17. Sebuah Pelukan

389 62 31
                                    

     Dua netra Jenova belum terpejam. Matanya masih nyala di tengah temaram lampu kamar.

     Ia masih dihantui kata–kata dari Zennan meski di sana ada bentuk perandaian. Selain karena menyangkut Azka, ia pun tidak bisa tidur karena sosok di futon sana.

     Zennan yang telah terlelap. Karena diingat beberapa jam yang lalu, ia hampir kehilangan kendali untuk membunuh remaja tersebut.

     “Apa maksud lu?!”

     “Kan cuma seandainya, Jen.”

     “Tapi lu gak bisa nentuin mati hidupnya orang lain, lu bukan Tuhan, Na!”

     “Gue gak bilang Azka lebih baik mati, Jen. Gue cuma bilang seandainya! Kita gak dapat kabar dari dia. Gak ada kepastian yang lebih enak.”

     Jenova mulai mencengkram erat leher Zennan dengan beberapa kali si empu memberontak.

     “Perandaian lu gak mengindahkan tahu, gak? Gak berguna!”

     Dengan napas menderu Jenova memaku tatapan nyalangnya. Lebih kasar. “Azka masih hidup!”

     “Hahaha, gue gak terima maksud ‘seandainya’!”

     “Jenh, u-uhuk ... s-sakit.”

     Jenova seketika langsung melepaskan cengkramannya. Ia menatap lemah ke arah Zennan yang beberapa detik kemudian jatuh dengan terbatuk–batuk dan sesak napas.

     Jenova menatap tangannya yang makin bergetar. Ia kembali ke titik terburuknya. Kaki–kaki dibawa mundur sampai terbentur dinding dan ikut terhuyun.

     Ia baru saja hampir membunuh Zennan. Baru saja. Bunuh. Hampir.

     Di sana, Zennan masih dalam kondisi yang sama. Mencari udara, terbatuk–batuk. Jenova ikut kacau. Anak itu mulai memukul kepalanya disertai derai air mata yang mulai keluar.

     “Kalau pun bukan sekarang. Kalau pun bukan seandainya. Kalau pun benar masih bernapas. Ada saatnya lu emang harus siap kalau Azka pergi.”

     Jenova menatap Zennan yang kondisinya mulai stabil. Laki–laki itu tersenyum ke arahnya. “Maafin gue, ya?”

     Dan sekarang, Jenova ingat dia belum meminta maaf sama sekali. Ia kembali menangis.

     Bagaimana jika saat itu ia tidak kunjung sadar? Bisa jadi sekarang yang ada bersamanya adalah mayat Zennan, bukan Zennan.

     Ia hampir membunuh orang dan itu benar–benar membuatnya takut. Hampir jadi pembunuh secara langsung.

     Jenova mengubah posisi tidurnya menjadi tengkurap. Tangannya menarik bagian bawah nakas samping ranjang. Mengeluarkan sebuah kotak yang sudah dipenuhi isolasi hitam dan terkunci secara manual.

     Kotak itu dibuka pelan–pelan. Dilucuti isolasinya juga. Menyisakan beberapa sampah dan kotak yang kini sudah terbuka menampakkan dua botol putih yang seketika saja Jenova ambil.

     “Gue udah gak berguna ....”

     Kotak itu ditaruh kembali ke nakas. Sampah–sampah itu diselipkan di sisi kasur. Jenova bangkit, melewati futon milik Zennan dan membuka pintu perlahan.

     Kakinya menuruni tangga menuju dapur bawah. Menyalakan lampu terang di sana dan mulai berkutat mengeluarkan segelas air putih.

     Matanya melirik ke arah dinding kanan yang terhubung langsung dengan ruang tengah. Sorot cahaya dapur membuat ruang tengah sedikit mendapatkan cahaya.

Aska: Bertaut JiwaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang