DG.1

58 9 4
                                    

Semua hal di dunia ini selalu berjalan monoton. Bangun pagi-pagi, ibadah, pergi sekolah atau bekerja, sore hari pulang, malam tidur, lalu pagi kembali mengulangi hal yang sama. Aku sampai sebal tingkat nasional setiap hari karena bosan. Hampir dua belas tahun terus bersekolah, isi kepala seperti menguap dan kering.

Ingin bolos sesekali takut dicoret dari kartu keluarga. Walaupun isinya cuma tiga orang, yaitu aku, Abang, dan Emak, rasanya lebih baik tak mencari masalah apa-apa.

Maka dari itu pagi ini walau rasa malas menggantung di bahu kanan dan kiri, serta hantu kantuk menggelayut manja di mata, usai memakai baju seragam lengkap dengan tas punggung warna hitam kesayangan, aku berdiri di depan pintu kamar Abang terkasih.

Dia harus bangun untuk mengantar adik tersayang ke sekolah. Sebenarnya, aku bisa jalan kaki, tapi jaraknya sangat jauh. Semangat yang sudah tak utuh malah semakin hilang lebih dari separuh.

"Bang, Abang, Bang. Bangun!" teriakku sekencang mungkin seraya memukul-mukul wajan. "Abang, bangun, dong. Aku telat ini!"

Tak ada sahutan. Dia memang begitu. Walau mendengar suara panggilan, tidur tetap jalan. Pasti sekarang sudah tarik selimut lagi sampai kepalanya menghilang dari pandangan.

Aku menimbang-nimbang sebentar. Lalu, kembali memanggil. Dari luar Emak masih sibuk merebus air pakai kayu bakar.

Katanya, kalau di kompor gas terlalu lama. Makanya masih ada tungku sederhana yang dibuat dari bata.

"Abang bangun dulu, kek! Nanti tidur lagi abis nganterin aku ke sekolah. Ya, elah, tega banget sama adek sendiri. Kayak punya adek banyak aja. Satu doang males banget diperhatiin."

Masih tak terdengar apa-apa. Hari ini dia libur kerja. Makanya bisa tidur sampai sandekala. Lunglai menguasai badan sampai-sampai aku ingin kembali ke kamar dan tidur seperti Abang. Namun, entahlah, aku juga ingin sekolah. Ada seseorang yang tak boleh luput dari pandangan.

Terpaksa aku merogoh ponsel dan mencari kontak seseorang yang bisa diandalkan dalam berbagai macam keadaan. Kalau menunggu Abang bangun, lebih baik lepas seragam dan meniup api di tungku agar air cepat matang.

Tak perlu sekolah. Kemarin-kemarin biasanya tetap bangun walau wajah ditekuk seribu lipatan, tentunya setelah peralatan dapur hampir hancur akibat aku gunakan untuk membuat suara keributan.

Barangkali hari ini tak ada harapan. Untung saja tak lama terdengar suara klakson dibunyikan di depan. Aku segera bergegas setelah berpamitan pada Emak.

Ah, dia masih sama. Tampan, rupawan dan tak ada cela. Kecuali senyumnya yang tak pernah terlihat sejak pertama berkenalan. Nanti kapan-kapan akan aku kenalkan pada kalian. Sekarang cukup tahu namanya dulu.

"Selamat pagi, Orang Baik!"

"Abang kamu susah dibangunin?" tanyanya, datar, dingin, seperti air dalam bak mandi.

"Iya, susah banget. Dia kalau tidur macam kayu. Sekali pun dengar tetap gak mau bangun, kan, amsyong!"

"Bahasa planet mana itu? Aku nggak pernah dengar dari manusia mana pun."

"Iyalah. Kamu, kan, udik!"

"Udik udah jadi jargon kamu sekarang?"

"Nggak juga. Cuma lucu aja kalau orang kaya seperti kamu disebut udik."

Dia mendengkus.

Kusambut uluran tangannya, helm bogo warna manis sempat membuat diriku agak kesal.

"Warna helmnya gak bisa hitam atau abu-abu? Lebih keren begitu. Masa warna ini terus, sih. Gak enak dipakainya."

Dirgantara [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang