Pagi ini entah ada angin apa Bang Khalil bangun sebelum aku membuat keributan pakai wajan. Wajahnya terlihat sudah segar berkat mandi Subuh.
"Enak, kan? Seger, kan? Apa aku bilang. Bangun sebelum Subuh. Jangan kesiangan terus!"
Bang Khalil mencibir. Dia saja yang bebal susah dikasih tahu. Sebagai balasan atas info mandi pagi yang aku berikan, Bang Khalil harus mau mengantarku ke kuliah.
Sebenarnya bisa bawa motor sendiri. Sayangnya, sedang malas. Eksistensi hari Senin sebagai hari paling berat bagi setiap pelajar dan pekerja memang tak bisa diragukan. Tak ada kata libur sebab Minggu hanya pembatas saja.
Selain itu, seni menjalani hidup adalah mengeluh, tapi tetap tak berhenti cuma-cuma. Semangat yang biasanya membara kali ini menguap bagai setitik danau yang sedang dihajar terik siang surya.
Dua burung dara melintasi kami. Membuat rasa malas bertambah tujuh kali. Tak tahu juga apa alasannya. Bisa jadi karena perkataan Bang Khalil semalam. Atau justru karena Gabriel mengajak ketemuan.
Sepanjang perjalanan aku hanya diam. Tak banyak bicara. Bang Khalil juga. Paling sekedar ucapan selamat pagi sebelum kami benar-benar berpisah.
Aku mengamati punggung Abang satu-satunya sampai jadi titik kecil di antara kendaraan lain.
Lalu, dengan langkah setengah mengambang aku menyeberangi jalan. Menuju sebuah cafe kecil tempat biasa mahasiswa nongkrong sebelum pulang.
Ternyata Gabriel sudah lebih dulu sampai. Aku langsung duduk, menyilangkan kedua tangan di dada, sambil menatap remeh pada orang yang pernah memandang Dirgantara sebelah mata.
"Kamu bikin aku kaget, Mikhaela." Ia mengusap dada sebelum tersenyum miring.
"Oh," kataku tanpa minat.
"Selamat pagi, pengasuh Dirgantara. Tumben sendirian."
Aku tersenyum culas. "Gak usah pura-pura bodoh. Eh, tapi kamu, kan, bodoh beneran. Aduh, maaf aku lupa."
Melihat wajah Gabriel merah aku tersenyum puas. Rasanya menyenangkan menginjak manusia yang selalu meletakkan seseorang di bawah kakinya.
"Makin lama lidah kamu tambah licin aja. Salut!"
"Iya, soalnya harus diasah terus. Kadang ada beberapa tipe manusia menyebalkan dari embrio. Jadi, harus pintar biar gak diremehkan."
Gabriel terlihat mulai putus asa. Agak lain dia.
"Aku ajak ketemuan bukan buat bertengkar, Mi!" serunya.
"Aku memenuhi permintaan kamu buat datang ke sini juga bukan buat adu mulut."
Tiba-tiba Gabriel tertawa sinis. Anak ini sepertinya enggan kalah. Salah sendiri minta bertemu dengan mama singa yang sedang uring-uringan. Kuliah saja rasanya enggan.
Terus kalau setiap perkataannya tak mau dibalas, ya, jangan ajak seorang Mikhaela bertemu. Ajak saja orang lemah yang gampang ditindas oleh orang sok keras.
Aku mengeluarkan ponsel untuk melihat jam. Jangan tanya di mana jam tangan. Kemarin lusa saat cuci baju aku lupa mengeluarkan dari saku. Saat dibilas jamnya jatuh. Sudah rusak, pecah, tak mau hidup pula. Mungkin nanti sepulang kuliah aku akan pergi ke pasar buat yang baru.
"Udah lima menit waktu aku terbuang percuma." Aku bersandar pada kursi, mulai suntuk.
"Oke, maaf karena udah bikin waktu emas seorang Mikhaela sia-sia. Aku hanya mau mastiin aja apa gosip di luar sana benar. Atau mereka aja yang melebih-lebihkan cerita," kata Gabriel seraya kembali tertawa.
"Wow!" Spontan aku memajukan tubuh ke depan. "Gabriel yang katanya gak percaya sama gosip-gosip kampus seviral apa pun ternyata hanya bohongan belaka, ya? Aku lumayan kaget, loh."
KAMU SEDANG MEMBACA
Dirgantara [Tamat]
Teen FictionCatatan dari Mikhaela untuk Dirgantara Sengaja kutulis ini agar orang-orang tahu bagaimana sulitnya menjadi kita, terutama kamu. Cerita ini juga akan menjadi penebus rinduku yang menggebu-gebu. Apalagi sejak hari itu, kita tidak pernah bertemu lagi...