kedepan? Gak 'kan?”
“Tapi aku tidak punya pilihan lain!” Jenova berteriak kencang.
Saat sadar dengan apa yang dilakukannya, Jenova menunduk dalam. Ia menahan kepala dengan kedua telapak, menggelengkannya sesekali. “Aku tidak tahan. A-aku ingin tenang juga. Aku mohon!”
“Maafkan aku. Maaf, jangan menangis, atur pernapasanmu.” Junawan membelai punggung Jenova. Dua belah bibirnya memberikan sembilu halus. “Bagaimana sekarang? Sudah tenang? Kaubutuh susu?”
Jenova menggeleng lemah.
“Anggap aku Ayahmu yang lain, Jen. Jangan seperti ini,” pinta Junawan.
“Kamu seharusnya mulai sadar, Jen. Kamu yang menahan diri agar pilihan itu tidak dekat. Kamu menatap mereka seakan jauh, tidak mungkin, sulit. Padahal, kamu baru mencobanya sampai di judul.”
Jenova meringkuk, menjatuhkan tubuhnya ke kasur. “Aku tak tahu.” Entah kalimat keputusasaan keberapa yang ia deklarasikan.
Junawan mendesah kasar. “Besok robek kertas dari bukumu. Tulis apa yang ingin kaudapatkan seminggu nanti. Tulis juga apa saja yang kaudapatkan selain yang kauharapkan. Di belakang kertas, aku juga mau kamu menulis siapapun dan apapun yang menjadi alasanmu bertahan.”
Junawan tersenyum ke arah Jenova yang berusaha terpejam. “Bagian belakang, aku ingin melihatnya. Bawalah pada jadwal Konsulmu di Minggu depan.”
“Kamu mendengarkanku 'kan?” Karena tidak ada jawaban, Junawan hanya mengangguk singkat.
“Baiklah, sudah jam delapan malam. Aku pulang dulu. Jaga dirimu baik–baik, tetap semangat.”
Junawan telah pergi dengan sebuah permintaan berat. Kini tersisa hanya Jenova dalam kamar yang remang.
“Aku akan mencoba—”“Mungkin,” gumamnya sebelum alam mimpi benar–benar membawa pergi.
.
T. B. C.
.Btw, ini Hilal
Ni Junawan
Maaf baru Update lagi gess.
Udh masuk ke alur sebenarnya. Tetap setia nunggu yaa! Karena bintang kita yang lain belum keluar, kheheh ....
KAMU SEDANG MEMBACA
Aska: Bertaut Jiwa
Novela JuvenilKisahku; Kisah kita. Aku yang berupaya lewat para selaksa untuk kembali menjadi kita. Sebuah satu kesatuan yang menolak kembali adanya perpisahan. ••• "Aska ... kalau nanti aku gak bisa pegang tangan kamu lagi, gimana?" "Berh...