24. Pressure Again

426 53 124
                                    

     “Eric, Ayah bawa maka—”

     “Ayah bicara apa dengan Jeno?”

     Eric meremat ujung selimutnya. Ia menatap Ayahnya dengan atensi penuh. “Jawab Eric, Ayah.”

     “A-aska.”

     Eric langsung menarik satu arlojinya yang ada di atas nakas, kemudian melemparnya ke kaki sang Ayah. “Aska, Aska selalu Aska. Ini yang ke berapa Ayah?” Nadanya begitu datar.

     “Tapi, Ayah sedang mencarinya, Eric. Dia saudaramu juga 'kan?”

     Eric membuang pandangannya. “Munafik, ingkar janji. Eric tidak mengenalnya.”

     “Eric, Ayah mohon.”

     “Sudah Eric bilang jangan pernah membahasnya lagi! Ayah selalu bertanya hal serupa ketika Eric membawa teman. Aska sudah mati! Lupakan dia!”

     “Eric!”

     Eric terjingit. Ia menatap tak percaya karena bentakan dari Ayahnya barusan. “Ayah ngebentak Eric karena dia? Eric yang selama ini ada di depan Ayah?”

     “Tutup mulutmu, Eric. Ayah tidak pernah mengajarkanmu untuk mengatakan kematian seseorang!”

     “Jika dia tidak mati, dia akan ada di sini! Dia dan Ibu sama saja! Tidak peduli dengan kita. Masa bodo siapa mereka!”

     Sosok Ayah itu menatap balik Eric dengan tatapan semakin tajam. Ia berjalan mendekat lalu menaruh makanan yang dibawanya di atas nakas.

     “Makan sepuasmu. Hari ini Ayah akan kembali kerja.”

     “Baru beberapa jam sudah bekerja? Cih, tidak beda jauh dengan mereka.”

     Ayah dari Eric itu hanya menghela napas berat. “Ayah bekerja untukmu, Eric. Jangan berkata yang tidak jelas.”

     Eric merebahkan tubuhnya. Lalu ketika sang Ayah semakin dekat dengan pintu, ia menjatuhkan makanan itu lalu menenggelamkan dirinya di balik selimut. “Aku tidak napsu dengan makanan itu.”

     “Terserah denganmu, Eric. Ayah lelah.”

     Selepasnya, Eric menangis tanpa suara di dalam selimut. Pagi ini selepas Jenova mengantar dirinya, rasanya ia kembali pada kondisi seperti biasanya.

     Rasa sendiri. Tidak ada yang memahami. Rasa ingin berakhir namun masih mengharapkan esok hari.

     Terlalu sulit tapi yang Eric mau adalah hal sederhana. Hanya kasih sayang. Bukan makanan yang ditaruh hingga dingin. Ia rindu dengan Ayahnya di dua tahun lalu. Tidak pergi sebelum benar–benar melihatnya makan atau bahkan Ayahnya akan menyuapi sampai di suapan terakhir.

     Apa Ayahnya sudah tidak lagi sayang padanya?

     Apa hanya sebuah formalitas pelukan dan ciuman di fajar tadi?

     Apa gunanya ia bertahan kalau seperti ini?

     Memikirkan yang seperti ini membuat Eric mual, pusing dan merasa sesak.

     Ia memukul dadanya berkali–kali dengan tangan lain yang membekap mulutnya untuk tidak mengeluarkan suara.

     Ia terus melakukannya sampai beberapa menit kemudian cairan hangat keluar dari dua lubang hidungnya.

     “Aku hanya sendiri.”

     “A-aku percaya ... sendiri ....” Pandangan gelap dari balik selimut semakin menggelap di pandangannya. Ia membiarkan semua darah itu mengalir hingga kesadarannya pun hilang sepenuhnya.

Aska: Bertaut JiwaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang