“Terkadang mereka lupa jika rasa sakit bukan hanya berasal dari luka fisik. Namun juga dari luka batin, yang terus-menerus di hujam oleh perkataan-perkataan yang tak seharusnya keluar dari mulut sosok bernama orang tua.”
—Regi Sabiru
Pagi begitu cepat menjelang, dan nyatanya tak secerah hari kemarin—awan yang nampak abu-abu dan langit yang sedikit mendung menyelimuti sebagian kota.
Tapi tak sedikitpun mengurangi aktifitas mereka—berangkat kerja, pergi kesekolah dan masih banyak lagi. Dan mungkin sebentar lagi akan turun hujan.
"Kamu yakin mau masuk sekolah sekarang?" Alan bertanya sembari menautkan kancing jasnya sebelum benar-benar duduk di hadapan Reyga—ikut bergabung menyantap hidangan sarapan pagi.
"Iya, Papa khawatir sama keadaan kamu. Kamu baru sembuh, Nak," ungkap Adli ikut angkat bicara dan menatap Anaknya penuh tanya.
Reyga menghela napas yang terdengar sedikit berat. "Aku udah ngak apa-apa. Lagian udah lama aku ketinggalan pelajaran di sekolah."
"Itu gampang, son... Kamu bisa mempelajari di rumah. Papa akan bayar semua guru untuk memberimu materi pelajaran."
"Pa," tangannya terhenti yang hendak menyendokan makanan itu ke dalam mulutnya, beralih menatap Ayahnya. "Ngak semua bisa di beli dan di bayar pakai uang, gak semuanya harus pakai uang."
Sejenak mereka saling pandang, sebelum semuanya diam saat mendengar tutur perkataan yang keluar dari mulut Reyga.
Entah kenapa perkataan itu seakan-akan berhasil membungkam mulut mereka rapat-rapat.
"Fine, ngak ada larangan buat kamu masuk sekolah sekarang." Adli berhenti sejenak, menatap Anaknya sedikit serius. "Tapi dengan syarat, kamu tidak boleh dekat-dekat dengan Regi. Jauhi Anak itu, kalau perlu jangan pernah berbicara padanya."
"Pa?"
Bagaimana bisa Ayahnya memberi syarat yang sama sekali tidak masuk akal. Tidak boleh mendekati bahkan berbicara dengan Regi yang sudah jelas adalah saudara kandungnya sendiri.
Ada ikatan darah di antara mereka berdua. Sebegitu bencinyakah mereka dengan Regi?
"Ak—
"Ngak ada penolakan, Ga. Jangan buat kami murka," potong Alan dengan tatapan tajamnya.
Reyga sedikit muak dengan pembicaraan hari ini. "Rey selesai, Rey berangkat takut telat."
KAMU SEDANG MEMBACA
Another Pain (END) ✔
Teen Fiction[COMPLETED] [BELUM DI REVISI] Mereka pernah berkata, jika rumah adalah tempat ternyaman untuk pulang. Mereka juga pernah berkata, jika keluarga adalah orang pertama yang akan menghantarkanmu pada kebahagiaan. Tapi baginya semua itu adalah dusta. Jus...