DG.10

10 2 1
                                    

"Aku senang banget akhirnya sampai ke sini! Salah satu tempat sejarah yang udah lumayan tua. Di, terima kasih udah ngajakin aku ke sini!" sorakku terlampau bahagia sembari memeluk lengan kirinya.

"Baguslah, kalau kamu senang," balasnya datar.

Benteng kokoh yang kini telah berwarna merah itu telah berganti-ganti fungsinya. Dirgantara terlihat begitu senang ketika tangannya menyentuh bata merah yang terlihat indah terkena sinar matahari. Tak ada kata, tak ada suara. Hanya kilat mata. Aku telah menghafal berbagai ekspresinya.

"Gak ada ekspresi lain, selain itu? Kita udah sampai di tempat pertama yang pengen kamu datangi. Masa masih beku kayak gitu? Ayo, lah!" Aku merengek bagai bocah demi melihat ekspresi lain di wajah Dirgantara.

"Ekspresi itu gak penting."

"Jidatmu! Mau jadi orang beku rupanya."

Sayang, anak itu tak mau meluluhkan hatinya barang sekejap. Kutub utara dan kutub selatan kalah dingin dari Dirgantara. Bahkan, danau dan sungai yang membeku kala musim dingin menyapa Afghanistan tak mau menyaingi kebekuan ekspresi wajahnya. Apa aku harus menyalakan korek api dulu supaya dia meleleh?

Ah, tidak, tidak. Mana ada begitu?

"Pak Alex, saya boleh minta tolong?" Tiba-tiba Dirgantara menghentikan langkah.

"Boleh, Den. Saya siap disuruh ngapain aja," jawabnya sigap.

"Beliin burger sama susu. Air putih juga, buat kita. Tadi makanan hotel aneh-aneh."

"Oke, Den. Saya izin pergi sebentar. Nanti makanan simpan di mobil aja, ya?"

"Oke."

"Lex, beli yang banyak!" timpal Bu Tara seenak jidat.

Kami terus berjalan ke sebuah tempat berisi foto-foto jaman dahulu. Dari buku yang kubaca, sejak pertama dibangun saat terjadinya peperangan Pangeran Diponegoro sekitar 1825-1830, Benteng Van Der Wijck digunakan sebagai tempat pertahanan.

Meski demikian, ada sejumlah ahli yang yakin kalau benteng itu bukan merupakan benteng pertahanan, melainkan sebagai benteng logistik dan Puppilen School alias sekolah calon militer.

"Di lihat dari seragamnya anak-anak Belanda, ini seragam lama banget. Pas masih temenan kayaknya. Belum ngajakin perang," gumamku saat melihat ada beberapa foto orang Indonesia.

"Kamu tahu banyak soal sejarah kayaknya," komentar Bu Tara.

Aku hanya nyengir kuda saja.

Pembangunan benteng yang disebut-sebut sebagai satu-satunya benteng berbentuk oktagonal di Indonesia itu kerap dikaitkan dengan nama seorang Jenderal Belanda yang bertugas di Bagelen Purworejo di tahun 1787-1876, bernama Frans David Cochius.

Namun, kemudian benteng itu disebut Van der Wijck. Van der Wijck sendiri merupakan perwira militer dengan karir cemerlang karena konon mampu memenangkan berbagai peperangan di Indonesia. Aku manggut-manggut sendiri. Area sini lumayan luas. Bahkan, di tengah-tengah ada semacam tanah lapang yang bisa menampung cukup banyak orang.

Tidak ada catatan pasti dalam sejarah kapan dimulainya pembangunan benteng tersebut, tapi ada yang memperkirakan tahun 1827. Wah, ternyata sudah sangat lama.

Menurut Emak, kakek buyut paling buyut tinggal di daerah sini saat Belanda masih berkuasa. Tak tahu pasti di mana karena setelah Indonesia merdeka, konon semua keluarga pindah ke Batavia. Jadi, aku ini orang Jakarta apa orang Kebumen, sih?

"Gak jelas banget aku asli mana." Aku menggerutu sendiri.

"Apa?" Dirgantara menyahut. "Asli apa?"

"Gak ada. Kamu jangan nguping, dong."

Dirgantara [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang