Menjadi mahasiswa susah-susah gampang, benar-benar di luar ekspektasi manusia yang tak pernah membayangkan akan duduk di bangku kuliah sepertiku. Di universitas ternama, mengambil jurusan business management mengikuti Dirgantara.
Aku lumayan kaget saat pertama kali menginjakkan kaki di sini. Tak banyak respon kecuali menatap dari ujung rambut sampai ujung kaki seolah menilai apa yang aku kenakan, model rambut macam apa, merk tas dari brand mana, sepatu dan warna lipstik harga berapa.
Sebagai kaum mayoritas tentu saja gugup dinilai secara langsung. Kenapa aku menilai diri sendiri mayoritas?
Barang tentu karena ada alasannya. Aku miskin layaknya penduduk Jakarta pinggiran lain, pendek seperti orang Indonesia kebanyakan, memiliki rambut hitam, iris cokelat bening, memakan dengan cara mengunyah, maka termasuk dalam kaum mayoritas.
Satu-satunya sebab terkadang aku minoritas hanya karena berteman dengan Dirgantara serta terdampar ke jurusan ke orang kaya.
Ah, ini musibah mengandung berkah namanya.
Sampai sekarang anak itu enggan membuka diri pada lingkungan sekitar walau pemujanya berjubel sampai luar fakultas. Komunikasi pada Opa dan Oma sudah ada perkembangan. Mau membalas sapaan, mau duduk semeja saat makan, mau diusap kepalanya, tetapi masih malas berbicara banyak.
Apa-apa mengadu padaku. Ya, walaupun aku senang sebab tak jadi pengangguran karena kehilangan Dirgantara. Tetap saja harus ada kemajuan lagi.
"Jangan bengong di kelas. Ketahuan dosen bisa dihukum!" tegur Dirgantara dari sisi kanan.
Sontak saja aku gelagapan sendiri. Hampir menyebut kata maaf bila tak sadar kelas sudah usai. Menyisakan kami berdua serta bangku-bangku tak berpenghuni. Kulempar tatapan sebal, yang dibalas dengan senyum kecil--tanpa semburat memaksa.
"Kamu hobi banget ngerjain orang," sungutku pura-pura tak luluh.
"Salah kamu bengong terus. Jurusan ini bikin kepala pusing, kan? Makanya mau nyerah sekarang. Udah ngaku aja," tukas Dirgantara seenak perut.
"Mana ada begitu? Belum ada rencana nyerah, tapi gak tahu besok pagi. Ngomong-ngomong aku baru dapat jajan dari Bang Khalil. Aku traktir makan siang di kantin, yuk?" tawarku, sejenak berusaha menepis kejengkelan akibat dijahili.
"Benar ditraktir?" Senyum tipisnya mengembang lagi saat aku mengangguk mantap.
Kami berjalan beriringan di koridor. Diikuti puluhan pasang mata yang mulai familiar dengan kedekatan kami. Semakin banyak orang tahu, semakin banyak kelompok-kelompok yang tak menyukai.
Sebagian beranggapan kalau aku tak pantas berada di sisi Dirgantara karena datang dari kalangan tak berpunya. Sementara sebagian lagi mencemooh diriku, katanya pintar memanfaatkan kesempatan.
Sisanya hanya manusia-manusia acuh. Enggan peduli pada urusan tak berkaitan dengan dirinya. Kalian pasti penasaran bagaimana reaksiku, bohong rasanya bila mengatakan biasa saja.
Kadang takut suatu saat nanti Dirgantara mendengar ocehan-ocehan mengganggu, lalu memilih menjauh dariku. Ia akan mencari beberapa teman dari golongan menengah ke atas, tak lagi memasang wajah sendu.
Aku selalu takut ditinggalkan olehnya. Saat kudapati seorang gadis terang-terangan menatap hina, aku membalasnya. Dia malah berang dan menyelengkat kakiku sampai hampir terjungkal bila tak ditahan Dirgantara.
"Dasar sok cantik!" umpatnya sebal.
Orang-orang mulai penasaran dan mengarahkan atensi penuh pada kami. Aku mengenalnya. Dia adalah Ravena. Anak menteri.
"Ya, mau gimana lagi? Orang jelek sepertiku memang harus sok cantik, kan?" Aku menatap tenang.
"Seharusnya kamu sadar diri, Mikhaela. Kamu itu miskin!" jeritnya lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dirgantara [Tamat]
أدب المراهقينCatatan dari Mikhaela untuk Dirgantara Sengaja kutulis ini agar orang-orang tahu bagaimana sulitnya menjadi kita, terutama kamu. Cerita ini juga akan menjadi penebus rinduku yang menggebu-gebu. Apalagi sejak hari itu, kita tidak pernah bertemu lagi...