XII •Aku bukan pembunuh•

5.6K 364 6
                                    

🎶 Playing song : Afgan - Ku mohon 🎶

Happy reading

Kebiasaan buruk orang itu salah satunya, terlalu mudah percaya omongan orang lain tanpa tahu fakta yang sebenarnya.”

—Regi Sabiru

     Masih terasa seperti mimpi

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

     Masih terasa seperti mimpi. Kejadian di saat Ayahnya mencoba melenyapkan nyawanya dan lagi semalam fisiknya terluka. Regi tahu rasanya kehilangan orang yang begitu di cintai.

     Tapi, ia lebih tak tahu mengapa sebegitu benci Ayahnya dengan dirinya. Bahkan ia turut ada di dalam kecelakaan itu. Seakan-akan seperti tak ada celah baginya untuk membela diri.

     Kedua matanya terbuka lebar yang seketika rasa panas bercampur perih mendera. Mencoba menganalisir rasa sakit yang kini ia rasakan, pikirannya kembali berkecamuk. Baru saja ia menerima luka, kini luka lain sudah datang tanpa ia minta.

     Sembari menatap sekeliling kamar yang ternyata adalah kamar Reyga. Regi, mencoba bangkit dengan ringisan kecil yang sengaja ia tahan.

     Sejenak ia menatap jam dinding yang masih menunjukkan waktu 6 pagi. Ah, berapa jam ia tertidur di sini?

     Baru saja ia ingin keluar kamar, tapi pintu sudah terlebih dahulu terbuka—mempertemukan dirinya dengan Reyga yang lengkap dengan baju seragamnya.

     "Re, kok lo bangun? Mau kemana?" tanya Reyga kebingungan.

     "Gua mau ganti baju. Hari ini gua bakal sekolah," jawabnya yakin dan entah apa reaksi Reyga setelahnya.

     "Kayak gini lo mau sekolah? Lo masih sakit, Re."

     Nyatanya Reyga menolak mentah-mentah kemauan Regi. Bahkan terlihat dari raut wajahnya, lelaki itu begitu mengkhawatirkan Regi—tak mau jika hal buruk menimpa Anak itu lagi.

     Regi sedikit menggeser tubuh Reyga kesamping. "Gua bukan orang lemah. Lukanya cuman kecil. Ntar juga sembuh sendiri. Makasih buat pengobatannya."

     Belum sempat bagian Reyga menjawab, Regi sudah melengos begitu saja—melangkahkan kakinya kembali dan pergi ke kamar yang terletak tak jauh dari kamarnya.

     Helaan napas panjang terdengar. Terkadang, Regi begitu sulit di tebak. Anak itu hidup dengan kemauannya sendiri.

     "Seenggaknya lo sayang sama tubuh lo sendiri, Re."

•••

     "Bang Alan, kenapa Papa jadi sosok yang gak Rey kenal lagi? Papa terus pukul Regi, bahkan Papa mau Regi mati. Apa sebenci itukah kalian sama Regi sampai-sampai ngak ada sedikitpun ruang untuk dia membela diri?"

Another Pain (END) ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang