Jenova terdiam dengan rahang yang jatuh ketika mendengar guru mata pelajaran terakhirnya meminta mereka berdoa untuk menutup pelajaran.
Jadi, kelas ini akan pulang lebih cepat? Jika iya, setidaknya harus menunggu dua jam dari sekarang untuk waktu pulang kelas yang lainnya.
“Jeno, ini jadwal buat kamu.” Jenova tersadar. Ia mendongak dan mendapati guru bahasanya tengah menyodorkan secarik kertas.
“Terima kasih, Bu.” Jenova menerima kertas itu lalu melipatnya di pertengahan buku.
Selanjutnya kelas benar–benar ditutup. Para siswa berdoa dengan kepercayaannya masing–masing.
“Ibu duluan, ya. Jangan pulang sebelum dijemput. Terima kasih untuk hari ini, sampai bertemu lusa, ya!”
Beberapa siswa menggoyangkan tangannya dan berkata iya. Sebagian yang lainnya hanya diam atau tersenyum, termasuk Jenova.
Ia merasa nyaman. Sepanjang waktunya menempati kelas, Guru–Guru yang mengajar sangat baik dan ramah.
“Jeno,” panggil Eric yang sudah tiba–tiba ada di samping mejanya.
Jenova menoleh, ia tersenyum. “Aku tidak tahu kelas ini akan pulang lebih cepat dari yang lainnya.”
Eric menggeleng. “Seharusnya se-jam dari sekarang. Kalau gak salah, guru pelajaran selanjutnya itu wakil kepala sekolah bidang kesiswaan. Dia tidak bisa mengajar di sini, karena ada keperluan dengan organisasi dan lembaga siswa.”
Jenova mengangguk paham. Pasti ada pergantian yang cukup merepotkan, karena kelas dua belas tidak lagi dapat aktif di OSIS.
“Tapi, tahu dari mana tadi gurunya gak bilang?”
“Mungkin lupa, Jen. Udah dulu, keluar yuk!” ajak Eric.
Jenova mengangguk, beranjak dan hendak melengos duluan meninggalkan Eric. Namun, belum sampai pintu, Jenova membalikkan badan. Ia menatap Eric yang hanya diam di tempatnya.
Terlihat Jenova menghela napas lalu mendekat kembali ke tempat Eric. “Kalau minta didorongin, bilang dong.” Sepasang tangan itu mendorong pelan kursi roda yang diduduki Eric.
Eric menunduk malu. “Gak enak minta tolong. L-lagian tadi tuh lagi kebas aja, kok. Nunggu beberapa menit nanti udah engga. Tapi, Jeno malah dateng.”
“Gak enakan?”
Eric mengangguk kecil.
Keduanya sekarang telah keluar. Jenova menutup pintu kelas dan selepasnya kembali mendorong pelan kursi roda Eric menuju ke koridor utama.
“Aku dijemput satu jam lagi kayaknya. Mau temenin ke taman gak Jen?” tanya Eric.
Jenova mengangguk. “Taman Yayasan? Boleh, ayok!”
“Yey!”
Keduanya tertawa bersama dengan jalan yang dibelokkan oleh Jenova menuju ke tempat parkir dan keluar dari gerbang.•••
Bahu jalan yang lumayan padat sedikit membuat Jenova kesulitan mendorong kursi roda Eric. Tapi itu bukan masalah besar sebenarnya, karena saat ini keduanya sudah berada di taman Yayasan.
Jenova sedikit terkejut karena ia baru menyadari betapa rindangnya taman itu. Sebelum–sebelumnya ia hanya sekadar melihat dari kaca jendela mobil Junawan, dan baru sekarang ia bahkan telah menginjak rumput hijau di dalamnya.
“Kamu sering ke sini?” celetuk Jenova.
Eric menggeleng. “Setidaknya sekarang kali pertama.”
“Aku kira kamu sering ke sini. Ya, ini juga kali pertama buatku.”
“Seri kalau gitu,” timpal Eric. Keduanya pun terkekeh.
Jam sepuluh, suhu seperti ini, langit yang berawan dan taman yang hampir sepi. Benar–benar suasana pas menurut Jenova untuk waktu menenangkan pikiran.
“Tanganmu, sering kebas? Kalau pelajaran sejarah, mencatat bagaimana?”
Eric membuka zipper ransel kecil di pangkuannya. Mengeluarkan sebuah benda persegi kecil dari sana. “Aku merekam.” Ia membolak–balikkannya di depan Jenova.
“Waw!”
Eric kembali memasukkannya, kemudian tersenyum. “Oh ya, maaf jika menyinggung. Aku lihat kamu sehat dan tidak punya kesulitan belajar. Apa alasanmu bergabung di kelas luar biasa?”
Jenova mendudukkan diri di atas rumput, menghadap Eric dengan jarak seperempat meter. “Masalah mental. Aku punya gangguan emosi yang parah dan sedikit kerusakan saraf di otak.” Jenova menunjuk kepalanya sendiri.
Usapan hadir di surai Jenova. Telapak tangan Eric tengah bergerak halus di sana. Jenova menurunkan telunjuknya, ia tersenyum seraya memandang Eric haru. “Terima kasih.”
“Kamu sering pusing karena ini?” tanya Eric yang masih melanjutkan kegiatan tangannya di atas kepala Jenova.“Dulu Ibu bilang, setelah ia berpisah dengan Ayah, aku berpisah juga dengan saudara kembarku. Kebetulan Ayah dan saudara kembarku ke luar negeri dan Ibu bilang kami pun juga lari ke kota lain. Ibu membawaku dalam keadaan tidur dan saat bangun aku mengalami syok hebat. Sekitar dua minggu tidak berhenti berteriak dan nangis karena terpisah dengan keduanya. Setelahnya, aku koma sepuluh hari lalu bangun dengan keadaan lupa sama semua orang, punya sifat impulsif dan agresif.”
Eric menatap mata sipit Jenova yang menyorotkan setelan kenangan secara tersirat. “Lanjutkan saja, aku ingin mendengar lebih banyak.”
Jenova terkekeh. Ia memberikan ibu jari lalu lanjut menjelaskan. “Aku juga sedikit ingat dari kejadian itu, bangun–bangun aku ada di ranjang yang berbeda. Tapi itu sudah sekitar dua bulan dari bangunnya aku setelah koma.”
“Kamu pindah ruangan? Atau pindah rumah sakit?” tebak Eric.
Jenova terkekeh kikuk. “Bukan, ah sudah, ya. Aku kira ini tidak ada pentingnya.”
Eric menekuk bibirnya. “Aku sudah kepo padahal. Ayolah!”
“Kamu saja yang cerita sekarang.”
Eric menggeleng. “Aku gak cerita kalau Jeno gak selesaiin cerita yang tadi.”
Setelahnya, gerik Jenova berubah drastis. Tatapan sepasang mata di depan Eric nampak tergantikan dengan yang begitu waspada. Ada rasa takut dan Eric sadar itu.
“Kamu kenapa, Jen?”
“T-tidak apa.”
“Tidak usah jika tidak bisa cerita. Kamu tidak perlu memaksakan diri. Maafkan aku, ya?”
Jenova tiba–tiba menangis. Ia menatap Eric dalam. “Jangan menjauhiku setelah ini. Jangan membenciku, ya? Aku mohon.”
Air mata itu tiba–tiba deras. Eric kelimpungan. Ia khawatir tapi ia pun tidak tahu harus apa. Selanjutnya, tangan Eric maju, menepuk–nepuk kepala Jenova lagi. Ia juga menunduk, menghapus air mata Jenova yang ada dibawahnya.
“A-aku tidak akan membencimu.”
Jenova mengangguk. Ia menghapus jejak air mata yang ada dengan lengan seragam. “Kamu sudah berjanji, jangan mengingkarinya.”
Eric tertawa kaku. “E-engga, kok.”
Jenova bersiap menceritakan semuanya. Ia mulai membuka mulut menghadap Eric. “Se—”
Eric lebih dulu menarik dan memainkan pipi Jenova. Ia melakukannya berkali–kali. “Maaf aku gak kuat, kamu lucu banget!”
‘Aska lucu banget! Manis!’
Satu suara berdengung di pikirannya, meski kali ini berbeda karena tidak ada suara berisik lainnya.
Jenova kembali menangis. Ia terisak pelan. Eric melepas tarikan tangan dari pipi Jenova. “E-eh, maaf ....” Nah 'kan, Jenova jadi butuh waktu kembali untuk tenang dan bercerita.
“Gak apa–apa,” ucapnya di sela isakan.
Tangis Jenova kali ini berdurasi dua kali lipat. Ia bukan menangis sedih, ia justru terharu. Dua menit setelahnya, anak laki–laki itu baru tenang. “Aku mantan pasien di lembaga rehabilitasi Jiwa. Itu juga jadi alasan kenapa aku masih kelas sepuluh.”
“Wahh, dan sekarang kamu udah keluar? Kamu hebat!” puji Eric.
Jenova tersenyum malu. “Terima kasih.”
“Ciee malu!” Eric memainkan telinga kanan Jenova yang terlihat memerah. Sang empu pun langsung menutup kedua telinganya dan berpaling ke lain arah. “Berhenti!”
“Ulu ulu, ngambek! Hahaha ....”
“Eric!”Perbincangan tentang Jenova saat itu disekat oleh kegiatan saling menggelitik yang dilakukan keduanya.
Terlintas sebenarnya beberapa kali di kepala Jenova tentang bisa–bisanya mereka dekat dalam waktu singkat. Kendati begitu, Jenova tidak memedulikannya.
Inti objektifnya adalah, Eric. Jenova seperti merindukan raut wajah itu. Tapi, apa yang membuatnya merindu sementara pertemuan tak pernah dipadu pada waktu yang telah berlalu?
.
T. B. C.
.Selamat berbuka puasa bagi yg berpuasa. Ehew
Maaf baru up-!
KAMU SEDANG MEMBACA
Aska: Bertaut Jiwa
Teen FictionKisahku; Kisah kita. Aku yang berupaya lewat para selaksa untuk kembali menjadi kita. Sebuah satu kesatuan yang menolak kembali adanya perpisahan. ••• "Aska ... kalau nanti aku gak bisa pegang tangan kamu lagi, gimana?" "Berh...