“Pokoknya salah Ayah, udah tua, udah punya anak gak ada rasa nyadarnya. Jemput, kek!”
“Lho, lho! Kan Ayah bilang Ayah padat sama jam kunjung. Kamu itu, ya!”
“Jam kunjung apa?! Dari siang aku sama Jeno masuk, Ayah lagi pelukan sama Mama. Kunjung apa yang Ayah maksud?”
“Iri kamu? Lagian, Ayah balik lagi ke rumah sakit sore nanti.”
Jenova menghela napas panjang. Sudah dua jam lamanya, pasangan ayah dan anak di depannya melakukan adu mulut. Belum ada yang mau mengalah sejauh ini. Ia dan Nyonya keluarga hanya menyandang status penonton untuk drama di depan sofa.
“Maaf ya, Adryan. Emang gini kalau lagi akur.” Wanita di sofa samping Jenova tersenyum. Nampak sedikit beda, seperti senyum yang menahan amarah siap meledak.
“Gak apa–apa, Tante.”
Keduanya kembali menaruh pandangan ke perdebatan panas yang bebas itu.
“Kamu, tuh kalau Ayah bilang Ayah sibuk ngertiin, dong. Kamu udah tujuh belas tahun, Ah—”
“Nama aku Hilal, Ayah.”
“Nama kamu Hilal El Ahmed. Ayah yang kasih nama, terserah Ayah, dong!”
“Bodo ah! Balik ke topik!”
“Dih, kok nyuruh–nyuruh.”
“Ayah!”
Junawan tersenyum paksa. “Yaya, gini ... sebenarnya alesan Ayah gak jemput kamu itu karena ada kunjungan di—”
“Omagat!”
“Bentar, Ayah be—”
“Enggak! Ayah bohong 'kan?” Hilal menarik tubuh Junawan lalu mengguncangnya pelan. “Bilang ke aku, Ayah!”
“Apa sih, kamu?” pertanyaan Junawan keluar dengan nada keras. Dua detik kemudian air mata Hilal keluar perlahan.
Junawan mendesah pasrah. Ia menarik Hilal lalu memeluknya. “Mikirin apa kamu?”
“Jangan–jangan aku mau punya adek, ya?! Ekhem ... Ayah ngunjungin Mama, yakan? Terus Ayah gak jemput, karena aku udah mau ada Adek baru?!”
“Gak gitu, Ahmed.” Junawan memijat pangkal hidungnya. Ia menoleh menatap sang Istri dan Jenova yang tengah duduk di dua kursi terpisah. Padahal awalnya ia hanya berniat menanggapi semua ucapan Hilal sebagai suatu perdebatan ringan yang beberapa saat setelahnya mungkin bisa padam. Tapi ternyata, begini jadinya. Ia juga heran.
“Maafin, Ayah. Jangan nangis, gak ganteng lagi nanti. Ya ampun, manja banget!” Hilal dibawa ke gendongan Junawan. Meski badan bocah itu memang hampir sama besarnya dengan si Ayah.
“Pi boong! Yahaha!”“Anjrit!”
“Dih, anjrit katanya, Jen!” Hilal menunjuk wajah Ayahnya lalu menoleh ke Jenova. Karibnya itu sontak tertawa.
Hilal pun menghadap Junawan, menjulurkan lidahnya dengan raut wajah yang dibuat sejelek mungkin. Kemudian melompat dari gendongan Junawan.
Junawan mengusak kasar wajahnya. Semua orang di rumah itu sekarang tertawa kecuali dirinya. Ia merasa malu. Malu, sungguh! Bahkan telinganya sudah separuh memerah.
“Anak siapa sih?”
“Gak tahu, kok nanya saya.”
“Astaghfirullah, haha! Sial, humor gue.” Jenova masih meneruskan gelak tawanya, sampai Junawan kini ikut menatapnya. Ia tersenyum, memang sejauh ini yang ia punya untuk kesembuhan Jenova hanya Hilal.
Hilal sudah membantu Junawan untuk enam tahun terakhir. Anaknya yang satu itu memang kelewatan dalam bercanda dan berakting. Ia bahkan pernah menduga bahwa kelak Hilal menjadi seorang Aktor termasyhur dengan banyaknya lakonan hebat. Ya, karena saking hebatnya membuat drama dalam dunia nyata.
“Sudah, sudah. Kita makan siang, yuk!”
Junawan menghampiri Jenova lalu menepuk punggung belakang yang lebih muda. “Terima kasih karena masih bahagia sampai saat ini. Oh iya, jadwal Konsulmu hari ini 'kan?”
Jenova mendesah pelan. Ia menghentikan tawa dengan tangan yang mengucak kedua mata. “Iya, Om. Tapi aku belum ada list yang diminta.”
“Sesuai prosedur nanti. Kalau masalah list gak ada, kamu bisa bilang ke saya, lisan.”
“Sip, Om!”
“Jadwal check up juga hari ini?”
”Iya.”
Junawan memberikan ibu jarinya lalu menarik Jenova untuk segera ke meja makan.
•••
Pukul setengah empat sore. Jenova sudah siap dengan baju miliknya yang memang beberapa potong disimpan bersama dalam lemari Hilal. Kalau kata anak itu, ‘Jen, lu 'kan kalau gak ada Tante Arin sendiri di rumah. Kagak enak, bagi sini baju lu, gue taro di lemari biar kalo lu takut sendiri lu bisa langsung nginep di sini.’
Meski akhirnya tak sesuai ekspektasi karena nyatanya Jenova belum pernah menginap di rumah Hilal.
Jenova menghadap cermin dengan sisir yang sedang digunakannya. Matanya menatap cermin dengan senyuman. Pandangannya yang jernih seperti ini pernah buram. Sekitar setengah tahun lalu, Jenova baru selesai menjalani lasik untuk matanya.
Sisir itu selesai digunakan. Kini Jenova diam dengan tangan yang mulai mengusap kantung bawah matanya. Ia jadi rindu kaca mata lama yang sayangnya ia hancurkan sendiri.“G-gue bakal hidup tenang tanpa kacamata itu. Gue bakal tenang.”
“Tsk, perbanyak ekspektasi. Sampai sekarang belum setenang itu hidup gue.”
“Eh, iya! Hilal!”
Ia menjauh dari cermin ketika ingat sedang meninggalkan Hilal yang salat setelahnya di ruang keluarga.
‘Hari ini gue harus mulai perubahan. Gue bakal sembuh! Setidaknya buat Ibu, mereka, Ayah dan ... Azka.’
•••
“Lu ngapain dah ke kamar gue?”
“Baju gue 'kan di sana.”
Hilal mengangguk, ia baru ingat. “Tapi lu gak ngorek apa–apa 'kan?”
“Atas dasar apa nanya gitu?” Jenova menatap Hilal di jok sebelahnya.
“Gak ada, sih.”
“Oke, Kiddo! Kita sampai!” ucap Junawan yang pelan–pelan memarkirkan mobil di area parkir kosong.
Kebetulan ini kali pertama Hilal nemenin sahabat karibnya, jadi remaja laki–laki itu yang paling semangat. Bahkan Jenova tidak menyadari jika Hilal sudah turun karena terlalu fokus melihat ke luar dari jendela mobil.
“Buruan, Jen!”
Jenova tertawa. “Ini lu yang mau check up, atau gue?”“Lu 'lah, ege! Gue mah gak lagi sakit.”
“Hilih!”
“Udah–udah, kalian duluan, ya! Jen, kamu ke ruang ke Poli saraf aja du—.” Junawan menoleh ke jok belakang namun bukannya mendapati Jenova di sana, ia justru sudah lebih dulu menerima jok telah kosong. “Haih!”
“Ahmed, temenin Jeno-nya, jangan ditinggal!” lanjutnya ketika melihat dua anak muda penumpang setia mobilnya tengah berlari memasuki koridor.
“Ayah bawel!”
Junawan mengelus dadanya. Ya sudahlah, bagaimana lagi, Ahmed-nya memang terlalu jujur. Sekarang ia harus pergi ke ruangnya untuk melakukan persiapan. Karena, mungkin jadwal hari ini akan penuh sampai malam.
“Permudahlah urusan hamba. Berilah kesadaran pada beban hamba yang satu itu, Ya Tuhan!”.
T. B. C.
.Kesian sama Junawan T-T
Btw, makasih ya udah setia sampai sekarang, asek. H-11 nih
Semoga setiap hari bisa double up.Ohok, mana mindep udh PAS.
KAMU SEDANG MEMBACA
Aska: Bertaut Jiwa
Teen FictionKisahku; Kisah kita. Aku yang berupaya lewat para selaksa untuk kembali menjadi kita. Sebuah satu kesatuan yang menolak kembali adanya perpisahan. ••• "Aska ... kalau nanti aku gak bisa pegang tangan kamu lagi, gimana?" "Berh...