Sepanjang waktu menunggunya kembali, aku sibuk membuat coretan tak jelas di atas selembar kertas. Semrawut, sama seperti pikiranku saat ini. Ruang kelas yang semula hening perlahan mulai ramai. Beberapa tetap menyapa walau kubalas dengan anggukan saja. Selebihnya memilih cuek dan biasa saja.
Sampai dua puluh menit berlalu, Dirgantara belum juga kembali. Bel istirahat akan segera berbunyi. Sekarang, beri tahu aku. Apa aku harus menyusulnya ke sana?
Kalau dipikir-pikir itu tidak mungkin.
Mana mungkin seorang perempuan menerobos masuk ke toilet laki-laki. Walau pun pernah, saat seseorang memberitahu Dirgantara berdarah karena meninju cermin. Aku sudah berjanji tak akan melakukannya lagi, kecuali sudah amat sangat gawat darurat.
"Ariel!" Aku memanggil si wakil ketua kelas yang baru masuk.
"Iya, Mi. Ada apa?"
"Kamu lihat Dirgantara?"
Dia menggeleng bingung. "Aku dari ruang guru."
"Ya udah kalau gitu, makasih."
Ariel mengangguk kecil dan segera duduk di tempatnya. Aku menopang dagu, meniup-niup poni sampai kembali berantakan. Benar kata orang, menunggu selalu dihajar bosan.
"Hei!" Aku kembali memanggil seseorang, perempuan.
Kali ini tak tahu namanya siapa, tapi dia sadar yang dipanggil adalah dirinya. Begitu dia mendekat aku langsung melayangkan pertanyaan yang sama.
"Kamu lihat Dirgantara?"
"Dia gak bilang mau ke mana?"
"Bilang, tapi kamu gak lihat dia lagi ada di mana gitu?"
"Gak, sih. Soalnya aku baru dari kantin, Mi. Di sana hanya ada tiga orang aja, tapi bukan Dirgantara."
"Gitu, ya. Makasih."
Tepat saat bel masuk berbunyi nyaring, Dirgantara kembali dan duduk dengan tenang tanpa menghiraukan sapaan teman-teman atau kehadiran diriku yang hampir kehilangan detak jantung karena terkejut.
Wajahnya lebam di pipi kanan. Tak mungkin bekas luka lama sebab tadi pagi wajah seindah porselen itu masih bersih dari noda merah membiru, pasti habis kena tinju.
"Kok, lama dari toiletnya?"
"Gak apa-apa."
"Di, berantem lagi?" Kusentuh tangannya menggunakan pulpen.
Dia menoleh sekilas, lalu kembali menghadap ke depan. Ya Tuhan, jelaskan padaku bagaimana cara bertanya pada anak ini?
"Gak baik mengabaikan pertanyaan dari orang lain. Kamu abis berantem? Jawab aja, gak apa-apa."
"Mi, nanti aja ngobrolnya, ya? Sekarang kamu duduk diam, bentar lagi guru masuk."
"Aku gak bisa tenang sebelum kamu jawab!" Tatapanku mulai menajam, supaya dia tahu, aku mulai marah.
"Nanti, ya?"
"Di, masih ada banyak waktu. Aku janji, janji gak akan marah-marah atau ngambek kalau kamu mau bilang yang sebenarnya!" desakku.
"Aku gak apa-apa. Nanti pas istirahat aja!" jawabnya tenang.
Nanti versi Dirgantara berarti tak akan pernah bercerita. Sudahlah, aku mulai jengah dengan diamnya walau sebenarnya sudah dapat ditebak kalau cowok itu pasti habis berkelahi dengan seseorang.
"Setiap aku ada masalah, pasti cari kamu. Jadi, kalau nanti ada sesuatu, aku pasti datang ke kamu," ucapnya.
Rasa kesalku agak berkurang. Di titik ini, aku akhirnya sadar. Tak baik memaksa seseorang untuk bercerita. Ini sudah bukan perhatian lagi namanya, tapi kepo. Aku mengurut kening. Bisa-bisanya lepas kontrol seperti barusan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dirgantara [Tamat]
Teen FictionCatatan dari Mikhaela untuk Dirgantara Sengaja kutulis ini agar orang-orang tahu bagaimana sulitnya menjadi kita, terutama kamu. Cerita ini juga akan menjadi penebus rinduku yang menggebu-gebu. Apalagi sejak hari itu, kita tidak pernah bertemu lagi...