“Seharusnya ini bukan masalah. Sungguh belum ingat?”
Jenova menggeleng untuk yang ke tiga kalinya. Ia menatap lembaran observasi miliknya yang tengah digulir berkali–kali oleh Pria dewasa berstatus dokter saraf di depannya.“Tapi, Dok. Sebenarnya sudah dari seminggu lalu saya terkadang dapat banyak suara–suara yang rasanya saya kenal. Tapi saya gak tahu itu suara siapa.”
“Nah 'kan, gini kek. Jelas jadinya.” Dokter itu mendekat lalu mencubit lengan atas Jenova yang terbalut kemeja tipis. “Jangan biasain tuh bolos–bolos check up. Gimana mau sembuh coba? Laporan hasil observasi saya aja gak lengkap karena kamu.”
Jenova terkekeh. “Jujur saya justru takut sembuh.”
Dokternya itu kembali ke tempat duduknya. “Kenapa begitu? Jadwal kunjungan ke Sir. Juna, gak bolong kayak kamu ke saya 'kan?”
Jenova menggaruk tengkuk yang sebenarnya tidak gatal. “Enggak, Dok. Beliau juga berharap saya sembuh. Tapi rasanya gak selalu enak pas suara–suara acak itu dateng, Dok. Saya pusing makin lama juga makin ramai.”
“Berbanding lurus ya, sama keadaan Psikologis kamu?”
Jenova mengangguk. “Kira–kira, ada cara biar saya ingat semua tapi gak perlu trigger, Dok?”
Dokter mulai membuka kertas kosong lalu menulis di atasnya. “Selama ini, apa ada suara atau visual yang datang sebagai ingatan kembali dari sesuatu hal yang kamu atau seseorang lakukan?”
”Lebih ke ucapan.”
“Baik, ada ucapan seseorang yang membuatmu teringat atau mendapat suara yang hampir sama tapi tidak menimbulkan kemungkinan kambuh?” tanya Dokter.
Jenova mengepal tangannya. Ia mengatur napas karena merasa sedikit resah. Kakinya sudah sedikit bergetar.
“Tenangkan dirimu. Jangan dipaksa.” Jenova paham. Ia pun mengangguk lagi, memejamkan mata beberapa saat dan mulai berusaha mengontrol semuanya.
“Bagaimana?” lanjut Dokter ketika sudah melihat Jenova sedikit tenang.
“Ada.”
“Boleh tahu siapa itu? Keluarga? Sahabat?”
“Orang asing.” Dokter langsung mengangkat mata penanya. “Orang asing?”
“Ya, kami baru bersama satu hari lamanya. Tapi sejauh ini, hanya dia yang membuat saya mendapat ingatan berupa suara dan kata–kata yang hampir mirip.”
Jenova menunduk dalam, bibirnya bergetar. “Dia yang buat saya khawatir hari ini. Saya bahkan merasa gak asing dengan wajahnya.”
“Terus bersamanya.”
Jenova mengangkat wajah dengan air wajah bingung. “E-eh?”
Dokter memberikan catatan miliknya yang baru ditulis. “Kamu punya seseorang yang bisa memancing ingatan kembali tanpa mengangkat kemungkinan guncangan kamu secara psikologis. Ini sesuatu yang bagus. Lakukan banyak hal bersamanya.”
Jenova menatap tulisan di kertas yang lumayan samar dibaca. Ia mengembalikannya lalu menatap Dokter dengan pandangan penuh tanya. “S-saya?”
“Memang siapa lagi?” tanya Dokter seraya mengambil cacatannya dari tangan Jenova.
“Kasus kamu adalah yang pertama buat saya, Jen. Makanya saat enam tahun lalu saya gak mau ambil risiko. Awalnya saya mau nerapin terapi oksigen ke kamu. Tapi kamu amnesia bukan karena kehilangan oksigen di otak. Ya, beginilah akhirnya. Saya lebih milih melakukan observasi ke perkembangan memori di otakmu sampai sembuh nanti,” lanjutnya.
Dokter memberi kertas kecil pada Jenova. “Buat otakmu bekerja dan istirahat di saat yang tepat. Ini hanya vitamin, karena saya yakin kamu mungkin dapat beberapa obat lagi dari Sir. Juna.”
“Terima kasih, Dok.”
“Oke, kembali seminggu lagi. Jangan bolos, inget!”
Jenova terkekeh. Ia memberikan postur hormat. “Siap!”
Dokter mengusak surai Jenova. “Pinter! Cepet banget sih gedenya.”
Keduanya tertawa bersama sembari berjalan ke luar ruang pemeriksaan.
“Oke, sampai sini ya. Terima kasih sudah datang.”
“Ya, terima kasih juga, Dok.”
“Setelah i—”
“Ke ruang Ayah, Om. Udah bawel dari tadi,” timpal Hilal yang tengah duduk di kursi koridor tepat belakang Jenova.
“Lama banget!”
“Eh eh, ada Ahmed!” Dokter mulai mendekat ke arah Hilal lalu memeluk anak itu sedikit erat. “Jarang–jarang ya, kamu ke rumah sakit. Ada apa nih?”
“Gabut, Om. Nemenin Jeno aja,” ungkap Hilal. Dokter tersenyum. “Peduli banget, Ahmed!”
“Hilal, Om.”
“Ahmed.”
“Gak ada bedanya sama Ayah. Dasar orang tua!” cibik Hilal dengan tangan mendorong bahu yang paling tua, agar segera melepas pelukan.
Hilal beranjak, menarik tangan Jenova lalu lari menjauhi ruang pemeriksaan saraf. “Ntar lagi, Om!” teriaknya.
Dokter itu menghela napas. Hilal dan Jenova perlahan hilang dari pandangannya ketika sampai di ujung tikungan koridor. Seperti tak menyangka, matanya menatap begitu dalam ke jejak keduanya. Mengingat kejadian yang hampir sama lima tahun lalu ketika dirinya mulai dipilih menjadi dokter saraf yang menangani Jenova.
Dulu, mereka begitu imut. Tapi sekarang Hilal dan Jenova sudah menjadi pemuda dengan badan tinggi dan tubuh baik. Kendati sepertinya, sifat dari yang lebih muda di keduanya belum berubah sama sekali.
Hah ... kalau melihat mereka berdua yang sekarang, ia jadi yakin waktu terasa begitu pelik.
“Dulu aku bisa mengangkat keduanya sekaligus. Sekarang tinggi badanku sudah hampir disaingi. Dasar!”
•••
“Selamat datang!”Seruan penyambutan tersampaikan di waktu yang sama ketika Hilal dan Jenova berhasil masuk ke ruang milik Junawan.
“Gimana–gimana? Kok kamu lama, Jen? Gak apa–apain sama Janu 'kan?” tanya Junawan.
Janu, atau lebih lengkapnya Januarta adalah dokter saraf yang sudah diketahui sebelumnya menangani Jenova dari enam tahun terakhir.
Psikolog itu mendekat kemudian membolak–balikkan badan Jenova berniat mengecek keadaan sahabat dari anaknya itu.
“Ayah lebay.”
Junawan menoleh ke anak semata wayangnya. “Dih, ngaca atuh ngaca!”
“Hish! Masalahnya ini rumah sakit, Ayah. Eh, atau jangan–jangan selama ini juga kayak gini? Yakin apa Pasien Ayah betah? Kalau aku Pasien Ayah, udah kabur aku. Euhh, huekk menih geuleuh!”
“Hih, komen aja, Ahmed! Kamu anak Ayah atau netizen-nya Ayah, sih?”
“Udah, ah! Profesional, Yah.”
“Iya–iya!”
Berbeda dengan check up tadi, di mana Hilal hanya menunggu di luar, kali ini ia masuk dan ikut prosedur yang dijalani Jenova.
Mulai dari mengisi formulir, menghias majalah dinding sampai ke meja konsultasi.
“Sekarang, mau cerita sesuatu?” tanya Junawan.
“Tahu gak sih, Yah! Ja—”
Junawan mendelik tajam. “Bukan kamu. Kamu 'kan gak mau jadi Pasien Ayah.”
“Hish, ini serius penting! Mewakili Jeno!” Hilal menepuk meja konsultasi di depannya.
“Biarin Jeno aja, kenapa sih getol pisan kamu?”
“Gak apa–apa! Intinya ini anak yang sebelumnya kita kenal sedikit ansos, hari pertama udah dapet temen. Mana hari ini temennya gak masuk dia kangen!”
Junawan yang sebelumnya memasang muka masam kini berganti dengan raut ingin tahu. “Iya, Jen? Sekarang kamu yang cerita, coba. Buat Ahmed, di pojok ruangan ada dua kanvas kosong sama palet warna. Ngelukis aja sana, biar Ayah enak ngomong berdua sama Jeno.”
Hilal nurut. Anak itu langsung ke pojok ruangan dekat majalah dinding. Mulai melukis entah apapun yang ada pada imajinya.
Di meja konsultasi sekarang sisa Jenova dengan Junawan. Keduanya saling berhadapan. Atmosfer kecanggungan hadir tapi tak lama karena Junawan tertawa pelan. “Santai dulu, Jen.”
Junawan membuka laci dari meja itu lalu mengeluarkan satu toples yang baru sedetik saja sudah membuat Jenova tenang dan tak dapat mengalihkan perhatian.
'Jelly & Candy', itu tulisan di label yang ada pada depan toples.
Junawan menggoyangkannya beberapa kali. “You want this, right? Now, give me a story for one Jelly."
“Boleh?” tanya Jenova. Ia hampir menangis saat itu. Karena sudah sepanjang hidupnya, baru kali ini ia diberi lihat jelly dan permen yang banyak. Terlebih itu semua akan jadi kepunyaannya. Satu per satu jika ia bercerita.
Junawan mengidikkan bahu tinggi–tinggi dengan senyum penuh arti. “Ya, it's a game, Boy!”
.
T. B. C.
.Oke, gantung dulu. Ntar tengah malam aku up lgi 'kayaknya'.
KAMU SEDANG MEMBACA
Aska: Bertaut Jiwa
Teen FictionKisahku; Kisah kita. Aku yang berupaya lewat para selaksa untuk kembali menjadi kita. Sebuah satu kesatuan yang menolak kembali adanya perpisahan. ••• "Aska ... kalau nanti aku gak bisa pegang tangan kamu lagi, gimana?" "Berh...